1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Dengan atau Tanpa Jilbab, Iran Perlu Revolusi Baru!

Nilofar Ghoolami
17 Desember 2022

Jilbab, atau kerudung, menunjukkan sistem pemerintahan yang misoginis. Sudah saatnya revolusi baru mengantarkan perubahan demokratis di Iran, kata editor DW Niloofar Gholami.

Aksi protes remaja perempuan Iran
Aksi protes remaja perempuan IranFoto: SalamPix/abaca/picture alliance

Jilbab bagi saya mencontohkan ketakutan dan penghinaan. Itu melambangkan sistem yang didasarkan pada ideologi misoginis yang berusaha menghilangkan perempuan dari masyarakat.

Sebagai seorang perempuan Iran, saya telah mengenakan selembar kain di kepala saya selama bertahun-tahun, yang berfungsi tidak hanya untuk menutupi rambut dan tubuh saya. Saya melihatnya sebagai alat untuk menekan, mengontrol, dan mengubah perempuan menjadi warga negara kelas dua.

Perlakuan kelas dua yang memalukan ini dan penderitaan serta pembungkaman perempuan telah dibayangi oleh perdebatan tentang kemungkinan penghapusan polisi moralitas di Iran. Jangan salah: desakan rezim untuk memaksakan hijab sudah ada sejak revolusi 1979.

Pelanggaran hak-hak perempuan ini diabaikan, dan banyak orang termasuk pendukung rezim dan politisi Barat berusaha membingkai jilbab di Iran sebagai masalah budaya.

Tidak begitu. Saya berumur 13 tahun ketika ayah saya ditangkap dan dibawa ke penjara Evin karena kegiatannya mendukung hak-hak pekerja. Saya ingat bahwa ibu saya harus mengenakan sebagian besar pakaian longgar dan gelap untuk setidaknya diizinkan masuk ke pengadilan.

Aksi solidaritas di Yunani untuk perjuangan perempuan IranFoto: LOUISA GOULIAMAKI/AFP/Getty Images

Lari dari polisi moralitas

Saya ingat pertemuan yang memalukan dengan polisi moralitas di Teheran. Saya sedang menuju ke bioskop dengan seorang teman yang mengenakan jaket merah, warna yang paling dibenci polisi moral. Saya dipanggil oleh salah satu polisi moral perempuan di pintu masuk ke stasiun metro. Satu-satunya pikiran saya adalah bagaimana menghindari penangkapan. Saya ingat bahwa saya berlari secepat yang saya bisa dan pada saat yang sama saya berpikir mengapa saya harus berlari? Kejahatan apa yang telah saya lakukan?

Berada dekat polisi moralitas membuat saya merasa tidak nyaman setiap kali saya berjalan di jalanan Teheran. Saya meninggalkan negara itu pada tahun 2015, tetapi bahkan selama beberapa bulan pertama di pengasingan paksa saya, saya tidak dapat menghilangkan perasaan tidak nyaman itu.

Saya cukup beruntung bisa melarikan diri, tetapi Jina Mahsa Amini, yang meninggal dalam tahanan tiga bulan lalu pada 16 September di usia 22 tahun, tidak bisa lolos.

Bagi saya, kemungkinan penghapusan polisi moralitas di Iran adalah debat jadi-jadian. Penduduk tahu betul bahwa jilbab tetap wajib dan menjadi salah satu pilar Republik Islam dan alat untuk mengontrol masyarakat. Banyak yang merasa sulit untuk percaya bahwa institusi itu akan dibubarkan.

Sebuah revolusi baru untuk Iran

Tidak diragukan lagi, Republik Islam tentu sudah memiliki rencana untuk mengganti polisi moralitas dengan alternatif lain. Bahkan mungkin menjadi mekanisme untuk menghilangkan hak dan layanan tertentu bagi perempuan yang tidak mengenakan jilbab "dengan benar”. Setidaknya, itulah yang bisa dipetik dari pernyataan-pernyataan resmi.

Bahkan jika polisi moralitas benar dibubarkan, kita tidak boleh lupa bahwa masalah rakyat Iran bukanlah jilbab, melainkan seluruh rezim yang didirikan dengan melanggar hak asasi manusia.

Generasi muda memiliki gambaran yang lebih besar: Iran yang bebas, moderat dan demokratis, yang dapat memainkan peran penting di Timur Tengah dan dunia. Sudah waktunya untuk revolusi Iran yang baru. Dan inilah waktunya untuk menghormati para perempuan Iran yang telah memulai proses itu — dengan dan tanpa hijab!

(hp/yp)