Denmark Ingin Pisahkan Warga Non-Barat dari Orang Lokal
Stephanie Burnett
30 Maret 2021
Pemerintah di Denmark berniat membatasi jumlah penduduk yang tidak berasal dari negara barat di sejumlah pemukiman dari 50 menjadi 30 persen. Hal ini dikecam oleh pegiat Hak Asasi Manusia.
Iklan
Rancangan Undang-undang yang diajukan pertengah Maret silam itu membidik "masyarakat paralel” di Denmark. Istilah itu digunakan pemerintah untuk menyebut kantung pemukiman yang penduduknya dinilai tidak terintegrasi dengan baik di dalam masyarakat Denmark.
Melalui rancangan UU tersebut, pemerintah berniat mengurangi jumlah populasi "non-barat” sebanyak 30% selama sepuluh tahun ke depan. Keluarga yang terpilih nantinya akan dipindahkan ke kawasan pemukiman lain.
Saat ini pun, Denmark sudah memiliki Undang-undang yang mengatur proporsi warga ‘asing' pada sebuah pemukiman sebatas maksimal 50%. Legislasi itu berlaku untuk pemukiman dengan lebih dari 1000 penduduk, yang diukur berdasarkan sejumlah faktor, antara lain tingkat pengangguran, rata-rata pendapatan, tingkat pendidikan dan angka kriminalitas.
Kemungkinan lolosnya RUU tersebut dinilai besar. Sebabnya advokat Hak Asasi Manusia bersiap melancarkan penolakan, jika susunan legislasi yang sudah dibuat, tidak diubah.
"Kekhawatiran kami adalah bahwa latar belakang etnis akan lebih diperhatikan ketimbang saat ini,” kata Nanna Margrethe Kusaa, seorang pegiat di Insitut HAM Denmark. "Kami sangat khawatir, karena ketika melihat adanya kriteria latar belakang etnis, semua alarm berbunyi.”
Kantor Utusan Khusus PBB untuk HAM, Michelle Bachelet, tahun lalu sudah mewanti-wanti terhadap kemunculan legislasi semacam itu. "Dalam tindakan melawan apa yang dinamakan penduduk "non-barat,” yang akan menjadi korban adalah warga non-putih atau non-Eropa di Denmark”, demikian bunyi pernyataan pers PBB.
Iklan
Pisahkan penduduk melanggar larangan diskriminasi?
Menurut Margrethe Kusaa, saat ini terdapat tiga kasus gugatan hukum melawan "UU Ghetto” yang dipersoalkan. "Kami meyakini, dalam kasus ini pemerintah melakukan diskriminasi, dan melanggar hukum nasional atau Eropa,” imbuhnya.
Kementerian Dalam Negeri Denmark menepis kecaman para pegiat HAM. Kategori "non-barat” diakui sudah selaras dengan istilah yang digunakan Badan Statistik Denmark, begitu menurut keterangan pers pemerintah.
Daftar Negara Eropa yang Batasi Perjalanan Tak Penting di Masa Pandemi Corona
Berikut ini adalah negara-negara anggota Uni Eropa yang telah mengumumkan pembatasan perjalanan lebih ketat, mewajibkan tes lebih lanjut dan memperpanjang karantina untuk mencegah penyebaran COVID-19.
Foto: Alexander Farnsworth/picture alliance
Finlandia
Pemerintah Finlandia memberlakukan peraturan yang lebih ketat mulai 27 Januari bagi mereka yang memasuki negara itu. Semua pelancong harus mengikuti tes virus corona di perbatasan. Finlandia membatasi orang yang masuk dari semua negara Schengen dan hanya mengizinkan perjalanan penting seperti bekerja untuk pelayanan kesehatan dan darurat.
Foto: Vesa Moilanen/Lehtikuva/AFP/Getty Images
Denmark
Perjalanan wisatawan yang tidak penting ke Denmark saat ini menjadi sorotan di tengah tingkat infeksi yang tinggi. Hanya orang dengan alasan yang valid dan telah mengikuti tes virus corona dengan hasil negatif yang diizinkan masuk ke negara itu. Lockdown Denmark telah diperpanjang hingga 7 Februari 2021. Restoran hingga pub, serta fasilitas budaya dan rekreasi juga tetap ditutup.
Foto: picture-alliance/Zuma/Bildbyran/P. Arvidson
Swiss
Perbatasan Swiss dengan negara tetangga, negara Schengen, dan sebagian besar negara Uni Eropa tetap buka. Kedatangan orang dari beberapa negara dan wilayah yang diklasifikasikan "berisiko tinggi" harus dikarantina selama 10 hari setibanya di Swiss. Penerbangan dari Inggris dan Afrika Selatan telah ditangguhkan. Sejak 18 Januari, semua toko harus tutup, kecuali pemasok barang kebutuhan sehari-hari.
Foto: Imago Images/Geisser
Luksemburg
Wisatawan dari negara-negara Uni Eropa (UE) dan Schengen dapat memasuki Luksemburg tanpa perlu menunjukkan tes COVID-19 negatif sebelum masuk. Namun, perjalanan non-esensial dari sebagian besar negara ketiga ke Luksemburg dilarang hingga 31 Maret 2021. Semua toko, salon kecantikan, dan bioskop ditutup. Jam malam diberlakukan sejak pukul 21.00 hingga 06.00 pagi.
Foto: imago/alimdi
Republik Ceko
Keadaan darurat diberlakukan di seluruh negeri, ada batasan jam malam sejak pukul 21.00 hingga 05.00 pagi. Toko untuk kebutuhan sehari-hari tetap buka, tetapi tidak untuk toko non-esensial lainnya. Mulai 5 Januari, siapa pun yang memasuki Republik Ceko harus menjalani tes COVID-19. Negara ini tetap terbuka bagi mereka yang bepergian dari daerah berisiko rendah.
Foto: picture alliance/dpa
Norwegia
Norwegia mewajibkan aturan mengikuti tes COVID-19 pada 18 Januari lalu untuk para wisatawan. Setiap orang yang bepergian ke Norwegia harus dikarantina selama 10 hari. Masa karantina dapat dikurangi menjadi tujuh hari jika wisatawan telah menjalani dua tes COVID-19 negatif. Tes harus dilakukan pada hari pertama dan hari ketujuh setelah kedatangan.
Foto: picture-alliance/robertharding/J. Nix
Polandia
Mulai 1 Januari, wisatawan dari negara non-UE hanya dapat memasuki Polandia untuk perjalanan urusan penting. Perbatasan terbuka untuk wisatawan dari mayoritas negara UE. Semua yang datang ke Polandia harus mengisolasi diri selama 10 hari dengan beberapa pengecualian terkait dengan pekerjaan atau tempat tinggal di Polandia.
Foto: Beata Zawrzel/NurPhoto/picture alliance
Turki
Semua wisatawan berusia 6 tahun ke atas akan diminta untuk menunjukkan hasil tes PCR negatif sebelum mereka dapat memasuki Turki dan mungkin menjalani pemeriksaan kesehatan saat mereka tiba. Turki saat ini telah melarang penerbangan dari Inggris untuk mencegah penyebaran varian baru virus corona. Pusat perbelanjaan, pasar, restoran, dan salon kecantikan hanya buka dari jam 10 pagi hingga 8 malam.
Foto: picture-alliance/R. Hackenberg
Kroasia
Kroasia sementara waktu membatasi penyeberangan di perbatasan sejak 30 November lalu. Kroasia menggunakan sistem tingkatan infeksi COVID-19 yakni hijau, kuning dan merah untuk mengatur pembatasan perjalanan. Siapa pun yang datang dari negara UE di 'daftar hijau' dapat memasuki Kroasia tanpa batasan apa pun, asalkan mereka tidak menunjukkan gejala dan tidak berada di dekat orang yang terinfeksi.
Foto: picture-alliance/Zoonar/B. Hoyen
Swedia
Wisatawan dari sebagian besar negara anggota Uni Eropa, serta orang yang bepergian dari negara non-UE yang dibebaskan dari larangan masuk UE, tidak perlu mengikuti tes atau karantina setibanya di Swedia, jika mereka bebas gejala COVID-19. (ha/pkp)
Foto: Alexander Farnsworth/picture alliance
10 foto1 | 10
Berdasarkan hal ini, hanya negara Uni Eropa, ditambah Inggris, Andorra, Islandia, Liechtenstein, Monaco, Swiss, Vatikan, Kanada, Amerika Serikat, Selandia Baru dan Australia, saja yang bisa dianggap sebagai negara barat.
"Negara-negara lain tidak bisa dianggap negara barat,” tulis Kemendagri dalam jawabannya kepada DW. "Pembedaan antara negara barat dan non-barat tidak berhubungan dengan sistem politik, agama, kebudayaan atau perekonomian sebuah negara.”
Tapi pegiat HAM mengritik, legislasi ini akan memperkuat stigma terhadap warga Denmark berlatar belakang migran, terutama kaum muslim dan "people of color,” istilah untuk kelompok penduduk non-putih yang rentan mengalami tindakan rasisme.
Kemurnian identitas warga Barat?
Bekas anggota parlemen Denmark, Özlem Cekic, yang menjadi warga muslim pertama yang terpilih, menyebut RUU yang baru sebagai "kontra produktif.”
"Saya setuju dengan pemerintah bahwa memang ada masalah di sejumlah pemukiman,” kata perempuan berdarah Kurdi itu kepada DW. Tapi jumlahnya terlampau kecil untuk membenarkan tindakan pemindahan paksa.
Menurut Badan Statistik Denmark, hingga tahun lalu hanya sebanyak 5,3% penduduk non-barat yang hidup di kawasan bermasalah.
Bagi Cekic, kebijakan politik yang diemban Perdana Menteri Mette Frederiksen berisiko besar. "Anak-anak dari kawasan yang bermasalah merasa dirinya warga Denmark,” kata dia. "Mereka dilahirkan di Denmark, punya paspor Denmark dan berbicara bahasa atau bersekolah di Denmark.”
Tapi mereka juga seringakli masih harus mendengar ujaran rasis, serupa "kamu bukan warga Denmark karena kamu muslim. Bagaimana kita bisa mengharapkan anak-anak ini akan loyal kepada negara, jika mereka tidak diterima sepenuhnya?” (rzn/vlz)