Dentang Gamelan di Festival Musik Kontemporer Jerman
5 November 2022Banyak orang mengenal gamelan sebagai instrumen musik ritual atau pengiring tarian. Namun kelompok Kyai Fatahillah memang lain. Mereka memainkan musik-musik kontemporer berdasarkan partitur yang dibuat komposernya. Itulah salah satu alasan, mengapa grup orkestra Kyai Fatahillah diundang tampil di Festival Musik Kontemporer NOW! Di kota Essen, yang digelar untuk ke-12 kalinya.
Orkestra asal Bandung ini dipimpin oleh komponis Iwan Gunawan, dosen Departemen Seni Musik di UPI (Universitas Pendidikan Indonesia), di Bandung. Dalam dunia musik kontemporer, nama Iwan Gunawan memang dikenal luas lewat berbagai komposisi, workshop, dan pertunjukkan di Eropa dan negara-negara lain.
"Musik gamelan sering digambarkan statis dan tradisional. Ini tidak benar, karena gamelan hanya menggambarkan kumpulan instrumen tertentu. Musik itu sendiri terus berkembang,” kata Iwan Gunawan, yang awalnya mengambil spesialisasi piano di UPI.
Keterlibatan Kyai Fatahillah di Festival Musik Kontemporer NOW! di kota Essen tidak lepas dari kiprah Prof. Dieter Mack, guru besar teori musik dan komponis kontemporer Jerman yang pernah lama tinggal di Indonesia dan mendalami musik gamelan di Jawa dan Bali. Ketika Dieter Mack menjadi dosen tamu di UPI Bandung, salah satu muridnya adalah Iwan Gunawan, yang mulai mendalami komposisi dan tradisi seni musik Barat.
Dapat sambutan antusias
Di NOW! Festival, Kyai Fatahillah tampil pada 1 November 2022 dan menyuguhkan karya Dieter Mack "The time after - reset", yang dikomposisi khusus untuk NOW!-Festival 2022 dan pertama kali dimainkan dalam sebuah konser musik.
Untuk penampilan di Philharmonie Essen, grup Kyai Fatahillah sebelumnya berlatih di kota Leverkusen dengan perangkat gamelan milik Martin Ehrhardt, pimpinan grup Jerman "Gamelan Taman Indah" dari Leverkusen. Mengakhiri sesi latihan di Leverkusen, Kyai Fatahillah dan Gamelan Taman Indah tampil di sekolah musik Musikschule Leverkusen.
Selain karya Dieter Mack, di NOW!-Festivak Kyai Fatahillah juga memainkan komposisi Iwan Gunawan yang berjudul "Fonem", "Minutes" dan "Lalamba". Selain itu "GAME-Land", komposisi dari "maestro musik kontemporer Indonesia" Slamet Abdul Syukur (1935-2015), dan karya-karya komposer Belanda Klaus Kuiper (1956-2016) dan Roderick De Man.
Gedung Philharmonie Essen, adalah salah satu gedung konser dengan akustik terbaik di Jerman. Para penonton konser, yang sebagian berasal dari kalangan musik dan ilmuwan musik Penonton menyambut hangat penampilan Kyai Fatahillah dengan tepukan panjang dan antusias.
Apresiasi musik kontemporer di Indonesia "perlu ditingkatkan”
Dari kota Essen, beberapa personil Kyai Fatahillah dan Iwan Gunawan masih akan Kembali ke Belanda untuk melanjutkan proyek kerjasama dalam bidang musik. "Sebagai orkestra kontemporer, mungkin kami lebih dikenal dan lebih diakui di luar negeri daripada di dalam negeri", kata Iwan Gunawan kepada DW Indonesia. Hal serupa dikonfirmasi oleh Prof. Dieter Mack, yang mendampingi Kyai Fatahillah selama berada di Jerman.
Mungkin karena di Indonesia gamelan dianggap sebagai musik tradisional, padahal di kancah musik kontemporer Eropa, kita sudah cukup dikenal, kata Iwan Gunawan. Kyai Fatahillah memainkan komposisi musik kontemporer dari berbagai komponis dunia. "Yang berbeda hanya alat musik yang kita gunakan. Kalau musik kamar di Eropa menggunakan instrumen musik klasik, kami menggunakan instrumen musik gamelan. Tapi dalam hal komposisi, kami memainkan musik kontemporer," tambahnya.
Sayangnya, perhatian media di Indonesia sendiri pada perkembangan musik kontemporer, apalagi gamelan, masih belum banyak. Juga perhatian pemerintah dalam mendukung kegiatan musik kontemporer masih minim.
„Memang di Indonesia, banyak hal sering tergantung dari pejabatnya, apakah mereka memahami pentingnya Indonesia hadir di kancah musik kontemporer atau tidak", kata Prof. Dieter Mack. „Sedangkan di luar negeri, makin banyak kelompok gamelan yang muncul, bahkan dengan peralatan yang hebat dan terpelihara dengan baik, seperti set gamelan dari Leverkusen ini," Iwan Gunawan menimpali. Harapan mereka, gamelan bisa mendapat apresiasi lebih besar di tanah airnya sendiri, justru karena ia unik dan merupakan bagian berharga di kancah musik dunia.
(hp/vlz)