1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Desakan Referendum Papua Disuarakan di London

3 Mei 2016

Ratusan demonstran pro pembebasan Papua yang tergabung dalam aksi damai di beberapa kota di Papua dibebaskan. Sementara di London, berlangsung pertemuan untuk mendorong diadakannya referendum Papua Barat.

West Papua Indonesische Soldaten
Foto: Getty Images/AFP/T. Eranius

Kepolisian Indonesia akhirnya melepaskan lagi ratusan simpatisan Komite Nasional Papua Barat, setelah sebelumnya mereka ditahansaat menggelar aksi damai peringatan 1 Mei 1963, yang oleh kelompok pro-pembebasan disebut hari aneksasi Papua oleh Indonesia.

Sekitar 500-an orang yang tergabung dalam aksi pro-pembebasan Papua sebelumnya ditahan di ibukota provinsi, Jayapura, dan puluhan di kota-kota lainnya. Juru bicara polisi Papua, Patridge Renwarin mengatakan: "Mereka mendukung pemisahan Papua dari Indonesia. Kami berusaha untuk menjelaskan kepada mereka bahwa ini bertentangan dengan semangat kesatuan negara Indonesia."

Di lain pihak, aktivis Papua, Markus Haluk kepada Reuters memaparkan demonstran menyuarakan dukungan diadakannya referendum, yang dimonitor langsung secara internasional.

Pertemuan di London bahas referendum

Di London, Inggris, hari Selasa (03/05) berlangsung pertemuan International Parliamentarian for West Papua (IPWP), dimana salah satu agenda utamanya adalah mengenai penyelenggaraan referendum atau penentuan nasib sendiri di bumi cendrawasih tersebut.

Dalam pertemuan itu, pemimpin kemerdekaan Papua Barat, Benny Wenda bersama para aktivis kemanusiaan., parlemen, dan pengacara mendesak Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB)untuk mengeluarkan resolusi untuk referendum Papua Barat.

Mereka beralasan PBB perlu menebus "kesalahan" ketika memberi kesempatan bagi Indonesia untuk mengambil kendali wilayah tersebut, sekitar setengah abad lalu. Setelah berlangsungnya apa yang disebut kelompok pro pembebasan Papua sebagai penyatuan paksa 1 Mei 1963, lewat pemungutan suara yang difasilitasi PBB tahun 1969, para perwakilan Papua saat itu memberikan suara di bawah ancaman kekuasaan. Demikian dilansir dalam laporan khusus the Guardian, hari Selasa (03/05).

Kepada the Guardian, Benny Wenda dari Free West Papua mengatakan, "Selama 50 tahun Indonesia membantai rakyat kami ..jumlahnya sekitar 500.000 orang. Kita perlu pasukan perdamaian internasional di Papua Barat."

Pasukan perdamaian untuk Papua

Free West Papua berharap dalam waktu dua tahun PBB dapat mengirim pasukan penjaga perdamaian internasional untuk melindungi orang Papua Barat yang memilih kemerdekaan.

Bergabung dengan Wenda dalam pertemuan itu, Perdana Menteri Tonga, Akilisi Pōhiva, dua orang gubernur Papua Nugini, Powes Parkop dan GarryJuffa serta seorang menteri dari Vanuatu Ralph Regenvanu.

Regenvanu mengatakan kepada Guardian bangsanya selalu mendukung pembebasan Papua Barat, dan ia mendesak Australia serta Selandia Baru yang selama ini mendukung kedaulatan Indoensia atas Papua, untuk bergabung dengan mereka."Saya pikir sikap pemerintah Selandia Baru dan Australia cukup memalukan jika membahas masalah Papua Barat.", ujar Regenvanu.

Seorang pengacara Hak Asasi Manusia, Jennifer Robinson, mencatat kedua negara tersebut juga menukung kedaulatan Indonesia atas Timor Leste sampai "saat-saat terakhir".

"Sangat penting kami terus membangun kampanye masyarakat sipil yang kuat di Australia dan Selandia Baru untuk mendorong tekanan lebih lanjut pada pemerintah untuk melakukan hal yang benar," tandas Robinson kepada the Guardian.

Represi dan menutupi informasi

Seperti dilaporkan Reuters, disebutkan, gerakan separatis di Papua berjalan seiring dengan konflik dan kekerasan yang terjadi semenjak referendum pepentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang didukung PBB digelar tahun 1969.

Presiden Indonesia Joko Widodo telah melakukan sejumlah lawatan ke Papua sejak menjabat sebagai presiden pada tahun 2014. Ia telah berjanji untuk mengembangkan wilayah yang puluhan tahun terabaikan tersebut.

Namun menurut peneliti politik dan kekerasan etnis, Made Supriatma, pendekatan yang dilakukan Jokowi kerap terhambat di lapangan. Di antaranya dengan tertutupnya informasi terkait masalah Papua. Dalam kolomnya di #DWnesia, Made menjabarkan: “Dalam soal Papua, pemerintah Indonesia agaknya tidak hanya ingin menyembunyikan persoalan dari dunia internasional. .Pemerintah Indonesia menutup informasi untuk rakyat Indonesia sendiri. Sebab jika informasi dibiarkan bebas mengalir maka ia akan membuka borok-borok pemerintahan itu sendiri.”

Sementara, pemerhati masalah Papua, Amiruddin al Rahab menilai: “Dalam situasi senjata kerap menyalak, korban jiwa terus jatuh, pembangunan di Papua, apa pun bentuknya, tidak akan memberi nilai tambah secara politik.”

ap/as(rtr/theguardian)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait