1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Kesehatan

Deteksi Dini Perlu Dilakukan untuk Hadapi Peyebaran Corona

Rizki Akbar Putra
16 Maret 2020

Sejumlah negara yang terjangkit COVID-19 tengah bekerja keras menahan laju penyebaran penyakit ini. Lantas bagaimana dengan penanganan di Indonesia? Simak wawancara DW Indonesia dengan Ketua Umum PDEI, Adib Khumaidi.

Infeksi virus corona simbol
Foto: Imago-Images/photothek/T. Trutschel

Sejak pertama kali muncul pada akhir Desember 2019, virus corona COVID-19 telah menginfeksi sedikitnya 160.000 orang di 157 negara, dengan lebih dari 6.500 orang meninggal dunia. Sejumlah negara yang terjangkit wabah ini tengah bekerja keras untuk menahan laju penyebaran virus corona COVID-19, salah satunya dengan cara mengkarantina wilayahnya seperti yang dilakukan Italia. Tak hanya itu, banyak negara juga sudah menutup akses fasilitas publik, transportasi, sekolah, hingga akses keluar masuk perbatasan.

Sebelumnya, kota Wuhan di Provinsi Hubei, Cina, tempat pertama kali virus ini ditemukan telah dikarantina pemerintah Cina setelah angka kasus COVID-19 di wilayah tersebut meningkat drastis. Bahkan, pemerintah Cina membangun dua rumah sakit khusus pasien COVID-19 dalam waktu yang amat singkat. Lantas, dengan terus meningkatnya angka kasus COVID-19 di Indonesia, perlukah Indonesia menerapkan skema lockdown seperti yang dilakukan negara-negara lain? Apa yang bisa Indonesia pelajarai dari negara-negara lain dalam menghadapi penyebaran COVID-19? Simak wawancara saja DW Indonesia dengan Ketua Umum Perhimpunan Dokter Emergensi Indonesia (PDEI) dr. Moh. Adib Khumaidi, Sp.OT.

Deutsche Welle Indonesia: Melihat ke negara-negara lain dalam menghadapi wabah COVID-19, negara mana yang menurut Anda mampu menghadapi wabah ini secara sigap?

Adib Khumaidi: Korea Selatan cukup baik. Satu sisi secara geografis dan jumlah penduduk mereka dan dari sisi kemampuan negara dalam sisi anggaran mereka juga sudah lebih maju daripada kita sehingga mereka lebih mudah untuk mengatasi. Korea Selatan langsung melakukan percepatan untuk melakukan deteksi dini, case finding, untuk kemudian sampling-nya diambil secara cepat. Tapi paling tidak kita mencoba. Yang setara dengan kita adalah Filipina. Di Manila itu bisa kita jadikan tolak ukur, kita belum tahu memang sekarang di Manila efektifitas lockdown-nya seperti apa. Tapi kalau kita lihat sekarang,  jangan sampai kita kemudian nanti terjadi seperti yang di Italia. Karena di Italia dirasa cukup terlambat juga karena penyebarannya begitu cepat, kita tidak mau juga itu terjadi di Indonesia.

Ketua Umum Perhimpunan Dokter Emergensi Indonesia (PDEI), Moh. Adib Khumaidi Foto: Privat

Apa yang bisa kita pelajari dari negara-negara luar dalam menangani penyebaran wabah COVID-19?

Yang pertama surveillance, kaitannya dengan deteksi dini. Ini nanti tenaga yang difungsikan, kalau kita tenaga medis kesehatan di perawat dan rumah sakit itu dalam aspek kalau ada temuan kasusnya. Tapi yang kita harus fokuskan sekarang bukan temuan kasus, karena temuan kasus itu adalah sifatnya menunggu dari ODP (orang dalam pemantauan) atau PDP (pasien dalam pengawasan) yang datang. Tapi kalau kita pro aktif untuk menemukan, nah itu yang kita lakukan dengan surveillance tadi. Dengan surveillance dan didukung oleh teman-teman kesehatan publik dan yang pasti paling penting bagaimana kecepatan spesimen. Ini kita agak terlambat prosesnya, karena itu hanya terpusatkan pada satu atau dua saja yang bisa melakukan pemeriksaan. Tapi kalau kita buka semua pusat pendidikan yang punya kemampuan pemerikaan PCR untuk kemudian diberikan kewenanangan untuk melakukan pemeriksan maka semakin cepat kita menemukan kasusnya. Yang kedua dari situ kita bisa menganalisis peta penyebaran penyakit. Kita tidak membicarakan identifikasi pasiennya, kita membicarakan petanya. Peta ini yang menjadi dasar saat kita melokalisir atau clustering sehingga kita bisa lokalisir dan kemudian tidak kemana-mana (penyebarannya). Karena sulit untuk menekan penyebaran secara geografis Indonesia pintu masuknya cukup banyak soalnya.

Apakah skema lockdown perlu diterapkan di Indonesia dalam merespon COVID-19?

Lockdown itu adalah sebuah pilihan yang harus disiapkan, tapi tidak berarti kemudian kita anti-lockdown, tidak. Itu adalah sebuah pilihan yang harus disiapkan dalam contigency plan dalam kondisi-kondisi apapun emergensinya, apalagi sekarang kita bicara tentang virus corona. Tapi lockdown tentunya harus ditunjang dengan persiapan yang lain, karena bukan sesuatu yang diucapkan saja tapi harus dilihat juga dengan persiapan yang lain, mulai dari masalah ekonomi, paling tidak anjuran dari WHO kan 2 minggu. Paling tidak 2 minggu ini kan memberi konsekuensi kepada eknonomi. Kemudian masalah-masalah aturan-aturan di pusat perbelanjaan harus ada aturan. Contoh di Singapura dia membuat aturan, masker satu orang hanya boleh beli 4, tidak boleh langsung borong semuanya. Pembelian hand sanitizer dan makanan dibatasi, ada aturan jelas. Ini multisektoral, semua pihak harus terkait termasuk aparat keamanan.

Bagaimana kesiapan fasilitas-fasilitas kesehatan kita dalam menghadapi wabah ini?

Pemerintah sudah menunjuk 13 rumah sakit rujukan. Rumah sakit rujukan ini konteksnya untuk penanganannya dan pengambilan spesimen. Di Jakarta umpamanya, berapa sih jumlah total yang disiapkan untuk kemungkinan pasien-pasien yang bisa dirawat di rumah sakit di jakarta? Ini belum ada, ini yang harus dibuka datanya. Ketika kita punya dasar data kemampuan rumah sakit kemudian kita memperluas rumah sakitnya dengan tentunya ruangan-ruangan isolasi terstandar dengan APD yang sudah disiapkan. Beda melakukan penanganan COVID dirawat di ruang isolasi dengan ruang isolasi untuk pasien diare atau demam berdarah, ini berbeda. Ada kekhususan yang harus jadi perhatian. Kemampuan ini lah yang kemudian saat bicara RS kewalahan, apa contigency plan selanjutnya?

Membangun RS khusus COVID-19?

Pembangunan rumah sakit khusus ini seperti yang dilakukan di Wuhan tentunya harus dari kewilayahan. Umpama Jakarta, rumah sakit khususnya dimana? Bisa kita pusatkan, setiap provinsi punya rumah sakit yang dipusatkan. Ini yang harus kita dorong. Bicara soal kebijakan satu pulau, nanti kita dihadapkan dengan permasalahan mobilisasi pasien, bagaimana kita membawa pasien ke pulau itu, itu kan jadi kesulitan tersendiri bagi kita.

Pemerintah telah mengimbau masyarakat untuk melakukan social distance guna menahan laju penyebaran virus corona COVID-19, bagaimana Anda melihat upaya ini?

Jadi social distance, kemudian kerja di rumah adalah salah satu langkah untuk mengurangi kontak. Tentunya semakin mengurangi kontak maka kita mencoba menekan angka penyebaran. Saya kira langkah-langkah ini harusnya dari awal, cuma karena ini trennya sudah semakin meningkat kasusnya maka ini mau tidak mau harus dilakukan. Di satu sisi bagus, social distance, isolasi di rumah, belajar di rumah, tapi ini harus ditindaklanjuti langkah-langkah. Social distance-nya seperti apa? Lebih teknis lagi, masyarakat membutuhkan informasi-informasi yang lebih teknis.

Di wilayah DKI satu sisi itu tidak tersosialisasikan dengan baik karena masyarakat tidak memahami apa social distance dan bekerja secara online di rumah. Saya kira perlu ditindaklanjuti dengan petunjuk teknis yang kemudian dijalankan dan tidak sebatas imbauan saja.  Disosialisasikan kepada masyarakat sehingga bisa sampai ke tingkat kelurahan, RT, RW. Contoh anak sekolah diliburkan 2 minggu, ternyata libur dua minggu main ke mall ini kan tidak boleh juga. Ini tetap harus ditindaklanjuti belajar di rumah dengan tujuan bukan sekedar diliburkan saja tapi untuk menghindari kontak. Itu konsep awal untuk pencegahan dalam rangka mengurangi kontak itu yang harus diberikan pemahaman kepada masyarakat. Langkah-langkah ini harus kita apresiasi tapi ini tolong diterjemahkan lebih teknis ke unit terkait.   

Presiden Jokowi pun telah membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 dan meminta daerah untuk memantau penyebaran COVID-19. Tanggapan Anda?

Gugus cepat ini memang sebuah langkah percepatan tapi tentunya gugus cepat ini harus didukung oleh regulasi yang kuat termasuk di dalam proses masalah pembiayaan, instruksional, karena mereka apakah mempunyai kemampuan untuk mengintruksikan ke kementerian terkait? Gugus ini sifatnya hanya koordiansi sama halnya dengan langkah teknis yang dilakukan Badan Nasional Penangulangan Bencana (BNPB), maka itu kenapa ketuanya Pak Doni karena dia kan di BNPB. Kalau pemikiran kami yang biasa di bidang emergensi sekarang adalah saatnya one command one system, untuk mengkoordinasikan semua langkah. Daerah kita suruh melakukan langkah dan percepatan namun tentunya tetap dalam satu koordinasi, supaya langkah ini jadi langkah gerak bersama. (rap/vlz)

Dr. Moh. Adib Khumaidi, Sp.OT merupakan Ketua Umum Perhimpunan Dokter Emergensi Indonesia (PDEI) sekaligus Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

Wawancara untuk DW Indonesia dilakukan oleh Rizki Akbar Putra dan telah diedit sesuai konteks.