Dewan Media Sosial, Independen atau Dikontrol Pemerintah?
Prihardani Ganda Tuah Purba
30 Mei 2024
Pemerintah kembali menggulirkan rencana pembentukan Dewan Media Sosial (DMS), sebagai respons atas usulan organisasi masyarakat sipil dan UNESCO. DMS diklaim akan dibentuk independen mirip Dewan Pers, tapi pakar skeptis.
Budi mengatakan wacana pembentukan DMS itu merupakan respons positif pemerintah atas masukan dari berbagai pihak, termasuk organisasi masyarakat sipil dan UNESCO.
Apa tugas Dewan Media Sosial?
Menurut Budi, DMS nantinya akan berfungsi untuk mengawal kualitas tata kelola media sosial di Indonesia, demikian seperti diberitakan Detik.
Sementara kepada Tempo, Budi mengungkapkan bahwa DMS nantinya akan befungsi sebagai lembaga mediasi ketika terjadi sengketa di media sosial, termasuk konten-konten yang terindikasi melakukan pelanggaran UU ITE, UU yang revisi keduanya telah disahkan DPR RI pada 5 Desember 2023.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Meski masih sekadar wacana, ada satu klaim Budi terkait pembentukan DMS yang menarik untuk dilihat lebih jauh.
Seperti diberitakan Tempo, Budi mengklaim, saat dibentuk nanti, DMS akan bersikap serupa seperti Dewan Pers. Artinya, ia akan menjadi sebuah lembaga independen yang diisi oleh lintas pemangku kepentingan, seperti organisasi masyarakat sipil, akademisi, insan pers, praktisi, dll.
Budi bahkan menjamin, DMS akan turut memastikan kebebasan pers dan kebebasan berpendapat di ruang digital.
Tapi apa benar demikian? Pakar yang diwawancara DW skeptis terkait hal ini.
Iklan
Kekhawatiran akan independensi
Kepada DW, Hafizh Nabiyyin yang menjabat sebagai Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi SAFEnet, mengaku bahwa usulan pembentukan DMS sejatinya muncul dari organisasinya pada tahun 2023.
DMS diusulkan untuk dicanangkan di UU ITE yang pada saat itu sedang dalam pembahasan revisi kedua. "Jadi kami berharap sebenarnya ada satu pasal baru di UU ITE yang bisa menjadi dasar pembentukan DMS ini,” kata Hafizh pada Rabu (29/05).
Dalam usulannya saat itu, SAFEnet meminta agar proses moderasi konten di internet, ikut melibatkan partisipasi dari organisasi masyarakat sipil, jadi tidak hanya dikuasai oleh pemerintah dan platform digital.
"Supaya moderasi konten yang dilakukan oleh Kominfo maupun platform tidak dilakukan secara serampangan. Jadi, tetap menghormati prinsip-prinsip kebebasan berekspresi, dan juga standar-standar HAM,” jelas Hafizh.
Peringkat Kebebasan Pers Negara Muslim
Benarkah radikalisme agama ikut mengancam kebebasan pers? Berikut peringkat negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar dalam Indeks Kebebasan Pers Internasional versi Reporters Sans Frontières.
Foto: picture-alliance/dpa
Kekuasaan Musuh Kebebasan
Kekhawatiran bahwa gerakan radikal Islam membatasi kebebasan pers hampir sulit dibuktikan. Kebanyakan penindasan yang terjadi terhadap awak media di negara-negara berpenduduk mayoritas muslim dilakukan oleh pemerintah, bukan ormas atau masyarakat, kecuali di kawasan konflik seperti Irak, Suriah atau Libya. Berikut peringkat kebebasan pers sejumlah negara muslim terbesar.
Foto: picture-alliance/ZB/J. Büttner
#120 Afghanistan
Wartawan di Afghanistan memiliki banyak musuh, selain Taliban yang gemar membidik awak media sebagai sasaran serangan, pemerintah daerah dan aparat keamanan juga sering dilaporkan menggunakan tindak kekerasan terhadap jurnalis, tulis RSF. Namun begitu posisi Afghanistan tetap lebih baik ketimbang banyak negara berpenduduk mayoritas muslim lain.
Foto: Getty Images/AFP/M. Hossaini
#124 Indonesia
Intimidasi dan tindak kekerasan terhadap wartawan dilaporkan terjadi selama masa kampanye Pilkada DKI Jakarta. Terutama kelompok radikal seperti FPI dan GNPF-MUI tercatat terlibat dalam aksi pemukulan atau penangkapan terhadap awak media. Namun begitu kaum radikal bukan dianggap ancaman terbesar kebebasan pers di Indonesia, melainkan militer dan polisi yang aktif mengawasi pemberitaan di Papua.
Foto: Getty Images/AFP/W. Kurniawan
#139 Pakistan
Wartawan di Pakistan termasuk yang paling bebas di Asia, tapi kerap menjadi sasaran serangan kelompok radikal, organisasi Islam dan dinas intelijen, tulis Reporters sans frontières. Sejak 1990 sudah sebanyak 2,297 awak media yang tewas. April silam, Mashal Khan, seorang wartawan mahasiswa tewas dianiaya rekan sekampus lantaran dianggap menistakan agama.
Foto: Getty Images/AFP/F. Naeem
#144 Malaysia
Undang-undang Percetakan dan Penerbitan Malaysia memaksa media mengajukan perpanjangan izin terbit setiap tahun kepada pemerintah. Regulasi tersebut digunakan oleh pemerintahan Najib Razak untuk membungkam media yang kritis terhadap pemerintah dan aktif melaporkan kasus dugaan korupsi yang menjerat dirinya. Selain itu UU Anti Penghasutan juga dianggap ancaman karena sering disalahgunakan.
Foto: Getty Images/R. Roslan
#155 Turki
Perang melawan media independen yang dilancarkan Presiden Recep Tayyip Erdogan pasca kudeta yang gagal 2016 silam menempatkan 231 wartawan di balik jeruji besi. Sejak itu sebanyak 16 stasiun televisi, 23 stasiun radio, 45 koran, 15 majalah dan 29 penerbit dipaksa tutup.
Foto: picture-alliance/dpa/U. Baumgarten
#161 Mesir
Enam tahun setelah Revolusi Januari, situasi kebebasan pers di Mesir memasuki masa-masa paling gelap. Setidaknya sepuluh jurnalis terbunuh sejak 2011 tanpa penyelidikan profesional oleh kepolisian. Saat ini paling sedikit 26 wartawan dan awak media ditahan di penjara. Jendral Sisi terutama memburu wartawan yang dicurigai mendukung atau bersimpati terhadap kelompok Ikhwanul Muslimin.
Foto: Reuters/A.A.Dalsh
#165 Iran
Adalah hal ironis bahwa kebebasan pers menjadi salah satu tuntutan revolusi yang menanggalkan kekuasaan Shah Iran pada 1979. Namun janji itu hingga kini tidak ditepati. Iran masih menjadi kuburan dan penjara terbesar bagi awak media, tulis Reporters Sans Frontières. Saat ini tercatat 29 wartawan dipenjara dan belasan media independen diberangus oleh pemerintah.
Foto: MEHR
#168 Arab Saudi
Berada di peringkat 168 dari 180 negara, Arab Saudi nyaris tidak mengenal pers bebas. Internet adalah satu-satunya ranah media yang masih menikmati sejumput kebebasan. Namun ancaman pidana tetap mengintai blogger yang nekat menyuarakan kritiknya, seperti kasus yang menimpa Raif Badawi. Ia dihukum 10 tahun penjara dan 10.000 pecutan lantaran dianggap melecehkan Islam. (rzn/yf - sumber: RSF)
Foto: imago/Mauersberger
9 foto1 | 9
Namun, ternyata usulan tersebut tidak diakomodir oleh Kominfo, sehingga ketika wacana pembentukan DMS digulirkan kembali oleh Budi baru-baru ini, muncul kekhawatiran bahwa DMS tidak akan independen, tapi berada di bawah kontrol eksekutif, dalam hal ini Kominfo.
Hafizh menggarisbawahi, jika DMS memang benar-benar ingin dibentuk sebagai lembaga independen, maka pembentukannya harus diatur di level UU seperti layaknya UU Pers, bukan melalui peraturan menteri.
Kekhawatiran yang sama dikemukakan oleh Wahyudi Djafar, yang menjabat sebagai Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM).
Ia merasa usulan pembentukan DMS yang baru-baru ini digulirkan Menkominfo Budi sudah tidak relevan, karena usulan tersebut sebelumnya sudah mengemuka pada saat pembahasan revisi kedua UU ITE, namun tidak diakomodasi.
"Bila usulan itu muncul hari ini, dan hanya dibentuk melalui peraturan menteri, tentu berisiko pada besarnya peluang intervensi pemerintah, yang juga memiliki kepentingan secara politik,” kata Wahyudi kepada DW, Rabu (29/05).
"Dia tidak akan bisa seperti halnya Dewan Pers, ataupun kemudian komisi-komisi independen yang lain, yang memang secara khusus dibentuk melalui UU. Jadi, ketika itu dibentuk oleh peraturan Menkominfo, maka yang terjadi dia berada di bawah kontrol dan pengaruh dari Kominfo atau pemerintah itu sendiri," tambah direktur eksekutif ELSAM itu.
Wartawan dan Kebebasan Pers
Sebuah studi mengungkap, situasi yang dihadapi wartawan masih buruk. Berikut negara-negara yang dianggap berbahaya buat awak pers.
Foto: AFP/Getty Images/P. Baz
"Setengah Bebas" di Indonesia
Di Asia Tenggara, cuma Filipina dan Indonesia saja yang mencatat perkembangan positif dan mendapat status "setengah bebas" dalam kebebasan pers. Namun begitu Indonesia tetap mendapat sorotan lantaran besarnya pengaruh politik terhadap media, serangan dan ancaman terhadap aktivis dan jurnalis di daerah, serta persekusi terhadap minoritas yang dilakukan oleh awak media sendiri.
Foto: picture-alliance/ dpa
Kebebasan Semu di Turki dan Ukraina
Pemberitaan berimbang, keamanan buat wartawan dan minimnya pengaruh negara atas media: Menurut Freedom House, tahun 2013 silam cuma satu dari enam manusia di dunia yang dapat hidup dalam situasi semacam itu. Angka tersebut adalah yang terendah sejak 1986. Di antara negara yang dianggap "tidak bebas" antara lain Turki dan Ukraina.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Serangan Terhadap Kuli Tinta
Turki mencatat serangkain serangan terhadap wartawan. Gökhan Biçici (Gambar) misalnya ditangkap saat protes di lapangan Gezi. Menurut Komiter Perlindungan Jurnalis (CPJ), awal Desember lalu Turki memenjarakan 40 wartawan - jumlah tertinggi di seluruh dunia. Ancaman terbesar buat kebebasan pers adalah pengambil-alihan media-media nasional oleh perusahaan swasta yang dekat dengan pemerintah.
Foto: AFP/Getty Images
Celaka Mengintai buat Suara Kritis
Serangan terhadap jurnalis juga terjadi di Ukraina, terutama selama aksi protes di lapangan Maidan dan okupasi militan pro Rusia di Krimea. Salah satu korban adalah Tetiana Chornovol. Jurnalis perempuan yang kerap memberitakan gaya hidup mewah bekas Presiden Viktor Yanukovich itu dipukuli ketika sedang berkendara di jalan raya. Ia meyakini, Yanukovich adalah dalang di balik serangan tersebut.
Foto: Genya Savilov/AFP/Getty Images
"Berhentilah Berbohong!"
Situasi kritis juga dijumpai di Cina dan Rusia. Kedua pemerintah berupaya mempengaruhi pemberitaan media dan meracik undang-undang buat memberangus suara kritis di dunia maya. Rusia misalnya membredel kantor berita RIA Novosti dan menjadikannya media pemerintah. Sebagian kecil penduduk Rusia pun turun ke jalan, mengusung spanduk bertuliskan, "Berhentilah Berbohong!"
Foto: picture-alliance/dpa
Mata-mata dari Washington
Buat Amerika Serikat, mereka adalah negara dengan kebebasan pers. Namun kebijakan informasi Washington belakangan mulai menuai kecaman. Selain merahasiakan informasi resmi dengan alasan keamanan nasional, pemerintah AS juga kerap memaksa jurnalis membeberkan nara sumber, tulis sebuah studi. Selain itu dinas rahasia dalam negeri AS juga kedapatan menguping pembicaraan telepon seorang jurnalis.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Terseret Kembali ke Era Mubarak
Setelah kejatuhan Presiden Mursi yang dianggap sebagai musuh kebebasan pers, situasi di Mesir pasca kudeta militer 2013 lalu terus memanas. Belasan jurnalis ditangkap, lima meninggal dunia "di tangan militer," tulis Freedom House. Media-media yang kebanyakan tunduk pada rejim militer Kairo membuat pemberitaan berimbang menjadi barang langka di Mesir.
Foto: AFP/Getty Images
Situasi di Mali Membaik
Mali mencatat perkembangan positif. Setelah pemilu kepresidenan dan operasi militer yang sukses menghalau pemberontak Islamis dari sebagian besar wilayah negara, banyak media yang tadinya dibredel kembali beroperasi. Kendati begitu perkembangan baru ini diwarnai oleh pembunuhan dua jurnalis asal Perancis, November 2913 silam.
Foto: AFP/Getty Images
Tren Positif di Kirgistan dan Nepal
Beberapa negara lain yang mengalami perbaikan dalam kebebasan pers adalah Kirgistan, di mana 2013 lalu tercatat lebih sedikit serangan terhadap jurnalis. Nepal yang juga berhasil mengurangi pengaruh politik terhadap media, tetap mencatat serangan dan ancaman terhadap awak pers. Loncatan terbesar dialami oleh Israel yang kini mendapat predikat "bebas" oleh Freedom House.
Foto: AFP/Getty Images
Terburuk di Asia Tengah
Freedom House menggelar studi di 197 negara. Setelah melalui proses penilaian, lembaga bentukan bekas ibu negara AS Eleanor Roosevelt itu memberikan status "bebas", "setengah bebas" dan "tidak bebas" buat masing-masing negara. Peringkat paling bawah didiami oleh Turkmenistan, Uzbekistan dan Belarusia. Sementara peringkat terbaik dimiliki oleh Belanda, Norwegia dan Swedia.
Foto: picture-alliance/dpa
10 foto1 | 10
Kekhawatiran akan kebebasan berekspresi
Selain kekhawatiran terkait independensi, pakar menilai pembentukan DMS, jika nantinya diatur di bawah Kominfo, akan berpotensi menekan kebebasan berekspresi di ruang digital.
"Pemerintah Indonesia adalah pemerintah yang paling aktif dan paling banyak meminta take down konten kepada platform, misalnya kalau merujuk pada annual google transparency report,” kata Wahyudi.
"Dengan preseden itu, ada kekhawatiran akan pembentukan dewan di bawah Kominfo hanya akan semakin memperkuat wewenang pemerintah untuk memblokir konten, yang pada akhirnya semakin merepresi kebebasan berekspresi,” tambahnya.
Sementara Hafizh mengatakan: "Apabila nanti si lembaga ini berada di bawah kewenangan Kominfo, ataupun dia independen tapi dia memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan atau monitoring aktif di media sosial, maka ini akan mengkhawatirkan karena bisa menimbulkan fenomena swasensor, baik oleh korporasi media sosial, maupun bagi individu-individu pengguna media sosial.”