Bagaimana menerapkan puasa di bulan Ramadan di tengah wabah corona di Jerman? Dewan Pusat Muslim di Jerman berpendapat, bagi mereka yang sehat, tetap menjalankan ibadah puasa.
Iklan
"Puasa bukan berarti menghentikan penyebaran virus, tetapi dapat memperkuat organisme dan sistem kekebalan tubuh," ujar Aiman A. Mazyek, pimpinan Dewan Pusat Muslim di Jerman, Zentralrat der Muslime in Deutschland. Berikut perbincangan Deutsche Welle dengan Aiman Mazyek seputar masa puasa bagi umat muslim.
DW: Ramadhan, bulan suci umat Islam, akan segera dimulai. Ada usulan bahwa umat Islam menangguhkan ibadah puasa pada tahun ini karena krisis kesehatan yang sedang melanda. Apakah hal itu bisa dimungkinkan dalam konteks Fiqh Islam? Mungkin bahkan ada preseden serupa dalam sejarah?
Aiman Mazyek: Itu berita hoaks di surat kabar. Yang jadi acuan adalah wawancara dengan sebuah institut dan akademisi di Mesir. Mereka terutama menitikberatkan pada hal-hal yang telah kita kenal, yakni orang yang lemah, orang sakit, perempuan hamil, perempuan yang baru saja melahirkan dan sebagainya tidak perlu puasa, atau bahkan mungkin tidak diizinkan berpuasa, karena menjaga keselamatan tubuh adalah suatu keharusan dalam Islam. Menurut anjurannya: “Sekarang salat Jumat dan salat di masjid lima waktu karena ada pandemi ditunda dulu dan sekarang kita berbicara tentang penangguhan Ramadan”. Namun tentu saja Ramadan dan pedomannya juga dapat dijalani oleh orang sehat dalam masa pandemi. Orang-orang yang sehat mendambakan Ramadan ini, karena ini bulan pengampunan, belas kasihan, sebulan percakapan intim dengan Tuhan. Dan terutama dalam keadaan darurat seperti pada masa corona ini, kita tetap ingin menjalankan ibadah Ramadan. Dalam hal ini, juga sangat mudah dilakukan oleh orang yang sehat. Tetapi tentu saja situasinya akan sangat berbeda. Ini akan sangat berbeda. Masjid-masjid ditutup, salat tidak dapat dilakukan di masjid, undangan buka puasa bersama ke masjid, atau di tempat lain, harus ditangguhkan, Ramadan tidak hanya beribadah di masjid, tetapi juga kehidupan sosial. kehidupan sosial inilah yang di masa pandemi ini tidak dimungkinkan.
Puasa adalah kewajiban bagi umat Islam dan kewajiban itu berlabuh di dalam Alquran. Menurut Islam, tubuh dan pikiran dibersihkan dengan puasa dan karenanya meningkatkan kesehatan. Namun, menurut beberapa ahli medis konvensional, menahan diridari makan dan minum dari matahari terbit hingga matahari terbenam bisa melemahkan sistem kekebalan tubuh, meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Bagaimana pendapat Anda, atas hal itu?
Ada kontra-pendapat untuk setiap laporan ilmiah. Kita tahu perbedaan pendapat ini juga terjadi di sektor-sektor lain. Dan ada laporan medis bahwa berpuasa dikatakan bahaya bagi kesehatan. Laporan-laporan ini sudah ada sebelum wabah corona dan selalu muncul sebelum Ramadan. Anda mungkiningat diskusi di sekolah, ya!? “Gangguan konsentrasi dan gangguan kinerja di sekolah.” Dalam pernyataan tahunan, asosiasi guru memanfaatkan fakta itu sesaat sebelum Ramadan ... dan saya rasa hal itu terjadi lagi kali ini. Tapi bagaimanapun, perdebatan itu akan selalu ada. Bagi orang sehat, kaum muslim, sistem kekebalan pada akhirnya diperkuat dengan berpuasa. Dan setiap dokter akan membenarkan bahwa puasa juga merupakan terapi. Ramadan bukan hanya membersihkan dan memurnikan pikiran, tetapi secara harfiah pemurnian tubuh. Dan detoksifikasi berarti racun dikeluarkan dari tubuh. Pada akhirnya, puasa adalah tindakan yang meningkatkan kesehatan dan bukan sebaliknya. Sekali lagi, itu hanya berlaku untuk orang sehat. Setelah tiga hari berpuasa, kita sudah terbiasa dengan hal itu. Dan kemudian tubuh menyesuaikan ritmenya. Untuk dua atau tiga hari pertama, puasa mungkin agak berat secara fisik, tetapi kemudian kita dapat dengan cepat masuk ke ritme itu. Kemudian kita juga merasakan bahwa tubuh, tentu saja secara perlahan melepaskan racun. Dan pada akhirnya memperkuat sistem kekebalan tubuh dan tidak melemahkannya.
Itu berarti bahwa selama periode wabah corona, Ramadan atau puasa tidak berbahaya?
Tidak! Sekali lagi tidak, kecuali untuk orang yang tidak sehat, yang sakit! Dan mereka itu seharusnya tidak berpuasa menurut Islam! Tapi puasa tidak ada hubungannya dengan masa pandemi corona.
Bagaimana dengan anjuran WHO dan pemerintah?
Kami memperhatikan pedoman WHO, juga pedoman manajemen krisis pemerintah Jerman. Kami terus-menerus melakukan kontak dan pertukaran informasi dengan pemerintah mengenai kondisi masa pandemi ini. Dan bagi kami, mereka menentukan perilaku kita. Misalnya, "penutupan", yang juga berdampak pada masjid, penutupan masjid secara total, yang tentu saja merupakan hal yang berat bagi kehidupan komunitas muslim, yang mungkin juga akan terjadi di bulan Ramadan, karena bisa berbahaya bagi kesehatan, karena pertemuan di masjid bisa menyulut sebaran virus dan oleh karena itu masjid tidak boleh dibuka selama waktu pandemi ini. Tetapi puasa sama sekali tidak menyebarkan virus, malah pada akhirnya memperkuat tubuh.
Masjid-masjid di bulan Ramadan biasanya lebih penuh daripada di waktu lain. Apakah mungkin bahwa umat Islam akan tetap bisa pergi beribadah di masjid-masjid selama bulan Ramadan, asalkan bisa jaga jarak sesuai ketentuan?
Tidak. Sulit bagi saya untuk membayangkannya. Jika situasi pandemi seperti sekarang, tidak berubah dalam beberapa minggu ke depan, hal itu mungkin berarti tentu saja di bulan Ramadan masjid-masjid ditutup dan tidak dibuka. Dan sama seperti salat Jumat di masjid dan salat berjemaah lima kali sehari di masjid tidak dilakukan dulu. Kini sudah berminggu-minggu, mungkin juga akan berlangsung di bulan Ramadan. Saya sulit membayangkannya.
Apa saran yang ada untuk perayaan Ramadan dan Idul Fitri yang "aman" – bagi muslim di Jerman dan internasional?
Jaga jarak satu sama lain. Selama vaksin itu belum ditemukan, kita harus hati-hati , banyak melakukan pencegahan, perlindungan diri, kontrol jarak, dll… Jadi ada daftar kewaspadaan yang sangat besar yang harus perhatikan dan ini juga berlaku dalam beribadah. Jika suatu hari, rumah ibadah akan dibuka lagi, maka harus berada di bawah pengawasan yang paling ketat.
Bagaimana jika ada yang tidak mematuhi pedoman WHO dan dapat menginfeksi diri mereka sendiri atau orang lain dengan virus corona? Menurut Anda, bisakah perilaku seperti itu memiliki konsekuensi hukum?
Ya, bagi kami itu adalah kewajiban sipil dan dikontrol oleh negara dan ada juga kewajiban agama. Karena menjaga kesehatan tubuh adalah keharusan Islam. Dan di sini orang yang membela diri atau bertindak melawannya bertentangan dengan hukum Jerman dan keyakinannya. Dan itu adalah seruan kami, dan sebagian besar umat muslim juga mematuhinya. Pembahasannya bukan bahwa harus memaksa umat Islam untuk melakukan hal itu sekarang ini, tetapi mereka biasanya melakukannya atas keyakinan mereka sendiri. Tapi pasti ada saja yang kemudian menentangnya. Tetapi itu artinya bertentangan dengan aturan negara dan dengan keyakinannya. (ap/vlz)
Wawancara dilakukan oleh Nabila Karimi.
Hidup di Jerman: Ramadan Tiba, Galau Melanda
Perasaan galau yang muncul saat menjalani bulan puasa di negeri orang, dengan jujur dikisahkan Nana yang berasal dari Lombok, NTB. Apa saja kegalauan yang ia rasakan di Jerman saat Ramadan dan bagaimana menyiasatinya?
Foto: DW/A.Purwaningsih
Tak sekedar keimanan
Tantangan ibadah puasa di negeri orang, bagi Nana, bukan sekedar masalah keimanan, namun juga menyangkut persoalan budaya, penyesuaian diri, kejujuran dan keikhlasan dalam menjalankan hidup. Bulan Ramadan selalu menjadi masa penting baginya untuk berefleksi mengenai semua hal menyangkut kehidupan dan keimanananya.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Hidup baru
Sejak 2011, Nana tinggal di Jerman. Berbekal pendidikan & pengalaman di Mataram, NTB serta dukungan suaminya yang orang Jerman, Nana membuka usaha spa. Usaha itu sementara terhenti tahun 2014, karena ia dikaruniai seorang bayi. Dari pernikahan sebelumnya, Nana juga sudah memiliki anak remaja berusia 13 tahun yang kini tinggal bersamanya dan suami di Jerman. Kini usaha spanya berlanjut lagi.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Menyesuaikan ibadah
Tidak mudah baginya menyesuaikan budaya Lombok darimana ia berasal dengan budaya baru di Jerman. Begitu pula dalam menyesuaikan kebiasaan beribadah. Biasanya di bulan Ramadan, ia memilih pulang kampung & berpuasa di sana. “Tahun-tahun lalu sudah mencoba puasa di Jerman, tengah bulan puasa biasanya pulang kampung karena tak bisa puasa di Jerman, tak ada euforia Ramadan di sini, sepi dan galau.“
Foto: DW/L. Sanders
Tahun 2016 mulai puasa di Jerman
Jika biasanya pulang kampung saat Ramadan, sejak 2016 Nana bertekad Ramadan di Jerman. Jadi baru tahun 2016 Nana menjalankan puasa di Jerman. 2017, puasa di musim panas di Jerman bisa 19 jam. “Masih bolong-bolong,“ akunya jujur. “Kadang tak kuat puasa 19 jam. Kangen suasana Ramadan yang tak terasa di sini. Beberapa hari ini saya sudah berhasil puasa di sini, rasanya nikmat sekali,“ ujar Nana.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Anaknya belajar menyesuaikan diri
Anak pertama Nana dari pernikahan sebelumnya bernama Putri. Ia tinggal bersama ibu dan keluarga barunya di Jerman sejak 2014. Di sekolah, ditambah bimbingan ayah barunya, ia belajar bahasa Jerman dengan cepat. Karena terbiasa dari kecil beribadah bersama nenek di Lombok, kebiasaan beribadah dari kampung halaman itu, tidak dilupakannya di Jerman.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Berbagi cerita dan perasaan
Seperti ibunya, sejak kecil di Mataram, Lombok, Putri sudah terbiasa mengaji. Di sekolah ia juga punya teman-teman dekat dari berbagai negara lain, seperti Turki, Marokko, Tunisia dan Palestina yang juga beragama Islam. Jika kesulitan beradaptasi dengan lingkungan baru, mereka saling berbagi tips dan pengalaman.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Mengaji bersama
“Meski belum mampu menjalankan ibadah sepenuhnya, saya selalu berusaha.. Saya ajak anak saya mengaji. Putri dari dulu pandai mengaji,“ papar Nana tentang putri sulungnya. Karena ia dan keluarga barunya pulang kampung pada saat Lebaran, mereka punya waktu banyak di Jerman selama Ramadan untuk melakukan berbagai kegiatan rohani bersama, di antaranya mengaji dan mencoba berpuasa.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Beda puasa di Lombok dan di Jerman
“Di Lombok dulu, Putri sudah puasa sejak usia tujuh tahun. Karena pada musim panas di Jerman puasanya bisa 19 jam, saya tak terlalu memaksakan diri atau putri saya.” tambahnya. Tahun 2016 ini, mereka beberapa kali berpuasa. “Di kampung, ada ngabuburit, tarawih bersama, buka puasa bersama, suasana yang sangat kami rindukan," papar Nana.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Tak pernah dipaksa
Suami Nana, Marcel, kini beragama Islam. Istrinya ikut mengajarkannya salat. “Tapi saya tidak pernah memaksanya dalam beribadah. Yang paling baik adalah kesadaran itu tumbuh dari dirinya sendiri. Dia banyak bertanya dan sebisa mungkin saya mencari tahu jawaban-jawabannya mengenai agama Islam. Agama bukan untuk dipaksakan,” papar Nana.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Dukungan suami
“Dulu waktu kami masih pacaran di Lombok, Marcel selalu ikut berpuasa, padahal belum mualaf. Tapi selalu ingin ikut-ikutan kita berpuasa,” tutur Nana menceritakan kisah suaminya. Dengan mengenal budaya dan kebiasaan ibadah tersebut, sang suami tak heran lagi jika istri dan anak perempuannya berpuasa belasan jam.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Sholat bersama
Jika Marcel melihat istri dan putrinya salat, ia pun tak ragu untuk ikut beribadah bersama keluarga kecilnya. Menurutnya, menjadi imam dalam beribadah, adalah bagian dari tanggung jawabnya kini sebagai kepala keluarga. Sejauh ini ia masih belum bisa mengaji dan masih kesulitan dalam menjalankan ibadah puasa. Namun ia bangga, istrinya mulai menyesuaikan diri untuk berpuasa di Jerman.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Masak untuk berbuka
Selain beribadah bersama, berbuka bersama membangun rasa kebersamaan dalam keluarga yang sangat membahagiakan. Ia selalu berusaha menyajikan masakan Indonesia untuk berbuka sekaligus bisa dihangatkan untuk sahur.
Foto: DW/A.Purwaningsih
berbuka bersama
“Ketika sukses berpuasa, rasanya senang sekali, saya berhasil menang lawan hawa nafsu,” tambahnya. “19 jam tak boleh ngomel, berkeluh kesah, atau suntuk.”Meski tak puasa, sang suami tak segan menunggu makan bersama pada waktu berbuka sekitar pukul sekitar 22.00 waktu Jerman. Saat melayani suaminya makan, Nana berseloroh: “Suami lebih suka masakan Indonesia, meski pedas.” ujarnyal tertawa.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Menu spesial
Salah satu menu yang pasti dibuatnya di bulan puasa adalah ikan belado tongkol yang pedas, dan sate ayam. Untuk hidangan penutup, tak lupa Nana menyiapkan kolak singkong pisang, kurma dan es jeruk.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Asyiknya makan pakai tangan
“Kurang seru rasanya jika makan pakai sendok garpu,“ ujar Putri kepada ibunya sambil menyuap makanan ke mulut dengan genggaman tangannya. “Masakan mama saya selalu enak. Mengingatkan saya pada kampung halaman,” tambahnya.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Bulan berkah
Baginya, bulan Ramadan adalah bulan penuh berkah dan pengampunan. "Berpuasa bagiku tak hanya menahan lapar dan haus, tapi juga kesabaran. Sebagai umat Muslim, saya harus menjalankannya,“ tandas Nana. “Tak terasanya suasana Ramadan membuat saya sedih dan secara psikologis mengganggu,“ katanya. “Saya akan membayar zakat pada anak yatim di kampung saat Lebaran.”
Foto: DW/A.Purwaningsih
Yang penting berimbang
Nana selalu berusaha mengimbangi antara kehidupan modernitas di dunia barat, perbedaan budaya dan ketaaan beragama. “Akhir pekan saya meluangkan waktu berkegiatan latihan menyanyi musik Melayu untuk berbagai pementasan budaya. Ini penting untuk mempromosikan budaya Indonesia di masyarakat Jerman, dimana kini saya tinggal,“ ungkapnya.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Masa depan
“Membiasakan diri melakukan kegiatan agama terutama di bulan Ramadan itu penting, karena suatu saat nanti saya dan suami sama-sama ingin tinggal di Lombok. Bukan hanya materi, mental dan hati harus siap,” tandasnya. “Di negara ini saya digembleng menghalau galau dan gamang dalam banyak hal, termasuk keimanan. Yang paling penting dari semua itu,selalu berbuat baik,” demikian Nana menutup kisahnya.