Segala prestasi baik tidak dengan serta merta membuat publik memberikan simpati menyeluruh terhadap kepolisian. Mengapa demikian? Simak ulasan Rahadian Rundjan.
Iklan
Ada fenomena menarik dalam peristiwa kerusuhan di depan gedung Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Jakarta, pada 22-23 Mei 2019 lalu. Kita dapat menyaksikan bagaimana kerusuhan tersebut memunculkan banyak respon-respon simpatik terhadap aparat kepolisian yang bertugas. Mulai dari media-media yang menyorot sisi-sisi humanis mereka, seperti salah seorang polisi yang melakukan panggilan video dengan anaknya di kala beristirahat, sembahyang bersama para demonstran, sampai dukungan massal untuk membuktikan bahwa isu yang mengatakan bahwa kepolisian Indonesia telah disusupi oleh personel-personel asal China adalah hoaks.
Setidaknya 200 orang terluka dan 8 orang meninggal secara misterius dalam kerusuhan, namun langkah-langkah kepolisian seperti pelarangan penggunaan peluru tajam, negosiasi dengan para demonstran untuk menghalau provokator, serta gerak cepatnya untuk menahan para penyusup demonstrasi dari luar daerah, sudah cukup baik dalam menunjukkan profesionalisme kerja mereka di mata publik. Walaupun kini kepolisian sedang bergulat secara intelijen dengan isu-isu makar dan pembunuhan terencana terhadap tokoh-tokoh nasional, citra mereka di mata publik kini sedang begitu positif; sesuatu yang sesungguhnya jarang terjadi.
Hal tersebut dapat terjadi karena beberapa sebab, namun faktor utamanya adalah kemenangan meyakinkan Jokowi dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 dan citra politik progresifnya yang dianggap berhasil meningkatkan kepercayaan masyarakat luas terhadap negara dan perangkat-perangkatnya. Dalam peristiwa kerusuhan tersebut, pihak kepolisian yang terlihat mempertahankan diri mati-matian dianggap sebagai pelindung stabilitas keamanan, semangat reformasi, dan kelangsungan demokrasi sipil Indonesia dari huru-hara pasca pemilu yang direncanakan oleh pihak-pihak terselubung yang anti demokrasi.
Namun jika membicarakan perjalanan citra kepolisian sebagai sebuah institusi profesional, maka lebih tepat untuk menggambarkannya sebagai sebuah garis yang naik turun. Mulai dari awal pembentukannya sampai saat ini, kepolisian kerap dibenci setengah mati karena sering berlaku semena-mena terhadap rakyat sipil namun juga begitu dicintai kala mereka dapat bekerja secara efektif.
Turun Naik Kepercayaan Publik
Akar sejarah kepolisian modern Indonesia dapat ditelusuri sejak masa Hindia Belanda, tepatnya memasuki awal abad ke-20 ketika institusi kepolisian mulai tegak sebagai penjaga keamanan dan ketertiban (rust en orde) serta status quo kolonialisme Belanda yang utama. Sukarno adalah orang yang paling giat mereka selidiki. Setidaknya pada tahun 1930, personel kepolisian kolonial telah berjumlah sekitar 54.000 jiwa, 96 persen adalah personel-personel pribumi. Eksistensi mereka diamini orang-orang Eropa yang jumlahnya kian besar namun juga menjadi momok bagi kelompok pergerakan nasional Indonesia.
Amerika Negeri Polisi
Militerisasi kepolisian AS mulai menggerogoti stabilitas negeri. Langkah yang dulu diperlukan dalam perang obat bius itu malah meracuni mentalitas instansi kepolisian dan berbalik mengancam hak-hak warga sipil
Foto: Getty Images/S.Platt
Perang Narkoba
Saat ini Amerika Serikat memperkerjakan hingga 900.000 aparat kepolisian. Jumlah tersebut membengkak sejak dekade 1990an. Pada saat itu di AS berkecamuk perang obat bius antara kepolisian dan kartel narkoba. Sejak saat itu setiap tahun satuan khusus kepolisian yang bernama SWAT diterjunkan sebanyak 50.000 kali dalam setahun dari yang sebelumnya cuma 3000.
Foto: Reuters/L. Jackson
Militerisasi Aparat
Untuk memperkuat kepolisian dalam perang narkoba pemerintah AS di era Presiden Bill Clinton mengesahkan National Defence Authorisation Act yang antara lain mencantumkan "program 1033." Butir tersebut mengizinkan kepolisian lokal mendapat peralatan militer semisal senapan serbu, baju pelindung atau bahkan kendaraan lapis baja dan senjata pelontar granat.
Foto: Getty Images/S.Eisen
Dana Raksasa
Antara 2002 hingga 2011 pemerintahan federal AS telah mengucurkan dana sebesar 35 miliar Dollar atau sekitar 450 triliun Rupiah kepada polisi lokal untuk perang melawan obat bius dan terorisme. Yayasan American Civil Liberties Union (ACLU) mencatat nilai perlengkapan militer yang digunakan polisi meningkat dari 1 juta Dollar di tahun 1990 menjadi 450 juta di tahun 2013.
Foto: picture-alliance/dpa/R. Lauer
Racun di Kepolisian
Tapi perang narkoba ikut meracuni mentalitas aparat keamanan AS. Polisi yang dulunya bekerja untuk melayani warga, kini menjadi serdadu dengan tugas membunuh. Tidak heran jika kasus penembakan oleh polisi meningkat tajam. Tahun 2015 silam polisi AS menembak mati 90 orang yang tidak bersenjata tanpa alasan jelas.
Foto: Reuters/A. Latif
Tentara Pendudukan
Pertengahan tahun lalu Presiden Barack Obama mengeluhkan betapa "perlengkapan militer justru membuat polisi merasa seakan-akan menjadi tentara pendudukan dan ini bertentangan dengan peran melindungi warga." Namun demikian gagasan demilitarisasi kepolisian selama ini selalu menemui perlawanan di parlemen dan senat, terutama berkat lobi industri senjata.
Foto: Getty Images/S.Platt
Senjata Perang Seharga Kacang
Celakanya program 1033 sering disalahgunakan. Departemen Kepolisian di Watertown, sebuah kota kecil berpenduduk 22.000 jiwa di Connecticut, misanya beberapa tahun silam mendapat kendaraan lapis baja MRAP yang didesain untuk melindungi serdadu dari jebakan ranjau di pinggir jalan. Untuk itu kepolisian lokal cuma membayar 2800 Dollar. Ironisnya Watertown tidak pernah mencatat kasus jebakan ranjau
Foto: Reuters / Mario Anzuoni
Bias Rasial
Demam militer juga melanda kepolisian lokal di kota-kota kecil Amerika. Kepolisian di Bloomington, Georgia, yang berpenduduk cuma 2700 orang saat ini memiliki empat senjata pelontar granat. Situasi itu diperburuk dengan pendekatan kepolisian terhadap kaum minoritas hitam yang cendrung bias rasial. Menurut ACLU kaum Afrika-Amerika adalah yang paling sering menjadi korban brutalitas kepolisian.
Foto: Getty Images/S.Platt
Serdadu Berburu Baju Curian
Januari silam polisi di negara bagian Iowa menurunkan tim bersenjata lengkap untuk menyerbu sebuah rumah. Misi mereka adaah mencari benda curian seharga 1000 Dollar AS. Ketika diketahui pemilik rumah yang berkulit hitam tidak bersalah dalam kasus tersebut, polisi lalu memublikasikan catatan kriminal mereka untuk membenarkan penyerbuan.
Foto: picture-alliance/dpa/A.Welch Edlund
Nyawa Tanpa Warna
Polisi berdalih perlengkapan militer dibutuhkan untuk melindungi warga dari kejahatan berat semisal penembakan massal. Namun brutalitas aparat keamanan yang dalam banyak kasus sering disisipi bias rasial memicu ketegangan sipil di seantero negeri. Komunitas kulit hitam sampai-sampai membuat gerakan sipil bernama "black lives matter".
Foto: picture-alliance/AP Photo/E. J. Wambsgans
Dukungan Pemerintah
Ironisnya kepolisian juga kerap menindak keras demonstran yang turun ke jalan buat menentang brutalitas aparat keamanan. Dalam berbagai aksi protes seperti di Ferguson atau Phoenix, polisi menangkap aktivis dan bahkan wartawan. Terebih sebagian besar perwira yang terlibat dalam penembakan terhadap warga sipil divonis bebas oleh pengadilan.
Foto: Reuters/A. Latif
10 foto1 | 10
Ketika Jepang menduduki Hindia Belanda, jabatan-jabatan tinggi di tubuh kepolisian yang sebelumnya dipegang opsir-opsir Eropa digantikan oleh kalangan pribumi. Namun posisi tersebut adalah impoten karena mereka berada di bawah pengawasan langsung perwira-perwira Jepang dan tugas kepolisian lebih disesuaikan dengan kepentingan tentara pendudukan. Karena itu Kempetai (polisi militer Jepang) lebih menonjol dan ditakuti karena terkenal kejam, walau mereka cukup menghargai tokoh-tokoh pergerakan nasional Indonesia yang dianggap dapat mengkonsolidasi opini rakyat untuk mendukung Jepang.
Kepolisian kian memperlihatkan profesionalismenya di masa Indonesia merdeka. Mulai 1 Juni 1946 institusi kepolisian bertanggung jawab langsung kepada kepala pemerintahan dan tanggal tersebut sampai saat ini diperingati sebagai hari lahir kepolisian atau Hari Bhayangkara. Beberapa nama polisi terkenal dalam dekade-dekade awal kemerdekaan Indonesia di mata publik misalnya adalah Soekanto, Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) yang pertama dan terlama (1945-1959) dan Muhammad Yasin, pendiri Brigade Mobil (Brimob), kesatuan yang berjasa dalam pertempuran-pertempuran mempertahankan kedaulatan Indonesia dari aksi-aksi separatisme di tahun 1950-an.
Dan tentu saja nama Hoegeng Iman Santoso tidak bisa dilupakan. Kita mungkin lebih mengenalnya dari kelakar Gus Dur yang mengatakan bahwa "di negeri ini cuma ada tiga polisi jujur: patung polisi, polisi tidur, dan polisi Hoegeng.” Bagi Hoegeng setiap tindak kejahatan harus diberantas baik itu pelakunya seorang kriminal ataupun petugas polisi sendiri. Selama masa penugasannya sebagai Kapolri (1968-1971), sosoknya populer di tengah-tengah masyarakat sebagai aparat yang bersih. Ironisnya, sikap profesionalnya inilah yang kemudian membuatnya dilengserkan oleh Soeharto, presidennya sendiri.
Di masa Orde Baru, militer berdaulat penuh sebagai penyelenggara keamanan negara. Tidak seperti di masa-masa sebelumnya yang memperlihatkan polisi sebagai penegak hukum yang relatif lebih steril dari intervensi, polisi masa Orde Baru pun kembali dipengaruhi oleh kepentingan politik seperti di masa Hindia Belanda. Segala penyidikan yang mengarah pada keluarga Cendana dan koleganya akan dihambat dan menguap begitu saja, seperti kala Hoegeng menangani kasus Sum Kuning dan penyelundupan mobil komplotan Robby Tjahjadi.
Kepolisian yang menjadi anak bungsu dalam penyelenggaran keamanan di bawah Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara dalam organisasi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) itupun kian dilabeli sebagai institusi yang tidak kompeten, tidak profesional, bahkan dibenci masyarakat luas karena segala sesuatu yang berhubungan dengan polisi pasti akan berujung uang. Mulai dari polisi di jalanan yang sering memalak pengendara sampai di bagian reserse yang mengurus perkara pidana. Citra polisi telah mengakar buruk dan bersinonim dengan sogokan-sogokan.
Angin perubahan terjadi. Pemisahan antara institusi militer dan kepolisian pada 1999 merupakan buah dari reformasi. Kepolisian kian berperan dominan dalam penyelenggaraaan keamanan negara seperti pengusutan kasus-kasus kriminal tingkat tinggi, terorisme, bahkan korupsi, meninggalkan tentara yang dulu jumawa tampil di publik sebagai wajah hukum pemerintahan Orde Baru. Salah satu momen yang memperlihatkan bahwa institusi kepolisian telah siap menyambut reformasi dan lepas pengaruh Orde Baru adalah peristiwa penangkapan Tommy Suharto, anak Suharto, atas kasus pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita pada 2001 silam.
Teroris Bersenjata Tajam Sambangi Mapolda Riau
Lima terduga teroris menyerang mapolda Riau di Pekanbaru dan menewaskan seorang petugas. Empat penyerang berhasil dilumpuhkan. Polisi meyakini JAD jaringan Riau mendalangi serangan tersebut.
Foto: Reuters/Antara Foto/N. Arbi
Serangan Rabu Pagi
Rangkaian serangan teror di Indonesia belum tuntas. Sesudah serangan di Surabaya, kini sebanyak lima pria tak dikenal menyerbu gedung Kepolisian Daerah Riau di Pekanbaru. Mereka mengendarai mobil dan mencoba menerobos masuk ke dalam kompleks mapolda.
Foto: Getty Images/AFP/WAHYUDI
Empat Menghunus Pedang
Empat pelaku dikabarkan menghunus pedang dan menyerang petugas yang berada di sekitar. Akibatnya sejumlah petugas mengalami luka bacok. Polisi kemudian berhasil menewaskan keempat penyerang dan menangkap supir yang mengendarai mobil para teroris.
Foto: Getty Images/AFP/WAHYUDI
Gugurnya Ipda Auzar
Pelaku sempat menabrak seorang aparat yang sedang bertugas. Ipda Auzar meninggal dunia setelah dilarikan ke RS Bhayangkara. Polisi kemudian menerjunkan tim Gegana untuk memeriksa apakah para pelaku menyimpan bom di dalam mobil.
Foto: Getty Images/AFP/D. Sutisna
Siaga di Mapolda
Sejumlah awak media mengalami luka-luka akibat terserempet mobil tersangka teroris. Ketika peristiwa ini terjadi aparat dan awak media sudah memenuhi kompleks Mapolda Riau menyusul rencana jumpa pers terkait penanganan narkoba.
Foto: Getty Images/AFP/WAHYUDI
Sepak Terjang Jaringan Riau
Polisi sempat mencurigai kelompok Jemaah Ansharud Daulah bertanggungjawab atas serangan tersebut. Terutama sel JAD lokal yang dikenal sebagai Jaringan Riau sejak lama aktif menyiapkan serangan teror di Sumatera. Sejauh ini polisi berhasil menggagalkan rencana mereka.
Foto: Getty Images/AFP/D. Sutisna
Teror Disusul Gelombang Penggerebekan
Namun belakangan ketahuan, pelaku serangan merupakan kelompok Negara Islam Indonesia yang berafiliasi dengan sel ISIS di Dumai. Kepolisian kini sibuk mengerahkan penggerebekan di sejumlah kota. Selain mengamankan 20 tersangka teroris di Jawa dan Tanggerang, polisi juga dikabarkan berhasil menciduk Amir JAD Jawa Timur, Syamsul Arifin di Malang. (rzn/yf - ap, rtr, detik, kompas, tribun)
Foto: Reuters/Antara Foto/N. Arbi
6 foto1 | 6
Polisi Reformasi, Reformasi Polisi
Namun toh segala prestasi baik tersebut tidak dengan serta merta membuat publik memberikan simpati menyeluruh terhadap kepolisian. Apa yang diperlihatkan di televisi dan kanal-kanal berita digital nyatanya tidak melulu sejalan dengan yang terjadi di lapangan. Polisi masih menjadi momok, yang mungkin tidak lagi bersifat intimidatif dan petantang-petenteng seperti di era Orde Baru, namun lebih sebagai subyek menyebalkan yang sebaiknya dihindari daripada berurusan dengannya.
Pada Februari 2019 lalu, perusahaan riset terkemuka Markplus Insight merilis indeks kepercayaan publik terhadap kepolisian. Survei yang dilakukan secara acak dan melibatkan 29.250 responden tersebut menyebutkan bahwa indeks kepuasaan terhadap institusi kepolisian sebesar 74,66 persen dan nilai indeks kepercayaan sebesar 80,73 persen. Nilai yang cukup tinggi, namun cukup meragukan dijadikan sebagai acuan universal.
Pelayanan kepolisian seperti pengurusan tilang dan surat-surat kendaraan masih banyak yang belum lancar kalau kode-kode KUHP (Kasih Uang Hilang Perkara) belum dilibatkan. Belum lagi penuntasan kasus-kasus besar seperti perkara Novel Baswedan, korupsi sistematik di tubuh kepolisian, penanganan berlebihannya terhadap aktivis-aktivis lingkungan, sampai penggeledahan buku-buku kiri yang lebih terlihat sebagai aksi kurang kerjaan, nirintelektual, dan tak berbudaya. Jika hal-hal seperti ini tidak dibenahi, heroisme kepolisian dalam kericuhan Gedung Bawaslu dipastikan akan menjadi angin lalu saja dalam sejarah kepolisian.
Sudah saatnya kita harus merasa selalu diayomi kala bertemu polisi di jalan raya, bukan berhenti, putar balik, dan melawan arus untuk menghindarinya. Untuk menciptakan polisi era reformasi yang kompeten dan profesional tentu harus ada reformasi menyeluruh di dalam institusi kepolisian, sehingga simpati dan kepercayaan publik terus terjaga.
Penulis @RahadianRundjan adalah esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis
*Silakan berbagi komentar pada kolom di bawah ini. Terima kasih.
Pro Kontra Polisi Bertato di Jerman
Di Hawaii "aloha" berarti cinta dan kasih sayang. Meskipun memiliki arti baik, seorang polisi di Bayern tidak boleh mentato kata itu di lengannya. Namun di negara bagian lain di Jerman, tato untuk polisi tidak dilarang.
Foto: picture alliance/AP Photo/M. Sohn
Bertato di bagian tubuh yang terlihat
Polisi di Berlin diizinkan, sementara di Bayern tidak. Jika mereka mengenakan seragam polisi, maka tato mereka tidak boleh terlihat. Hal ini telah diputuskan oleh Pengadilan Wilayah Administratif Bayern. Seorang perwira polisi Bayern, yang ingin memiliki tato "Aloha" di lengannya, mengajukan gugatan. Para hakim tidak terkesan dengan fakta bahwa 1 dari tiap 5 orang Jerman memiliki tato.
Foto: picture alliance/AP Photo/M. Sohn
Tato dan tindik - buat polisi terlihat tidak berwibawa?
Respek yang didapat dari seragam polisi akan hilang dengan adanya tato, kata Freistaat Bayern. Hal itu juga didukung oleh sebuah penelitian. Jika polisi tidak mendapat respek dari masyarakat, maka itu bisa meningkatkan risiko bahaya dalam bertugas karena orang cenderung menjadi tidak mematuhi polisi. Namun, penelitian tentang polisi bertato ini tidak representatif.
Foto: picture-alliance/AP Images/M. Sohn
Peraturan yang berbeda di tiap negara bagian
Polisi dari Hannover yang ada di foto ini boleh memiliki tato. Di Jerman, masing-masing negara bagian memiliki peraturannya sendiri. Di Nordrhein-Westfalen dan Sachsen-Anhalt, misalnya, tato berukuran besar pada betis dan lengan atas diperbolehkan. Berlin juga telah melonggarkan aturan untuk tato bagi pegawai negeri karena kurangnya tenaga kerja yang bekerja di kantor pemerintahan.
Foto: picture-alliance/dpa/H. Hollemann
Polisi Inggris boleh bertato
Di Inggris jelas nampak tidak ada masalah bagi pegawai negeri yang terlihat memiliki tato di tubuh mereka. Dari segi warna, tato sang polisi dari West Sussex pada foto, paling tidak, cocok dengan seragamnya.
Foto: picture-alliance/empics/A. Matthews
Di AS juga boleh
Di AS, tato pada pegawai negeri juga umumnya tidak dilarang. Polisi Arizona ini memilih motif tato yang cukup sederhana. Dengan iklim negara bagian yang panas, ia cenderung selalu memakai kemeja polisi lengan pendek yang memperlihatkan tatonya.
Foto: picture-alliance/dpa/R. Dabner
Selain tato, polisi juga boleh pakai turban
Di kota New York, AS, polisi diperbolehkan untuk tidak hanya mengenakan tato, tetapi juga tanda-tanda afiliasi keagamaan seperti turban, jilbab atau jenggot. Seperti di Berlin, New York, yang juga mengalami kekurangan pegawai negeri generasi muda, telah melonggarkan peraturan dengan mentoleransi tato dan pakaian keagamaan. (na/vlz).