1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiEropa

Di Balik Kekisruhan Larangan Ekspor Bijih Nikel

13 Februari 2021

Rapat konsultasi Uni Eropa dan Indonesia di WTO soal larangan kebijakan ekspor bijih nikel gagal temui kesepakatan. Tawaran investasi di Indonesia digulirkan, namun bagaimana kondisi domestik?

Menambang nikel di Soroako, Sulsel
Potret penambangan nikel di Soroako, Sulawesi SelatanFoto: Bannu Mazandra/AFP/Getty Images

Dalam forum penyelesaian sengketa perdagangan di Organisasi Perdagangan Dunia, WTO, Indonesia tetap mempertahankan posisinya dalam hal larangan ekspor nikel mentah. Duta Besar Indonesia untuk Jerman, Arif Havas Oegroseno meyakini argumentasi Indonesia untuk memberlakukan larangan tersebut seharusnya dapat diterima oleh berbagai pihak, mengingat beberapa tahun belakangan pembelian Uni Eropa terhadap bahan baku mentah tersebut tergolong rendah. ”Dari data yang kami himpun, pada tahun 2008, Uni Eropa hanya membeli 2,3 persen dari Indonesia. Tahun 2009-2013 rata-rata hanya 5%, Tahun 2014, bahkan 0,31 persen. Tahun 2015, 2016, 2017 malah tidak pernah beli dari Indonesia. Jadi mengapa sekarang mempermasalahkannya?" tanya Havas.

Sejak 1 Januari 2020 pemerintah Indonesia memberlakukan larangan ekspor bijih nikel. "Keinginan untuk menghentikan ekspor itu sebenarnya sudah dari tahun 2009, lalu mundur tahun 2014, dan ada relaksasi tahun 2017, pada saat yang relaksasi itu kita ekspor yang low-grade. Faktanya mayoritas bahan mentah nikel itu diekspor ke Tiongkok,” ujar Havas.

Larangan ekspor bijih nikel berkadar rendah ini diatur dalam Undang-Undang Mineral dan Batu Bara Nomor 4 Tahun 2009, di mana dalam aturan disebut larangan akan berlaku pada tahun 2022 untuk kadar nikel kurang dari 1,7%. Lewat Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019 kebijakan larangan ekspor bijih nikel berakhir 31 Desember 2019.

Nikel merupakan komponen penting dalam produksi baja tahan karat. Menurut Asossiasi baja Eropa EUROFER, sebagian besar kandungan baja tahan karat mengandung nikel karena meningkatkan ketahanan korosi. Juru bicara EUROFER, Charles de Lusignan menyebutkan penimbunan material ini di Indonesia meningkatkan daya saing industri baja tahan karatnya. Ia mensinyalir Indonesia ingin membangun sektor baja tahan karat berorientasi ekspor dengan maksud untuk masuk ke pasar lain. "Mengingat bahwa nikel mewakili 45% dari biaya produksi baja tahan karat, mereka memperoleh bagian ini melalui cara yang tidak dapat dibenarkan."

Di lain pihak, pengamat migas yang juga Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan menilai Indonesia tidak menyalahi kebijakan perdagangan bebas, "Ini kebijakan negara untuk mengoptimalkan pendapatan negara. Sama seperti pelarangan kelapa sawit, apakah itu tidak melanggar fair trade?"

Uni Eropa mengajukan permintaan pertamanya kepada panel WTO untuk memutuskan langkah-langkah Indonesia terkait bahan baku, yang meliputi larangan ekspor bijih nikel oleh Indonesia dan persyaratan pemrosesan dalam negeri atas mineral, khususnya untuk bijih nikel dan bijih besi. Namun konsultasi sengketa mengenai masalah tersebut gagal menyelesaikan perselisihan. Demikian keterangan yang disampaikan WTO.

Dalam keterangan itu disampaikan pula bahwa Indonesia mengatakan pihaknya memberikan tanggapan yang komprehensif dan terlibat secara konstruktif dengan Uni Eropa dalam proses konsultasi, namun menggambarkan permintaan Uni Eropa bersifat prematur untuk dibahas dalam Badan Penyelesaian Sengketa ((Dispute Settlement Body- DSB). Akibatnya, Indonesia menyatakan tidak bisa menyetujui permintaan UE. Namun Indonesia mengatakan siap untuk terlibat lebih jauh dengan Uni Eropa guna menyelesaikan masalah tersebut.

Setelah konsultasi di DSB tanggal 25 Januari lalu, DSB setuju untuk kembali meninjau masalah jika diminta.

Mengundang Uni Eropa berinvestasi di Indonesia

Menurut data US Geological Survey, Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki cadangan nikel terbesar di dunia. Thorsten Gerber, CEO dan pendiri perusahaan pendistribusian baja Gerber Group maklum jika Jakarta ingin melindungi bahan bakunya yang strategis, dengan memberlakukan larangan ekspor nikel ini.

"Baja nirkarat merupakan komoditas strategis. Industri di seluruh dunia dibangun dari komoditas ini. Tetapi Uni Eropa hanya melindungi produsen bajanya sendiri dan melupakan industri hilir," demikian opini yang disampaikan Gerber. "Hampir tidak ada materi yang didapat. Selain pandemi corona, hal ini akan menjadi pukulan maut bagi industri Eropa. Karena dengan begitu tidak ada lagi baja tahan karat yang tersedia."

Pengamat migas Mamit Setiawan berharap Uni Eropa mendukung upaya hilirisasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia mengingat sudah lama Indonesia menjual bahan baku mentah. "Upaya ini merupakan langkah dalam memberikan nilai tambah bagi produk Indonesia. Melalui nilai tambah tersebut  pendapatan negara menjadi lebih banyak. Saya kira Uni Eropa harus memahami ini. Jika memang ingin tetap mendapatkan nikel Indonesia, maka sudah seharusnya Uni Eropa menanamkan investasi di Indonesia. Sama seperti Cina yang melakukan hal itu mengingat cadangan nikel Indonesia yang besar.”

Duta besar Arif Havas Oegroseno menerangkan: "Posisi kita adalah, ya kalian (Uni Eropa) datang saja ke Indonesia, untuk membuat smelter, industri turunannya, sehingga kita bisa mengekspor produk dengan nilai tambahnya.”

Suara penambang nikel

Di Indonesia, sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey menyatakan sejauh ini APNI mendukung kebijakan larangan ekspor bijih nikel yang dilakukan pemerintah. Namun untuk undangan agar negara-negara asing berinvestasi di Indonesia, APNI memberikan catatan. Meidy  berharap jangan sampai ada investasi masuk ke Indonesia, tapi penambangnya tidak bisa berbuat apa-apa, selain dikontrol oleh para investor asing.

Harga patokan ditetapkan dengan pengawasan Tim Satgas Tata Niaga Nikel. Meidy mengungkapkan, jika ingin dibandingkan harganya sekarang, harga kadar 1,8 secara Free on Board (FOB) di bulan Januari adalah 37 dollar AS per wet metric ton (wmt), sedangkan dibandingkan dengan harga internasional ekspor, angkanya 108 dollar AS. "Tentu pincang ya, sepertiga. Tapi bagi kami sudah layak, karena smelter hadir di Indonesia, ongkosnya harus dihitung untuk mengolah bahan baku, tidak mungkin pula mengikuti harga internasional.  Tapi yang jadi permasalahan di sini masih banyaknya permainan-permainan yang terjadi, yang dikontrol oleh smelter-smelter asing itu.” Menurut Meidy, karena investor smelter terlalu berkuasa, para penambang merasa tertekan.

APNI mendesak pemerintah memperhatikan kepentingan para penambang lokal, bukan hanya investor asing, "Apalagi ke depan akan ada pabrik ore, pabrik baterai. Kebutuhan ore dan baterai listrik besar. Pemerintah harus mengatur tata niaganya agar tidak jadi konflik antara industri hulu dan hilir," tandas Meidy. (ap/hp)