1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Di Balik Penyanderaan ABK Indonesia

Wahyu Susilo11 Juli 2016

Tiga ABK Indonesia kembali diculik di perairan Sabah, Malaysia. Penyanderaan ini adalah yang kelima kalinya terjadi dalam tiga bulan terakhir. Ada apa di balik kekerasan terhadap para ABK ini? Ikuti ulasan Wahyu Susilo.

Indonesien Rückkehr der freigelassenen Abu Sayyaf Geiseln
Foto: picture-alliance/AA/D. Roszandi

Paruh pertama tahun 2016, kawasan maritim Indonesia sangat dinamis dan bahkan riuh dengan gejolak-gejolak. Peristiwa penangkapan dilanjutkan penenggelaman kapal ikan asing yang menjarah sumber daya maritim Indonesia, memanasnya kawasan Laut Cina Selatan yang ditandai dengan penembakan terhadap kapal asing di wilayah Natuna, teritori Indonesia di Laut Cina Selatan dan yang beruntun terjadi adalah peristiwa penyanderaan anak buah kapal pengangkut batubara di laut Sulawesi, di segitiga perbatasan Indonesia-Malaysia-Filipina.

Peristiwa penyanderaan anak buah kapal (ABK) Indonesia tentu terasa ironis tatkala pemerintahan Joko Widodo sedang bergiat mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.

Tanda tanya besar

Memang tak semudah membalik tangan mewujudkan cita-cita tersebut setelah sekian lama Indonesia “memunggungi lautan”, namun tetap saja peristiwa penyanderaan secara beruntun menjadi tanda tanya besar.

Penulis sendiri pernah merasakan ketegangan serupa pada saat perjalanan laut dari Tarakan (Kalimantan, Indonesia) menuju Tawao (Sabah, Malaysia) dengan terlebih dahulu menyinggahi Nunukan (Kalimantan, Indonesia) pada tahun 2001.

Dalam perjalanan laut menggunakan kapal cepat, di tengah perjalanan menjumpai kapal cepat terapung-apung tanpa motor penggerak yang telah dilucuti perompak.

Kapal cepat kami segera mengevakuasi penumpang di kapal korban perompak tersebut. Menurut penuturan penumpang kapal tersebut, sudah sehari semalam mereka terapung-apung di tengah lautan setelah perompak melucuti motor penggerak kapal serta barang-barang berharga milik penumpang.

Mereka menggambarkan perompak tersebut sebagai orang-orang yang membawa senjata laras panjang, memakai pakaian-pakaian seperti militer tapi tanpa atribut/tanda-tanda pangkat kemiliteran. Peristiwa serupa juga terulang dalam perjalanan dengan rute yang sama disusuri penulis di tahun 2008.

Rawan perompakan

Dari berbagai sumber, penulis menemukan bahwa kawasan laut Sulawesi (atau kawasan Sulu orang-orang Filipina menamakannya) adalah kawasan yang rawan dengan perompakan, apalagi di kawasan segitiga perbatasan Indonesia-Malaysia-Filipina ini menyimpan konflik laten (yang kadang muncul dipermukaan sewaktu-waktu) baik mengenai sengketa perbatasan antar negara maupun perebutan wilayah kekuasaan antar kelompok bersenjata (baik perompak maupun kelompok perlawanan) yang secara sepihak mengklaim kawasan tersebut sebagai wilayah kekuasaannya.

Jika di wilayah Laut Cina Selatan, negara-negara ASEAN kompak dan satu suara menghadapi Cina yang dianggap secara sepihak mengklaim kawasan tersebut, maka situasi tersebut tidak terjadi di segitiga perbatasan Indonesia-Malaysia-Filipina di kawasan Laut Sulawesi/Sulu tersebut.

Penulis: Wahyu SusiloFoto: privat

Masalahnya, banyak konflik

Beberapa kali terjadi ketegangan antara Indonesia dan Malaysia terkait perbatasan dan klaim sumber daya alam, misalnya dalam soal Blok Ambalat. Beberapa kali terjadi manuver militer dan gesekan patroli perbatasan. Ketegangan ini adalah imbas dari konflik perbatasan Sipadan-Ligitan yang membuahkan trauma bagi Indonesia.

Ketegangan Malaysia-Filipina terkait dengan penguasaan Sabah adalah ketegangan yang abadi dan hingga kini belum ada penyelesaian tuntas. Ketegangan yang sering disebut “Klaim Sabah” ini adalah sengketa wilayah bekas kesultanan Sulu yang bagi Malaysia dianggap sebagai teritorinya, namun Filipina menganggap bahwa karena kesultanan Sulu tunduk pada Manila maka otomatis Sabah adalah wilayah Filipina.

Hingga saat ini, orang-orang Filipina (terutama Mindanao) yang masuk wilayah Sabah merasa tidak perlu menggunakan paspor. Diperkirakan “Klaim Sabah” ini akan mengemuka lagi, seiring dengan janji presiden baru Filipina Duterte yang akan mempersoalkan lagi sengketa wilayah tersebut.

Sementara itu, antara Indonesia dan Filipina tidak ada konflik langsung mengenai perbatasan, hanya persoalan kecil mengenai status kewarganegaraan orang-orang yang tinggal di perbatasan seperti pulau Sangir Talaud dan Miangas.

Namun kedua negara ini sering direpotkan oleh mobilitas kelompok-kelompok muslim militan di kawasan Mindanao yang sering terhubung dengan aksi-aksi terror di dua negara.

Konfigurasi politik tiga negara inilah yang menyebabkan mereka enggan (dan lengah) untuk menciptakan kawasan yang aman dan damai di segitiga perbatasan Indonesia-Malaysia-Filipina di laut Sulawesi/Sulu tersebut.

Lemahnya pengawasan

Pengamat terorisme Sidney Jones memprediksi lemahnya pengawasan dan pengamanan di kawasan tersebut menyuburkan praktiuk-praktik kejahatan transnasional, seperti perompakan (dibarengi penyanderaan), perdagangan manusia, perdagangan narkotika dan perdagangan senjata.

Tatkala konflik horizontal bersenjata bernuansa SARA meletus di Maluku dan Poso, senjata-senjata untuk kedua kubu dipasok (dibelanjakan) dari kawasan ini.

Dengan demikian, peristiwa penyanderaan ABK Indonesia secara beruntun dalam bulan-bulan terakhir ini tidak bisa hanya dilihat secara parsial karena persoalan kriminal dan motifnya antara dua pihak penyandera dan tersandera, tetapi juga harus dicermati dengan kacamata yang lebih mendalam terkait konfigurasi politik d iatas. Kelengahan atas situasi kawasan perbatasan membuahkan kerentanan.

Memastikan keselamatan warga

Namun demikian, pelajaran yang juga bisa dipetik dari kasus penyanderaan ABK ini adalah kelalaian Indonesia dalam memastikan keselamatan dan kesejahteraan ABK Indonesia.

Sejak cita-cita mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia ditegaskan oleh presiden Joko Widodo dengan kalimat “sudah lama kita memunggungi samudera, lautan dan teluk, saatnya kita mengembalikan Indonesia sebagai negara maritim”namun nasib pekerja-pekerja di sektor kelautan tetap terlupakan.

Penyanderaan terhadap ABK berlangsung berkali-kali, nasib ABK Indonesia yang berlayar dengan kapal asing dan di lautan asing juga tak kalah rentannya. Global Slavery Index tahun 2014 dan 2016 menyebutkan bahwa pekerja Indonesia di sektor kelautan termasuk pekerja yang sangat rentan menjadi korban perbudakan modern.

Penulis:

Wahyu Susilo, pendiri Migrant CARE, sekaligus bekerja sebagai analis kebijakan di lembaga tersebut. Tahun 2007, meraih Hero-Acting to End Modern Slavery Award dari Department of State USA.

@wahyususilo

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

Kami tunggu komentar Anda di sini.

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait