1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Safari Politik Prabowo dan Potensi 'Koalisi Gemuk' Jokowi

Prihardani Ganda Tuah Purba
15 Oktober 2019

Sepekan jelang pelantikan Presiden dan Wakil Presiden periode 2019-2024, Prabowo gencar temui elit parpol pendukung Jokowi. Pengamat menilai hal ini sebagai upaya menjaga daya tahan politik Gerindra di 2024 mendatang.

Indonesien Treffen Präsident Joko Widodo mit Prabowo Subianto
Foto: Kris-Biro Pers Sekretariat Presiden

Publik pun diperlihatkan urutan pertemuan antarelit politik tanah air. Pertemuan-pertemuan ini berlangsung bersamaan dengan sepekan jelang dilantiknya Joko Widodo dan KH Maruf Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden periode 2019-2024.

Yang paling disorot adalah safari politik Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto ke partai politik pendukung Jokowi di Pilpres 2019. Dua hari berturut-turut Prabowo bertemu dengan dua ketua umum partai pendukung Jokowi. Senin (14/10) Prabowo bertemu dengan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar dan Minggu (13/10) ia juga bertemu dengan Ketua Umum Nasdem Surya Paloh.

Sebelumnya, Prabowo juga sudah bertemu dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri hingga Plt. Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa.

Gerilya Prabowo bertemu dengan elit parpol pendukung Jokowi banyak dimaknai sebagai upaya untuk masuk ke koalisi pemerintahan. Saat Prabowo bertemu dengan Jokowi di Istana Negara, pada Jumat (13/10), Jokowi bahkan tidak menampik ada pembahasan soal koalisi dengan Gerindra meskipun belum final.

“Ini belum final, tapi kami bicara banyak mengenai kemungkinan Gerindra masuk ke koalisi kami,” tutur Jokowi seperti dilansir dari Detik.

Pengamat Politik dari Universitas Padjajaran, Muradi, menilai tindakan Prabowo melakukan gerilya adalah langkah yang rasional agar Gerindra bisa bertahan di 2024 mendatang. Ia bahkan menilai Gerindra hampir bisa dipastikan masuk ke dalam Koalisi Pemerintahan Jokowi.

“Saya melihatnya bukan sekadar lobi-lobi tapi sudah hampir masuk (koalisi),” kata Muradi kepada DW Indonesia.

Menurut Muradi, Gerindra pada dasarnya nyaman berada bersama dengan parpol pendukung Jokowi yang ia nilai memiliki karakter nasionalis dan terbuka. Prabowo juga ia nilai nyaman dengan elit parpol pendukung Jokowi seperti Megawati, Surya Paloh dan Muhaimin Iskandar sehingga menguatkan peluang masuknya Gerindra ke koalisi pemerintahan Jokowi. 

Muradi - Pengamat Politik dari Universitas PadjajaranFoto: privat

Selain itu, pilihan Gerindra untuk gabung ke pemerintahan dinilai rasional karena berkaitan dengan daya tahan politik Gerindra di 2024 mendatang.

“Posisi gerindra dalam posisi hari ini kalau mesin dia sudah exhausted, sudah jenuh, sudah aus, makanya dia perlu break untuk bisa memberikan warna baru, warna Gerindra yang lebih fresh,” ujar Muradi saat dihubungi DW.

“Dengan break ini mereka bisa mengumpulkan pundi-pundi uang untuk bisa kemudian bertarung di 2024 apakah bertarung dengan kader baru, logistik baru yang lebih fresh yang punya daya jangkau lebih luas pada 2024 mendatang,” tambahnya.

Potensi ‘Koalisi Gemuk’ Jokowi

Selain safari politik Prabowo, pertemuan Jokowi dengan SBY dan Zulkifli Hasan yang berlangsung sepekan terakhir juga mendapat sorotan. Lagi-lagi, Jokowi membuka peluang kedua partai oposisi itu masuk ke dalam koalisi pemerintahannya.

Menurut Muradi, jika Jokowi membuat peta baru koalisi, peluang Gerindra masuk ke koalisi pemerintahan Jokowi ia nilai lebih besar dibandingkan PAN dan Demokrat.

“Gerindra dia bisa acceptable dengan partai partai lain, tapi Demokrat misalnya dia lebih nyaman hanya dengan Pak Jokowi tidak dengan Bu Mega, dengan Pak Surya Paloh dan yang lain, PAN pun kurang lebih sama," ujar Muradi.

Muradi menambahkan jika sebuah ‘koalisi gemuk' nantinya terbentuk, akan ada dampak pada lambat dan limbungnya kinerja pemerintah akibat konflik internal yang muncul.

“Dugaan saya kalau nanti pada akhirnya misalnya PAN Demokrat masuk, maka yang terjadi adalah konflik berpindah dari antara oposisi dengan pemerintah menjadi konflik internal koalisi pendukung pemerintah,” ujar Muradi.

Minim oposisi, kekuasaan absolut?

Pengamat Politik dari Unpad, Muradi mengatakan bahwa minimnya partai oposisi dalam sistem pemerintahan akan menimbulkan sebuah Gerakan nonpartisan. Gerakan ini menurutnya membahayakan karena akan menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap partai politik.

“Ini sekedar gambaran saja ketika penolakan terkait RUU KPK 'kan hampir semua partai ada dalam barisan yang mendukung revisi UU KPK apa yang terjadi gerakan massa,” kata Muradi.

“Gerakan yang akhirnya membuat publik menjadi tidak percaya terhadap - bukan cuma pemerintah, bukan cuma DPR - tapi juga kemudian terhadap sistem yang ada dan dalam sistem demokrasi yang sedang bertumbuh itu menjadi ancaman serius buat kita,” tambahnya.

Minimnya oposisi juga menurut Muradi akan memunculkan tiga kemungkinan. Pertama, publik ia nilai akan kehilangan alat untuk mengkritisi pemerintah secara normatif lewat partai politik atau lewat oposisi.

Kedua, ada pembangunan oligarki politik yang terstruktur yang kemudian menjadi sangat elitis. Dan ketiga, kewenangan eksekutif dan legislatif akan cenderung absolut.

“Ketika ini absolut maka akan membuka ruang terjadinya ketidaksinkronan antara kebijakan politik dengan apa yang akan mereka lakukan sebagai bagian dari eksekutif dan legislatif,” ujar Muradi

gtp/ae