Serangan Terhadap Polisi Jerman di Malam Tahun Baru
3 Januari 2023Perayaan Malam Tahun Baru yang baru lewat di kota-kota terbesar di Jerman diwarnai serangkaian insiden serangan terhadap petugas pemadam kebakaran, polisi, dan staf layanan darurat. Muncul seruan untuk menerapkan hukuman yang lebih keras dan lebih banyak pengawasan dengan kamera.
Tingkat agresi terhadap staf layanan darurat ini benar-benar tidak terduga, kata juru bicara dinas pemadam kebakaran Berlin, Thomas Kirstein, kepada radio publik RBB. Sebanyak 15 staf tanggap darurat di Berlin terluka akibat insiden ini, satu staf bahkan harus dirawat di rumah sakit. Sementara pihak kepolisian mengatakan 18 petugasnya terluka.
Pemadam kebakaran melaporkan, pada Malam Tahun Baru di Berlin, telah terjadi 38 insiden penyerangan dan aksi kekerasan di sejumlah lokasi berbeda, termasuk 14 kasus truk pemadam kebakaran diduga dijebak lalu dilempari kembang api dan peti bir.
Departemen pemadam kebakaran Berlin mengatakan "terkejut dan sedih" atas insiden tersebut. Yang membuat banyak orang bertanya, ada apa di balik meningkatnya kekerasan terhadap staf layanan darurat dan mengapa mereka yang jadi sasaran.
Malam pergantian tahun yang "mengerikan"
Sebelumnya, pada malam pergantian tahun departemen kepolisian di seluruh Jerman, seperti di kota Düsseldorf, melaporkan sejumlah orang mabuk berat, melakukan aksi rusuh, berselisih dan berkelahi. Di Kota Leipzig, polisi melaporakan seorang remaja berusia 17 tahun tewas terkena ledakan saat menyalakan kembang api ilegal.
Polisi di wilayah utara Bayern mengatakan mereka mengalami "Malam Tahun Baru paling intens dalam beberapa tahun terakhir."
Sementara petugas pemadam kebakaran di kota terbesar kedua di Jerman, Hamburg, mengatakan malam itu "mengerikan", petugas layanan darurat "didekati secara agresif" dan "benar-benar ditembaki" dengan kembang api.
Serikat polisi Jerman Gewerkschaft der Polizei (GdP) menyerukan hukuman yang lebih berat bagi pelaku serangan terhadap staf darurat. "Serangan terhadap petugas penyelamat dan petugas polisi adalah kebrutalan yang tidak dapat kami terima," kata perwakilan GdP Andreas Rosskopf kepada surat kabar Rheinische Post.
Mengapa petugas layanan darurat diserang?
Sosiolog polisi Rafael Behr di Akademi Kepolisian Hamburg mengatakan, insiden tersebut perlu dianalisis secara detail sebelum diambil kesimpulan.
"Kami tidak tidak memiliki gambaran yang jelas, tentang kompleksitas keadaan seputar kekerasan. Sebaliknya, kami memiliki pernyataan dari sejumlah polisi atau serikat layanan darurat dan pemangku kepentingan lainnya yang mengatakan, bahwa aksi kekerasan meningkat. Tapi kami tidak tahu apakah itu benar, dan kami juga tidak tahu seperti apa bentuk kekerasan yang dimaksud," ujar Rafael Behr kepada DW.
"Tentu sangat mengejutkan mendengar kasus seperti ini, karena menurut kami layanan darurat ada untuk menyelamatkan nyawa, untuk berbuat baik, dan kami tidak terbiasa mereka diserang dengan cara yang sama seperti polisi yang kerapkali menghadapi situasi konflik", papar sosiolog di akademi kepolisian Hamburg itu.
Jawatan Polisi Kriminal Federal melaporkan pada tahun 2021, jumlah tindakan kekerasan terhadap petugas polisi meningkat sebanyak 689 kasus menjadi total 39.649 kasus, dibandingkan tahun sebelumnya. Sejak 2012, kasus kekerasan terhadap aparat kepolisian meningkat sebanyak 22,5%.
Namun, Behr yakin masyarakat menjadi jauh lebih peka terhadap kekerasan, terutama terhadap polisi dan staf layanan darurat. Ia juga mengatakan bahwa kekerasan verbal kini juga termasuk tindak kekerasan.
Kekerasan untuk unjuk gigi?
"Satu hal yang tampaknya tidak berubah adalah kenyataan, bahwa mayoritas kekerasan dilakukan oleh laki-laki", kata Alfred Gebert, profesor psikologi dan sosiologi di Federal University of Applied Administrative Sciences di Kota Münster.
"Rasa hormat terhadap pekerja berseragam telah menurun drastis, terutama di kalangan pria muda berusia antara 20 dan 29 tahun," kata Gebert kepada DW.
"Mereka mabuk dan ingin unjuk diri di hadapan kawan-kawannya, kebanyakan dilakukan lewat pelecehan verbal, dan menurut saya itu adalah bentuk kegagalan di sekolah dalam mengajari anak muda tentang rasa hormat - ini juga bentuk kurangnya konsekuensi bagi para pelaku," tambah Gebert.
Sementara Rafael Behr meyakini, aksi kekerasan yang terjadi adalah bagian dari unjuk gigi bentuk maskulinitas tertentu. "Ini pastinya terkait dengan cara beberapa pemuda ingin terlihat di depan umum, yang sering kali tentang unjuk kekuatan."
Namun Behr menambahkan, masalah di kalangan pria muda yang mabuk sering didramatisasi oleh media.
"Tidak ada bukti yang menunjukkan peningkatan kekerasan yang terus-menerus. Sebaliknya, selalu terjadi pecahnya kekerasan dalam konteks tertentu. Itu terjadi di semua negara saat ada peristiwa besar: norma dan hukum masyarakat dilanggar, terutama ketika alkohol ikut terlibat. Malam Tahun Baru sangat ekstrem karena saat itu juga ada kembang api."
Tahun ini, pihak berwenang mencabut larangan merayakan tahun baru dengan kembang api yang berlaku selama pandemi COVID-19. Kebijakan ini memungkinkan orang-orang untuk merayakan Malam Tahun Baru untuk pertama kalinya dalam dua tahun terakhir, dengan menyulut kembang api dan petasan. Para pengamat mengatakan, kemungkinan tidak dapat dihindari jumlah insiden kekerasan akan meningkat setelah masa penguncian atau lockdown.
Namun Alfred Gebert, profesor psikologi dan sosiologi di Federal University of Applied Administrative Sciences di Kota Münster mengatakan: "Saya tidak percaya bahwa kelompok pria yang melakukan kekerasan ini punya pengaruh yang besar terhadap masyarakat."
"Faktanya, saya meyakini bahwa masyarakat luas menganggap serangan ini sama sekali tidak bisa diterima dan ingin melihat hukuman yang lebih berat bagi para pelakunya", ungkas gurubesar psikologi dan sosiologi Gebert.
ae/as (AFP, dpa)