1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Di Mana Cina Berpijak dalam Konflik Israel-Palestina?

Yuan Dang
9 November 2023

Cina mengindikasikan ingin memediasi antara Israel dan Hamas. Namun, netralitas Cina diragukan karena ditandai oleh sikap permusuhan terhadap Israel dan kedekatannya dengan Amerika Serikat.

Ilustrasi hubungan Cina dan Israel
Ilustrasi hubungan Cina dan IsraelFoto: Nir Alon/ZUMAPRESS.com/picture alliance

Syahdan, pada Perang Dunia II sebanyak 20.000 warga Yahudi dari Eropa menemukan tempat berlindung di Shanghai, Cina. Namun, pelarian itu berakhir seusai perang, ketika Partai Komunis merebut kuasa dan memaksa para pedagang Yahudi menjual asetnya kepada pemerintah dengan harga murah. Buntutnya, mereka mengungsi keluar dari Cina.

Sejak lama, Cina memendam prasangka terhadap kaum Yahudi dan secara dini memberikan dukungannya bagi Palestina. Baru pada tahun 1992, Israel dan Cina saling membuka kantor perwakilan diplomatik.

Dagang dan bersitegang dengan Israel

Sejak normalisasi, Cina lebih banyak bermitra dagang dengan Israel, yang pada tahun 2023 membukukan volume senilai 22 miliar dolar AS. Bulan Oktober lalu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dijadwalkan melakukan perjalanan ke Beijing. Di sana, kepala negara dari kedua negara sejatinya akan menandatangani perjanjian perdagangan bebas. Kunjungan tersebut ditunda setelah serangan teror oleh Hamas.

Why aid organizations are insisting on a cease-fire in Gaza

04:19

This browser does not support the video element.

Adalah kedekatan dengan Amerika Serikat yang membedakan Israel dengan negara lain. Belum lama ini, Duta Besar Cina di PBB, Zang Jun, menyerukan "kekuatan adidaya dunia yang memiliki pengaruh besar terhadap kedua pihak yang terdampak agar mengesampingkan kepentingan geopolitiknya sendiri dan berupaya mengakhiri perang dan memulihkan damai," kata dia tanpa menyebut AS.

Menurut analis, kedua negara dipisahkan perbedaan mendasar yang tidak bisa dijembatani. "Israel adalah negara demokratis, yang mengakar kuat dalam aliansinya dengan Amerika Serikat," kata Eberhard Sandschneider, konsultan politik di Berlin Global Advisors. "Sebab itu, dari sudut pandang Cina, Israel merupakan rival dalam upayanya memperkuat aliansi anti-Barat."

Relevansi Palestina bagi Cina

Tidak heran, jika dalam konflik dengan Hamas di Jalur Gaza, Cina lebih banyak mengritik Israel.

Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi misalnya menyebut serangan Israel di Jalur Gaza sudah "berlebihan" dan melampaui definisi pertahanan diri. Warga sipil di Jalur Gaza tidak selayaknya mendapat hukuman kolektif bagi kejahatan Hamas, kata dia.

Presiden Cina, Xi Jinping (ki.) saat menjamu Presiden Palestina, Mahmud Abbas (tengah), di Balai Agung Rakyat, Beijing, 2013Foto: Reuters/Petar Kujundzic

Selaras dengan Barat, Cina hanya membina komunikasi rutin dengan pemimpin Otoritas Palestina di Tepi Barat Yordan, tidak dengan Hamas. Kedaulatan pemerintahan yang bermarkas di Ramallah itu diakui oleh 138 negara di dunia, kecuali Amerika Serikat, Israel, dan Jerman.

Dalam deklarasi akhir usai pertemuan antara Presiden Xi Jinping dan Presiden Mahmoud Abbas pada 14 Juni silam, Cina menyatakan "mendukung pembentukan sebuah negara Palestina yang berdaulat atas dasar perbatasan 1967 dan dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kota. Cina juga mendukung pemulihan negosiasi damai antara Palestina dan Israel atas dasar prinsip Tanah demi Perdamaian, semua resolusi PBB terkait dan Solusi Dua Negara."

Sebagai balasan, Palestina menjalankan kebijakan luar negeri "Satu Cina" dan mendukung kebijakan Beijing di wilayah otonomi Xinjiang sebagai "perang melawan terorisme, radikalisasi dan separatisme, serta tidak menyangkut hak asasi manusia."

"Mendukung gerakan kemerdakan merupakan salah satu pilar kebijakan luar negeri Cina," kata pakar politik, Sandschneider. "Kecuali menyangkut Xinjiang atau Taiwan," imbuhnya.

Sandschneider meyakini, Cina "sedang berupaya tampil sebagai mediator konflik antara Israel dan Palestina," terutama setelah berhasil menginisasi pemulihan diplomasi antara Iran dan Arab Saudi. Namun, dia meragukan niat tersebut, karena "kredibilitas Beijing dalam isu khusus antara Israel dan Hamas tidak terlalu besar."  (rzn/hp)

 

Jangan ketinggalan konten-konten eksklusif yang akan kami pilih setiap Rabu untuk kamu. Kirimkan e-mail kamu untuk berlangganan Newsletter mingguan Wednesday Bite. 

 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait

Topik terkait

Tampilkan liputan lainnya