Perempuan dinilai lebih rentan terkena dampak pandemi corona, salah satunya sebagai korban KDRT. Pengaduan KDRT selama anjuran social distancing dilaporkan meningkat.
Iklan
Dalam situasi pandemi corona saat ini dan di tengah anjuran social distancing, perempuan dinilai lebih rentan terkena dampak krisis. Di antaranya mengemban peran ganda sebagai pekerja sekaligus pengelola rumah tangga, korban kekerasan dalam rumah tangga, dan terpengaruhinya kesehatan mental perempuan.
Koalisi PEKAD (Peduli kelompok Rentan Korban Covid-19) menilai anjuran “di rumah saja” menimbulkan polemik tersendiri kepada perempuan dan anak. Anjuran tersebut menimbulkan kekhawatiran akan masa depan sebagian masyarakat Indonesia, khususnya mereka yang mengalami tekanan ekonomi dan psikis di rumah tangga.
PEKAD berpendapat bahwa anjuran bekerja dan belajar di rumah setidaknya membebani perempuan untuk mengambil peran menjadi guru, pengasuh utama anak dan anggota keluarga lainnya, sambil mengerjakan pekerjaan produksi dan domestik. Selain menambah beban kerja, peran sosial yang dilekatkan pada perempuan membuat mereka semakin berisiko terjangkit virus corona COVID-19. Sebagai contoh, aktivitas belanja yang dibebankan kepada perempuan meningkatkan kemungkinan kontak secara fisik dengan pedagang atau orang luar.
“Melihat fenomena ini di tengah pandemi yang semakin tidak menentu, pemerintah pusat dan pemerintah daerah diharapkan dapat menyerukan kesetaraan gender antara perempuan dan laki-laki, khususnya dalam hal beban asuh, beban produksi dan ranah domestik,” terang anggota koalisi PEKAD, Erasmus Napitupulu, dalam pernyataan tertulisnya kepada DW Indonesia, Selasa (14/04).
Berbagai Metode Polisi Dunia Tegakkan Aturan Lockdown
Kepolisian di seluruh dunia diterjunkan untuk menegakkan perintah tinggal di rumah selama pandemi COVID-19. Metodenya bervariasi, ada yang melakukan penahanan, ada juga dengan pendekatan yang lebih sopan.
Foto: Reuters/P. Ravikumar
Dhaka, Bangladesh
Seorang pria yang ditahan melakukan jalan jongkok di depan kepolisian yang menegakkan aturan lockdown. Dhaka, Bangladesh.
Foto: DW/H. U. R. Swapan
Kathmandu, Nepal
Seorang petugas kepolisian dari Nepal menjaga jarak ketika menahan seorang pria yang menentang aturan lockdown yang dilakukan pemerintah. Kathmandu, Nepal, 29 Maret.
Foto: Reuters/N. Chitrakar
Chennai, India
Polisi memaksa warga melakukan sit-up sebagai hukuman karena melanggar aturan lockdown. Chennai, India, 1 April.
Foto: Reuters/P. Ravikumar
Bangkok, Thailand
Kepolisian Thailand dengan mengenakan masker pelindung memberhentikan seorang pesepeda motor di sebuah pos pemeriksaan. Bangkok, Thailand, 3 April.
Foto: Reuters/J. Silva
Ahmedabad, India
Anggota pasukan aksi cepat melakukan patroli untuk mendesak warga agar tetap tinggal di dalam rumah. Ahmedabad, India, 1 April.
Foto: Reuters/A. Dave
Mogadishu, Somalia
Kepolisian berusaha membubarkan warga yang berenang di Samudra Hindia dekat Pantai Lido sebagai bagian dari tindakan pencegahan penyebaran virus corona. Mogadishu, Somalia, 3 April.
Foto: Reuters/F. Omar
Brighton, Inggris
Seorang petugas kepolisian berbicara dengan pengunjung di Pantai Brighton di Inggris, 4 April.
Foto: Reuters/P. Cziborra
Yerusalem, Israel
Polisi Israel menahan seorang pria Yahudi ultra-ortodoks di lingkungan Mea Shearim selama masa lockdown parsial. Yerusalem, Israel, 30 Maret.
Foto: Reuters/R. Zvulun
Guatemala City, Guatemala
Anggota Kepolisian Sipil Nasional Guatemala menahan beberapa pria karena melanggar larangan keluar rumah. Guatemala City, Guatemala, 3 April.
Foto: Reuters/L. Echeverria
Los Angeles, California
Petugas Departemen Kepolisian Los Angeles melakukan verifikasi perjalanan penumpang di Union Station. Los Angeles, California, 4 April.
Foto: Reuters/K. Grillot
Moskow, Rusia
Saat salju turun di Red Square Moskow, seorang petugas polisi memberikan instruksi kepada pejalan kaki setelah pemerintah kota mengumumkan tentang adanya lockdown parsial. Moskow, Rusia, 31 Maret.
Foto: Reuters/M. Shemetov
Rio de Janeiro, Brasil
Seorang petugas kepolisian memerintahkan pengunjung meninggalkan pantai yang ditutup karena virus corona. Rio de Janeiro, 28 Maret.
Foto: Reuters/L. Landau
Di dekat Cape Town, Afrika Selatan
Beberapa tentara dan seorang perwira polisi terlihat di antara gubuk-gubuk di kotapraja Khayelitsha, ketika pihak berwenang berusaha memberlakukan lockdown secara nasional. Dekat Cape Town, Afrika Selatan, 27 Maret. (gtp/vlz, dari berbagai sumber)
Foto: Reuters/M. Hutchings
13 foto1 | 13
Aduan KDRT meningkat
UN Women Indonesia mengungkapkan satu dari tiga perempuan di dunia pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual. Sementara WHO mengungkapkan satu dari lima perempuan di dunia mengalami pemerkosaan atau percobaan pemerkosaan. Komnas Perempuan juga mencatat sepanjang tahun 2019, sedikitnya terjadi 11.105 kasus KDRT di Indonesia.
“Angka-angka itu dapat berubah berkali-kali lipat saat perempuan menghabiskan lebih banyak waktu di rumah melalui social distancing bersama pelaku,” jelas Erasmus yang juga merupakan Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).
Tuani Sondang Rejeki Marpaung, anggota Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH Apik) dalam kesempatan terpisah mengungkapkan, terjadi peningkatan pengaduan kasus kekerasan, perkosaan, pelecehan seksual, dan pornografi online di masa social distancing ini. Semenjak anjuran social distancing dikeluarkan, LBH Apik praktis menerima pengaduan melalui hotline, sosial media, dan email.
“Dari tanggal 16 Maret sampai dengan 12 April tercatat ada 75 pengaduan kasus. Angka yang tertinggi itu penyebaran konten-konten intim sangat banyak, peringkat kedua disusul dengan kasus-kasus KDRT. Ternyata kasus KDRT selama diberlakukannya social distancing sangat tinggi,” ujar Tuani saat diwawancarai DW Indonesia, Selasa (14/04) sore.
“Si korban ketika mengalami kekerasan, dia juga tidak bisa untuk melaporkan karena situasi (pandemic corona) ia tidak bisa keluar,” sambung Tuani.
Kekerasan psikis dan finansial
KDRT sendiri terbagi menjadi empat kategori, yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan finansial, dan kekerasan seksual. Tuani menyampaikan bahwa kondisi ekonomi menjadi salah satu faktor utama mengapa KDRT terjadi di tengah pandemi corona ini. Tuani menyebutkan, mayoritas perempuan korban KDRT yang didampingi LBH Apik berasal dari kalangan menengah bawah.
“Karena memang suami tidak bisa bekerja lagi, sehingga tidak bisa menafkahi, hingga akhirnya emosional. Mereka menyalahkan istri walaupun tidak ada sangkut pautnya. Suami merendahkan istri, jatuhnya jadi unsur kekerasan psikis,“ jelas Tuani.
“Penelantaran ekonomi, bukan semata-mata karena pelakunya. Karena pandemi ini juga mengakibatkan mereka (suami) kehilangan pekerjaan, tidak bisa memenuhi kebutuhan anak, keluarga,” lanjutnya.
Tuani mengimbau kepada para perempuan yang mengalami KDRT, di masa pandemi seperti sekarang ini bisa menyampaikan pengaduan kepada LBH Apik untuk diberi pendampingan. Nantinya para korban bisa dirujuk untuk bertemu psikolog dan dipindahkan ke rumah aman agar terhindar dari tindak kekerasan lebih lanjut.
“Kami selalu berpesan kalau kamu mengalami kekerasan tolong difoto. Jadi bekas pemukulan, memar, luka di tubuh tolong difoto. Foto-foto itu bisa jadi bukti di kepolisian,“ pungkas Tuani.
Kekerasan Terdokumentasi dalam 16 Benda Sehari-Hari
Berkaitan dengan 16 hari kampanye PBB demi pemberantasan kekerasan terhadap perempuan, Dana Penduduk PBB (UNFPA) mengumpulkan 16 benda dari kasus kekerasan dan penganiayaan di berbagai negara.
Foto: UNFPA Yemen
"Ini Patahan Gigi Saya, Setelah Suami Memukuli Saya"
Ameera (bukan nama asli) baru 13 tahun ketika ia dinikahkan dengan seorang pria tua di Yaman. Suatu hari, karena ia terlambat membangunkan suaminya yang sedang tidur siang, suaminya memukulinya dengan sapu, hingga hidungnya retak dan sebagian giginya patah. Ameera kini tinggal di rumah penampunya yang didukung dana UNFPA. Ia menyimpan patahan gigi sebagai bukti di pengadilan.
Foto: UNFPA Yemen
Kekerasan Diteruskan ke Generasi Berikutnya
Omar (bukan nama sebenarnya) di Maroko merusak piano mainannya ini, saat berusaha menjaga ibunya dari pukulan tangan ayahnya. Ketika itu Omar baru berusia enam tahun. Ibunya mengatakan dengan keselamatan anaknya. "Saya ingin masa depan lebih indah bagi anak-anak saya."
Foto: UNFPA Morocco
"Kami Pertaruhkan Nyawa Tiap Hari Karena Kumpulkan Kayu untuk Memasak"
Di kawasan yang dilanda krisis kemanusiaan, perempuan jadi target empuk. Zeinabu (22) diserang milisi Boko Haram ketika mengumpulkan kayu bakar di dekat kamp pengungsi di bagian timur laut Nigeria. Banyak perempuan lainnya juga diperkosa, diculik atau dibunuh ketika mengumpulkan kayu bakar untuk memasak. Ini foto seikat kayu kering yang dikumpulkan Zeinabu.
Foto: UNFPA Nigeria
Tali Yang Digunakan Ayah Setiap Kali Memperkosa Anaknya
Inilah tali yang digunakan ayah Rawa (bukan nama asli) setiap kali memperkosanya. Perang bisa sebabkan kondisi berbahaya bagi perempuan, bahkan di rumah sendiri. Di Yaman, salah satu negara dengan bencana kemanusiaan terbesar di dunia, kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat lebih dari 60%. Salah satu penyebabnya stres berat. Sementara kasus Rawa tidak bisa dimengerti sama sekali.
Foto: UNFPA Yemen
Kekerasan Sebabkan Sakit, Trauma atau Berbuntut Kematian
Martha dirawat dengan obat dan perban untuk pertolongan pertama setelah dipukuli suaminya di Lusaka, Zambia. "Wajahnya babak belur," kata pembimbing di tempat penampungan. "Ia juga menderita luka di punggung. Martha mengatakan, kalau ia tidak melarikan diri, suaminya kemungkinan akan membunuhnya." Dua pertiga korban kekerasan rumah tangga adalah perempuan dan anak perempuan.
Foto: Young Women Christian Association of Zambia and UNFPA
Bayangan Gelap Kekerasan Berdampak pada Seluruh Keluarga
Keluarga Tatiana di Ukraina terpecah belah akibat suaminya yang meneror dengan kekerasan. Sekarang Tatiana sudah terlepas dari suaminya. Tetapi ia dan enam anaknya masih berusaha membangun hidup baru di rumah yang sempit. "Saya sekarang hidup bagi anak-anak saya," katanya.
Foto: UNFPA Ukraine/Maks Levin
Penyiksaan Psikologis Juga Bentuk Kekerasan
Di Bolivia, pacar Carmen (bukan nama asli) selalu menertawakan penampilannya. Ia mengejek baju dan gaya Carmen. Oleh sebab itu, Carmen selalu bersembunyi di toilet di universitas, termasuk yang tampak pada foto. Perlakuan seperti itu dampaknya dalam, katanya. Itu berefek pada keyakinan diri dan bisa mengubah seseorang.
Foto: UNFPA Bolivia/Focus
Jejak Kaki Saat Melarikan Diri
"Saya ditampar kemudian diseret suami saya." Begitu cerita Sonisay (bukan nama sebenarnya) di Kamboja. Ini foto telapak kaki Sonisay di pekarangan rumah, saat lari dari suaminya. Secara global, sepertiga perempuan mengalami kekerasan, dalam bentuk apapun. Dan itu kerap disebabkan oleh seseorang yang dikenalnya.
Foto: UNFPA Cambodia/Sophanara Penn
"Ia Didorong ke Tempat Tidur kemudian Dicekik"
Kekerasan seksual bisa mengubah hidup perempuan sepenuhnya akibat teror, stigma, penyakit atau kehamilan. Di Yordania, seorang perempuan pergi ke klinik untuk minta bantuan medis. Di sana ia lega setelah diberitahu tidak hamil. "Tapi ia tetap syok dan sedih," kata Dr. Rania Elayyan. Seperti halnya banyak orang lain yang selamat dari serangan. Perempuan ini memilih tidak melaporkan nasibnya.
Foto: UNFPA Jordan/Elspeth Dehnert
Perempuan Berusaha Minimalisasi Kekerasan
Di kawasan krisis, perempuan juga menghadapi kesulitan mencari tempat yang bisa didatangi, juga berpakaian untuk minimalisasi ancaman kekerasan. Kekerasan seksual merajalela di kalangan Rohingya yang lari dari krisis di Myanmar. Ini foto gundukan pakaian di luar kamp pengungsi di Bangladesh, yang ditolak perempuan karena dianggap bisa menyulut perhatian yang tidak diinginkan dari pria.
Foto: UNFPA Bangladesh/Veronica Pedrosa
"Ia Membawa Saya Ke Rumahnya"
Di Zambia, Mirriam (14) mengunjungi pusat konseling setelah dipaksa menikah dengan pria berusia 78 tahun. "Rasa sakit hampir tidak tertahan," kata Mirriam. "Ia mengatakan saya harus melakukannya karena saya sekarang istrinya." Di negara berkembang, rata-rata satu dari empat anak perempuan dipaksa menikah. Namun pernikahan anak-anak juga bisa ditemukan di negara berkembang.
Foto: Young Women Christian Association of Zambia and UNFPA
Mutilasi Berujung Penderitaan
Seorang perempuan yang biasa melakukan mutilasi genital atau FGM (Female Genital Mutilation) di Somalia kini menyadari bahayanya. “Anak perempuan saya jatuh sakit setelah melalui FGM,” demikian diakuinya. Tapi ia memperkirakan, FGM tidak bisa dihapuskan dengan mudah.
Foto: Reuters/S. Modola
Perampasan Hak Finansial Juga Suatu Kekerasan
Hakim di Nikaragua mengeluarkan keputusan hukuman terhadap ayah Sofia (bukan nama sebenarnya), yang memukuli istrinya, dan tidak memberikan dukungan finansial kepada Sofia. Ia menghentikan sokongan saat Sofia mengandung di usia 14. Hakim memutuskan, ayahnya harus memberikan sokongan sampai ia berusia 21 tahun.
Foto: UNFPA Nicaragua/Joaquín Zuñiga
"Kami Dikurung Sejak Kecil selama 20 Tahun"
Sejumlah kasus mengerikan menunjukkan bagaimana perempuan dan anak perempuan dirampas kebebasannya. Contohnya Balqees (bukan nama asli) di Yaman. Sejak berusia 9 tahun, ia dan saudara perempuannya dikurung di kamar ini. Saudara laki-laki mereka merasa, saudara perempuan mereka akan memalukan keluarga jika berbaur dengan masyarakat. Akhirnya, mereka ditinggalkan sepenuhnya dan ditolong tetangga.
Foto: UNFPA Yemen
Pria dan Anak Laki-Laki Harus Ikut Serta Menghapus Kekerasan
Ry di Kamboja mengatakan, ia sering melakukan kekerasan terhadap istrinya di rumah ini. Tapi ia kemudian ikut "Good Men Campaign" (Kampanye Pria Baik), yaitu inisiatif untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan. Sekarang ia bertekad bersikap lebih baik. "Kalau bisa kembali ke masa lalu, saya tidak akan bertengkar dengan istri saya. Malah lebih mencintai dan menghormatinya," kata Ry.
Foto: UNFPA Cambodia/Sophanara Pen
Kekerasan Tidak Boleh Diselubungi
Kisah kekerasan harus diungkap agar cakupan masalah bisa dilihat semua orang, dan jalan keluar bisa ditemukan. Di Belarus, seorang perempuan yang selamat dari KDRT menggambar bunga dalam kelas terapi. Tujuannya adalah agar mereka bisa memproyeksikan dan menangani rasa takut, dan belajar dari pengalaman. Topik kelas ini adalah "open to live" (terbuka untuk hidup). Ed.: ml/hp (Sumber: UNFPA)
Foto: UNFPA Belarus/Dina Ermolenko
16 foto1 | 16
Kesehatan mental perempuan
Koalisi PEKAD (Peduli kelompok Rentan Korban Covid-19) menilai dengan meningkatnya peran perempuan dan kasus KDRT selama pandemi COVID-19 ini secara tidak langsung menempatkan perempuan pada “kondisi atau kejadian penuh tekanan dan traumatis.”
Pemerintah pun diimbau untuk menjami kesehatan mental perempuan di tengah situasi saat ini dengan memastikan ketersediaan dan layanan kesehatan mental yang mudah diakses. “Pemerintah juga harus mengantisipasi adanya lonjakan pasien yang mengakses layanan kesehatan mental karena adanya peningkatan jumlah orang yang mengalami depresi dan cemas selama COVID-19, khususnya perempuan,” jelas anggota koalisi PEKAD, Erasmus Napitupulu.
Sebelumnya, dikutip dari laman Liputan6.com, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati Puspayoga mengatakan bahwa perempuan dan anak rentan menjadi korban dampak pandemic COVID-19.
“Dalam situasi pandemic corona COVID-19 ini, risiko kekerasan berbasis gender dan risiko anak terpisah dari pengasuhan inti semakin meningkat,” kata Bintang di Jakarta, Jumat (10/04). (as)