1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialAsia

Pakistan: Anak Tak Divaksin Polio, Ortu Bisa Dipenjara

2 Oktober 2023

Pihak berwenang di salah satu provinsi di Pakistan beralih ke taktik baru yang kontroversial dalam inisiatif pemberantasan polio di wilayah itu. Yakni: ancaman penjara. Sejumlah kalangan menentang.

Vaksin di Pakistan
Gambar ilustrasi vaksin polio di PakisatanFoto: K.M. Chaudary/AP Photo/picture alliance

Pemerintah di Provinsi Sindh; Pakistan bulan lalu, memperkenalkan undang-undang baru yang akan memenjarakan orang tua hingga satu bulan jika mereka tidak mau anaknya diimunisasi polio atau delapan penyakit umum lainnya.

Para ahli di Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan negara-negara lain khawatir, strategi yang tidak biasa ini akan semakin melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap vaksin polio, terutama di negara yang masih banyak warganya percaya adanya konspirasi mengenai vaksin, di mana puluhan petugas vaksinasi ditembaki dan dibunuh, seperti di Pakistan.

Direktur polio WHO di Mediterania Timur Dr. Hamid Jafari.memperingatkan undang-undang baru ini bisa menjadi bumerang. "Pemaksaan itu kontraproduktif,” katanya.

Dia mengatakan, petugas kesehatan biasanya berhasil menaikkan tingkat imunisasi di daerah yang ragu-ragu terhadap vaksin dengan mencari tahu alasan penolakan masyarakat dan mengatasi kekhawatiran tersebut, seperti mendatangkan pemimpin politik atau agama yang terpercaya untuk berbicara dengan masyarakat.

"Menurut saya, Pakistan ingin memiliki undang-undang ini jika mereka membutuhkannya,” kata Jafari. "Saya akan terkejut jika ada kemauan untuk benar-benar menegakkan tindakan koersif ini.”

Polio terus menyebar di Pakisan dan Afghnistan

Di Pakistan dan negara tetangganya Afghanistan, penyakit yang berpotensi fatal dan melumpuhkan ini terus menyebar dan kebanyakan menyerang anak-anak hingga usia lima tahun dan biasanya ditularkan melalui air yang terkontaminasi.

WHO dan mitra-mitranya telah mengucurkan miliaran dosis vaksin sejak pertama kali mencoba memberantas penyakit ini pada tahun 1988. Upaya ini menelan biaya hampir satu miliar dolar AS per tahun dan sebagian besar didanai oleh negara-negara donor dan organisasi swasta termasuk Yayasan Bill & Melinda Gates.

Imunisasi, yang diberikan kepada anak-anak dalam bentuk obat tetes mulut, telah mengurangi kasus polio lebih dari 99%. Namun dalam kasus yang sangat jarang terjadi, virus hidup dalam vaksin dapat menyebabkan polio atau bermutasi menjadi strain yang memicu wabah baru.

Sepanjang tahun ini, terdapat tujuh kasus polio yang disebabkan oleh virus liar – semuanya di Pakistan dan Afghanistan. Sementara itu, lebih dari 270 kasus disebabkan oleh virus yang terkait dengan vaksin di 21 negara di tiga benua.

Pada bulan Januari, sekitar 62.000 orang tua, sebagian besar di Provinsi Sindh, Pakistan, menolak vaksinasi polio untuk anak-anak mereka, sehingga mendorong pihak berwenang di sana untuk mengusulkan undang-undang baru yang disertai sanksi.

RUU tersebut berada pada tahap akhir untuk menjadi undang-undang setelah dewan provinsi menyetujuinya pada bulan Agustus. Undang-undang ini akan menghukum orang tua hingga satu bulan penjara, jika menolak anak-anak mereka divaksin untuk mencegah penyakit tertentu.

Selain dipenjara, juga didenda 

Mereka juga dapat didenda hingga 50.000 rupee (sekitar 2,7 juta Rupiah). Para pejabat mengatakan, tujuan utama mereka adalah untuk menaikkan tingkat imunisasi polio, meskipun penyakit seperti campak, pneumonia dan pertusis juga termasuk dalam undang-undang tersebut.

Rukhsana Bibi, seorang petugas kesehatan di Karachi berharap undang-undang baru ini akan mengurangi tingkat penolakan vaksin dan melindungi petugas kesehatan. Kota Karachi dianggap berisiko tinggi terhadap kebangkitan polio.

Bibi mencatat bahwa di masa lalu, orang tua yang menolak sambil melakukan kekerasan atau mengancam telah ditahan oleh polisi. Mereka dibebaskan dengan syarat anak-anak mereka diimunisasi dan membantu tim polio dalam upaya penjangkauan.

Sejumlah faktor yang memicu keraguan terhadap vaksin di Pakistan

Banyak orang yang mencurigai pihak luar yang mendanai vaksin dan pemerintah Pakistan sendiri.

Beberapa orang percaya pada teori konspirasi palsu – bahwa vaksin adalah bagian dari konspirasi Barat untuk mensterilkan orang, kata Bibi. Banyak orang tua yang lebih memilih pemerintah memberikan layanan kesehatan, makanan, atau bantuan keuangan yang lebih baik.

"Para orang tua percaya bahwa hal ini terjadi karena pemerintah mendapat hibah dan sumbangan untuk vaksin tersebut, sehingga pemerintah terus fokus pada (vaksin polio) daripada menyediakan layanan kesehatan dasar,” kata Bibi. "Itu membuat orang tua curiga.”

Kepercayaan masyarakat yang sudah terguncang terhadap upaya pemberian vaksin juga merosot pada tahun 2011, ketika Badan Intelijen AS, CIA membuat program vaksinasi hepatitis palsu dalam upaya mengumpulkan informasi tentang mantan pemimpin al-Qaida, Osama bin Laden. Milisi juga menembak mati petugas kesehatan yang mendistribusikan vaksin dan mengirim pelaku bom bunuh diri untuk meledakkan kendaraan polisi yang melindungi mereka.

Direktur Proyek Keyakinan Vaksin di London School of Hygiene and Tropical Medicine, Heidi Larson, mengatakan sangat menyedihkan bahwa masyarakat begitu tidak percaya pada pemerintah sehingga mereka tidak percaya bahwa vaksin polio adalah yang terbaik bagi anak-anak mereka.

"Saya rasa dalam situasi seperti ini, memenjarakan orang tua tidak akan menyelesaikan persoalan,” katanya. "Bukan hanya tidak berhasil, tapi kemungkinan besar akan meningkatkan kemarahan.”

Larson membandingkannya dengan mandat vaksin COVID-19 yang diterapkan di negara-negara termasuk Australia, Inggris, Prancis, dan Amerika Serikat.

"Ini sebuah tantangan karena ketika Anda berbicara tentang (vaksin) yang memiliki risiko, meskipun risikonya sangat kecil, dapatkah Anda memaksakannya dan membuat orang meminumnya?” Larson bertanya.

Angka penolakan tinggi

Di beberapa wilayah di Provinsi Sindh, tingkat penolakan terhadap vaksin polio mencapai 15%, demikian menurut seorang pejabat pemerintah kepada The Associated Press dengan syarat anonimitas. Untuk memberantas polio, lebih dari 95% penduduk perlu diimunisasi.

Pejabat Sindh mengatakan orang tua akan dihukum jika menolak vaksin, tetapi dosis vaksin tidak akan diberikan kepada anak-anak mereka tanpa persetujuan orang tuanya.

Direktur Pusat Pendidikan Vaksin di Rumah Sakit Anak Philadelphia, Paul Offit mengatakan akan sangat sulit untuk membangun kembali kepercayaan, jika sanksi ini diberlakukan. "Vaksin polio oral bukanlah vaksin terbaik, tapi masih jauh lebih baik daripada tidak mendapatkan vaksin sama sekali,” kata Offit. "Pada akhirnya, tugas pemerintah adalah melindungi anak-anak dan kita tahu bahwa jika kita tidak memvaksinasi sejumlah anak, polio akan selalu muncul kembali.” Tahun lalu, virus ini terdeteksi di negara-negara kaya termasuk Inggris, Israel dan Amerika Serikat untuk pertama kalinya dalam hampir satu dekade.

Muhammad Akhtar, ayah tiga anak di Karachi, meyakini pentingnya vaksinasi polio karena sepupunya terjangkit penyakit tersebut. Namun Akhtar tidak setuju dengan gagasan menghukum orang, dan mengatakan bahwa orang tua harus bisa memilih vaksin mana yang akan diterima anak-anak mereka.

Ayah lainnya, Khan Muhammad, dari Kota Benaras dekat Karachi, termasuk di antara mereka yang percaya pada teori konspirasi palsu. Ia memiliki tujuh anak dan berpendapat bahwa polio sama seperti penyakit lain yang melemahkan.

"Allah memberkati kita dengan anak-anak ini dan hanya Dia yang akan melindungi mereka,” kata Muhammad. "Pada akhirnya, itu adalah kehendak Tuhan.”

Bagaimana imunisasi di Indonesia?

Di Indonesia, UNICEF dan WHO bekerja sama dengan pemerintah untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya imunisasi, memastikan akses ke layanan imunisasi, termasuk di daerah yang sulit dijangkau, dan memperkuat sistem rantai pasokan imunisasi untuk menjaga kualitas dan kemanjuran vaksin.

Menurut laporan State of the World Children – yang berfokus pada imunisasi – Indonesia adalah salah satu dari 55 negara yang kepercayaan terhadap program imunisasinya menurun selama pandemi lalu.

ap/as(Associated Press, UNICEF)