1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Para Perempuan ini Melakukan Perubahan di Indonesia

8 Maret 2018

Perempuan-perempuan ini mungkin namanya jarang terdengar. Namun yang mereka lakukan, sungguh luar biasa dalam membuat perubahan di tanah air. Apa saja yang dilakukannya? Simak opini Misiyah.

Elishabeth Yunita Ifani, Aktivistin in Indonesien
Foto: Misiyah

Berbicara tentang perempuan pelaku perubahan pada umumnya yang terlintas dalam ingatan kita adalah tokoh-tokoh perempuan terkenal yang melakukan perubahan besar dan serba hebat di berbagai bidang. Senyatanya, di antara tokoh-tokoh perempuan yang terkenal tersebut ada berderet nama yang melakukan perubahan di jalan sunyi dan bahkan tersembunyi. Mereka berada di arus bawah bergerak meretas keterbatasan yang panjang, rumit dan berlapis-lapis.

Penulis: MisiyahFoto: Misiyah

Mari kita kenali mereka dengan mengunjungi wilayah-wilayah pinggiran, desa-desa terpencil di kepualauan, pedesaan, pesisir, masyarakat adat, miskin kota di beberapa penjuru Indonesia dari provinsi Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Jawa Timur dan miskin kota DKI Jakarta.

Para perempuan pelaku perubahan yang akan kita kenal adalah mereka yang teguh dalam berproses panjang dan berliku. Mereka melakukan perubahan dimulai dari dalam dirinya dengan mengubah cara pandangnya menjadi perempuan yang berfikir kritis. Bukan hal mudah, berpikir kritis berarti mendobrak pandangan yang telah mengakar, dianut dan disebarluaskan dalam kurun waktu panjang. Kegelisahan sungguh dirasakan ketika mengubah budaya yang selama ini dipaksakan pada perempuan untuk menjadi makhluk pasrah dan penurut kemudian berbalik menjadi perempuan yang berpikir ulang, mempertanyakan, menggugat dan bertindak mendesakkan hak asasinya.

Ririn Hayudiani, aktivis perempuan di NTB.Foto: Misiyah

Perubahan diri ini dilanjutkan dengan mempraktikkan perubahan dalam keluarga dan juga komunitasnya. Mereka mengorganisir untuk membangun kekuatan bersama agar mampu terlibat dalam pengambilan keputusan dan menyuarakan hak-haknya. Kepentingan masyarakat miskin, perempuan dan kelompok minoritas menjadi agenda utamanya dalam mendorong adanya kebijakan publik yang menjaminnya.

Ririn Hayudiani dan perjuangan tanpa batas

Dari kota kecil ujung Nusa Tenggara Barat tepatnya di Selong kabupaten Lombok Timur ada Ririn Hayudiani yang sudah 19 tahun mendedikasikan dirinya menjelajahi desa-desa pinggiran di kaki gunung Rinjani, pesisir laut Lombok Utara menembus adat yang kolot, fanatisme yang makin menguat dan kehidupan yang patriarkis. Ia percaya, melakukan pengorganisasian dan pendidikan kritis, memperkuat kepemimpinan perempuan akan mampu mengeluarkan perempuan dari belenggu ketertindasannya. Kerja keras Ririn tidak terbatas lingkup desa, ia dipercaya pihak pemerintah kabupaten sebagai rujukan dan tenaga sukarela untuk diminta memberi konsultasi dalam mengembangkan program, kebijakan dan penganggaran pemerintah yang responsif gender dan inklusif di kabupaten Lombok Utara dan Lombok Timur.

Ririn juga memberikan perhatian pada kehidupan internal kelembagaan di tempat kerjanya dengan menerapkan nilai-nilai keadilan, demokrasi dan kesetaraan gender. Ia terus menerus masuk di semua lini melakukan perubahan-perubahan perspektif, budaya kerja, komitmen di tataran organisasi tempat bekerja yaitu LPSDM (Lembaga Sumber Daya Mitra) dan juga perubahan dalam keluarganya.

Menjalankan misi dan membuahkan hasil bukan hal mudah, ia bekerja keras menghadapi tantangan-tantangan berat dalam bentuk teror mental. Namun tantangan tidak menghilangkan keberaniannya, ia tetap menggugat praktik norma patriarkis dan fanatisme di semua lini dalam masyarakat maupun pemerintah daerah. Berbagai batu sandungan sandungan dihadapinya, ia tetap melawan norma dan praktik kehidupan yang konservatif, ia berani menanggung resiko apapun. Ia terus mengorganisir perempuan dan menyuarakan perlawanan terhadap segala bentuk diskriminasi perempuan dan kelompok minoritas.

Ririn Hayudiani, konsultan.Foto: Misiyah

Indotang, penyintas kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)

Seorang perempuan pedagang keliling dari wilayah kepulauan terpencil, ia bertekat melakukan penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan masalah-masalah sosial lainnya termasuk penghapusan sunat perempuan. Indotang tinggal di desa Mattiro Kanja pulau terpencil kabupaten Pangkajene Kepulauan, Sulawesi Selatan hidup dalam situasi miskin dan hanya mengenyam pendidikan dasar.

Dalam keterbatasan ini, ia tetap menyisihkan waktu dan tenaganya untuk  melakukan penyadaran dan pencegahan terjasinya KDRT. Ia menggunakan pengalaman dirinya sebagai kekuatan untuk mewujudkan keluarga yang bebas dari kekerasan teradap perempuan. Kasus kekerasan yang dialaminya disebarluaskan untuk menyatakan bahwa perempuan mempunyai hak hidup dan rasa aman sehingga segala bentuk kekerasan atas dasar apapun tidak dapat dibenarkan. Karena itu ia berani mengambil keputusan untuk bercerai dengan suami yang melakukan KDRT dalam perkawinannya. Tidak sekedar itu, ia juga berani melawan dan mengkampanyekan penghapusan sunat perempuan di tengah-tengah masyarakat yang sangat mempercayai sunat perempuan merupakan perintah agama.

Tidak berhenti pada kasus KDRT, Indotang yang berusia 39 tahun ini mempunyai kepedulian terhadap hak-hak masyarakat miskin terutama perempuan. Dalam keseharian ia peka dan bertindak nyata membantu masyarakat miskin agar dapat mengakses beras miskin gratis. Memastikan si miskin mendapatkan jaminan kesehatan yang iurannya dibayar pemerintah (JKN-PBI), mendapatkan Porgram Keluarga Harapan, bedah rumah orang miskin, Kartu Indonesia Pintar. Ia menyuarakan aspirasi dan kepentingannya melalui keterlibatan dalam pengambilan keputusan pembangunan dan juga melakukan pemantauan penggunaan dana desa, memberantas pungutan liar. Indotang juga sigap dalam menghadapi tantangan dari tokoh agama yang menuduh dirinya dan teman-teman belajarnya di Sekolah Perempuan adalah kelompok sesat. Ia mengajak teman-temannya menemui imam desa dan tokoh masyarakat untuk menjelaskan dan berhasi meyakinkan bahwa kesetaraan gender bukanlah hal sesat.

Theresia Dhey dari desa Noelbaki, Kupang Nusa Tenggara Timur

Mama Theresia Dhey, di usia 51 tahun menjadi ketua Sekolah Perempuan Citra Kasih Desa Noelbaki, Kupang, Nusa Tenggara Timur. Sebagai Ibu rumah tangga yang menopang kebutuhan ekonomi keluarga, ia mengembangkan usaha makanan. Mama Theresia aktif merangkul dan mendorong perempuan-perempuan untuk aktif berorganisasi. Bidikan utama terhadap masalah perempuan adalah rendahnya partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan pembangunan dalam semua tingkatan.

Bersama-sama dengan perempuan yang diorganisir di desa, ia berhasil mendorong lahirnya Peraturan Desa tentang "Partisipasi 30% Perempuan Dalam Perencanaan, Pelaksanaan, Monitoring dan Evaluasi terhadap program-program pembangunan di desa”. Sebagai upaya affirmasi terhadap perempuan, ia menginisiasi dan berhasil mendesakkan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) khusus Perempuan. Kebijakan ini awalnya seperti mustahil dapat terjadi di sebuah wilayah yang sangat kuat norma-norma yang hanya mengakui laki-laki yang layak mengambil keputusan. Kebijakan ini mengantarkan usulan berbasis kepentingan perempuan seperti pemenuhan hak atas kesehatan reproduksi, partisipasi dan kepemimpinan perempuan, penguatan ekonomi dan lain-lain masuk dalam program desa Noelbaki.

Mama Theresa, ketua Sekolah Perempuan Citra Kasih Desa Noelbaki, Kupang.Foto: Misiyah

Musriyah dari bantaran kali Ciliwung, Jakarta "Perempuan Tanggap Bencana”

Perempuan ibu rumah tangga yang tidak tamat Sekolah Dasar ini nyatanya berhasil dalam pemilihan ketua Sekolah Perempuan Tingkat provinsi di komunitas miskin kota Jakarta. Keberanian, keberpihakan dan kerja keras tanpa pamrih imbalan telah dijalaninya selama 15 tahun ini. Sebagai warga yang tinggal di bantaran sungai Ciliwung dengan resiko banjir datang kapan saja, ia menginisiasi dan mengelola Posko Perempuan Tanggap Bencana. Istimewanya, posko ini secara konsisten menerapkan transparansi dan akuntabilitas dengan  melakukan pertanggungjawaban publik. Ia sebenarnya juga korban banjir, namun ia justru di garda utama dalam penyelamatan dan pemenuhan kebutuhan warga terutama lansia, balita, ibu hamil dan perempuan pada umumnya.

Ia tanamkan bahwa dirinya setara dengan siapapun, pejabat pemerintah di tingkat provinsi sekalipun. Ia terapkan juga untuk memotivasi para perempuan untuk meneguhkan sikap setara, kritis, berani dan melakukan tindakan nyata. Ia berhasil menghalau upaya pecah belah yang menggunakan isu agama dan ia konsisten melawan tindakan diskriminasi terhadap perempuan dan mmnoritas. Semua masalah di komunitas tak pernah luput dari perhatian ibu rumah tangga yang sehari-hari membuka warung ini. Ia turun langsung menangani masalah-masalah yang terjadi di komunitasnya diantaranya KDRT, penyadaran hak-hak perempuan, penyadaran untuk menghentikan perkawinan anak, sunat perempuan, menyuarakan hak pekerja rumah tangga dalam negeri maupun migran.

Suharni, desa Sokong Lombok Utara, NTB: "Membongkar Sekat Perbedaan”

Sebagai pemeluk agama Budha di tengah-tengah masyarakat yang kental dengan syari'ah Islam, posisi Suharni menjadi pemimpin organisasi Sekolah Perempuan adalah istimewa bahkan langka. Minoritas yang memimpin mayoritas adalah sebuah keberanian, terutama dalam konteks masyarakat yang saat ini cenderung menggunakan identitas suku, ras, agama dan golongan untuk memenangkan kekuasaan. Suharni memiliki sikap yang jelas bahwa penggolongan berdasar identitas ini semestinya dihapus dan semua perbedaan harus dihormati dan setiap orang harus membangun hidup rukun. Sikap ini dia terapkan dalam kehidupan dalam keluarga dan kegiatan-kegiatan sosialnya.

Suharni semula dikenal sebagai sosok pendiam, kurang percaya diri dan hanya bergaul dengan orang-orang yang dianggap memberi rasa aman. Sejak tergabung dalam komunitas belajar di Sekolah Perempuan desa Sokong, Lombok Utara ia mengalami banyak perubahan. Suharni mengawali perubahan dari lingkungan keuarga kecilnya yaitu bernegosiasi dengan suaminya supaya setara dalam pengambilan keputusan keluarga dan adil dalam pembagian kerja rumah tangga. Kemudia diperluas dengan melakukan perubahan bersama perempuan-perempuan di komunitasnya.  Salah satunya adalah melakukan advokasi dan membantu warga untuk mendapatkan haknya atas kartu jaminan kesehatan bagi warga miskin.

Suharni menjadi pemimpin organisasi Sekolah PerempuanFoto: Misiyah

Dalam dua tahun terakhir ini, sekitar 400-an warga miskin yang dibantu dan berhasil mendapatkan jaminan kesehatan gratis. Dalam kerja-kerja sukarela ini, Suharni mengalami tantangan yang tajam, misalnya dianggap sebagai penyebar ajaran sesat dan aktivitasknya harus dihentikan. Namun ia tetap bersikaras melakukan perubahan, ia menyuarakan kepentingan warga dan perempuan melalui Musyawarah perencanaan pembangunan desa dan menyebarluaskan perjuangan perempuan di dalam maupun di luar desanya.

Penulis: Misiyah (ap/vlz)

Misiyah menekuni isu-isu feminisme selama 20 tahun terakhir dan aktif dalam gerakan perempuan, mengembangkan pemberdayaan perempuan, kepemimpinan perempuan untuk gerakan kesetaraan gender dan perdamaian. Saat ini menjadi direktur Institut KAPAL Perempuan, sebuah organisasi yang fokus pengembangan pendidikan kritis dengan perspektif feminisme dan pluralisme.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.