1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Ekonomi

Di Tengah Krisis Pandemi Corona, Industri Senjata Tetap Jaya

7 Desember 2020

Saat banyak bisnis terpukul akibat pandemi corona, perdagangan senjata global terus meningkat. Perusahaan AS dan Cina merajai pasar, dan untuk pertama kalinya perusahaan senjata Timur Tengah masuk Top 25.

Pesawat tempur AS F-35 buatan Lockheed Martin di pameran penerbangan Le Bourget, Prancis Le Bourget Luf
Pesawat tempur AS F-35 buatan Lockheed Martin di pameran penerbangan Le Bourget, PrancisFoto: Reuters/P. Rossignol

Perusahaan senjata Amerika Serikat (AS) dan Cina mendominasi pasar senjata global, menurut laporan terbaru Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) yang dirilis hari Senin (7/12). AS tahun lalu menguasai 61 persen pangsa pasar senajta, sementara Cina 15,7 persen. Total omset 25 perusahaan teratas (Top 25) dalam bisnis senjata meningkat 8,5 persen dibanding tahun sebelumnya, menjadi USD 361 miliar (Rp 5,102 triliun).

SIPRI mengatakan, omset Top 25 tahun 2019, 50 kali lipat lebih besar daripada anggaran tahunan misi perdamaian PBB. Di peringkat 10 besar penjual senjata ada enam perusahaan AS dan tiga perusahaan Cina. Satu-satunya perusahaan Eropa yang masuk 10 besar adalah perusahaan Inggris BAE Systems, yang menduduki peringkat ketujuh.

"Cina dan Amerika Serikat adalah dua negara dengan pangsa terbesar dalam perdagangan senjata global," kata Lucie Beraud-Sudreau, direktur program belanja senjata dan militer SIPRI. Amerika Serikat memang telah mendominasi pasar senjata selama beberapa dekade, namun Cina termasuk pendatang baru.

"Peningkatan (Cina) ini sesuai dengan implementasi reformasi untuk modernisasi Tentara Pembebasan Rakyat yang sedang berlangsung sejak 2015," kata Lucie Beraud Sudreau.

Pesawat tempur Hawk buatan perusahaan Inggris BAE Systems, satu-satunya perusahaan Eropa yang masuk TOP 10 bisnis senjataFoto: picture-alliance/dpa

Industri senjata Eropa lebih internasional

Perusahaan AS Lockheed Martin, Boeing, Northrop Grumman, Raytheon dan General Dynamics berada di peringkat lima tempat teratas, sementara AVIC, CETC dan Norinco Cina menempati posisi enam, delapan dan sembilan.

Perusahaan senjata Inggris BAE Systems menempati peringkat tujuh dan menjadi satu-satunya perusahaan Eropa yang masuk 10 besar.

"Tetapi jika Anda menggabungkan perusahaan-perusahaan Eropa bersama-sama, Anda dapat memiliki perusahaan Eropa dengan ukuran yang sama" seperti pabrikan AS dan Cina, jelas Lucie Beraud-Sudreau.

Perusahaan Airbus menempati peringkat ke-13, sementara perusahaan senjata Prancis Thales berada di peringkat ke-14. Tetapi kedua perusahaan itu memiliki jaringan internasional terbesar dengan masing-masing terwakili di 24 negara.

"Perusahaan Eropa lebih terinternasionalisasi" dibanding yang lain, kata Lucie Beraud-Sudreau.

Pertama kali, Timur Tengah masuk Top 25

Untuk pertama kalinya sebuah perusahaan dari Timur Tengah berhasil masuk ke "Top 25": EDGE, dari Uni Emirat Arab, yang dibentuk dengan konsolidasi sekitar 25 entitas pertahanan pada tahun 2019. EDGE menempati peringkat 22 dan merupakan gambaran baik "bagaimana kombinasi permintaan nasional yang tinggi untuk produk dan layanan militer dan keinginan untuk mengurangi ketergantungan pada pemasok asing mendorong pertumbuhan perusahaan senjata di Timur Tengah," kata laporan terbaru SIPRI.

Laporan itu juga menyebutkan bahwa grup Prancis Dassault telah melonjak dari posisi 38 ke posisi 17, didorong oleh ekspor jet tempur Rafale pada 2019. Sementara itu, dua perusahaan Rusia juga berada di "25 besar", yaitu Almaz-Antey di posisi ke-15 dan United Shipbuilding di urutan ke-25.

Direktur program militer SIPRI Lucie Beraud-Sudreau mengatakan, perusahaan-perusahaan Rusia berada dalam kondisi yang lebih baik dibandingkan beberapa tahun lalu berkat program modernisasi besar-besaran untuk militernya, tetapi bisnisnya sejak itu "melambat ".

hp/pkp  (afp, dpa, epd)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait