1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Diaspora Bukan Hanya Mereka yang Berdasi

Indonesien Wahyu Susilo
Wahyu Susilo
14 Agustus 2021

Diaspora bukan cuma para pekerja kelas atas berparfum mahal, berbaju desainer terkenal, tapi mereka yang disebut buruh migran pun diaspora. Mereka penyumbang besar devisa.

Gambar ilustrasi: Pekerja Indonesia di luar negeriFoto: AP

Pada tanggal 14 Agustus 2021, Kongres Diaspora Indonesia akan kembali digelar. Biasanya kongres ini digelar berbarengan dengan "mudik dan pulang kampung”-nya para diaspora Indonesia ke tanah leluhurnya, namun kali ini perhelatan ini digelar secara virtual. Kecamuk pandemi yang belum jelas ujungnya membuat gelaran tiap dua tahunan ini terpaksa berlangsung secara online. Pandemi yang sangat berpengaruh pada mobilitas manusia ini tentu akan menjadi perbincangan utama dalam pertemuan akbar para perantau ini.

Meski diaspora Indonesia memiliki akar historis yang panjang dan berliku, namun perbincangan publik di Indonesia mengenai diaspora Indonesia ini baru mengemuka dalam satu dekade terakhir ini. Harus diakui bahwa munculnya wacana diaspora Indonesia tak lepas dari isu kontestasi politik beberapa tahun lalu menjelang 2014, dan isu ini diangkat untuk mengerek popularitas politik dengan mengatasnamakan aspirasi politik kaum diaspora Indonesia yang selama ini absen dan hilang. Dalam perjalanannya sebagai isu ini luruh dalam kontestasi politik menjelang 2014 dulu, namun terus diusung untuk tetap menjaga popularitas dan klaim dukungan politik.

Ada bias politik dan kelas

Oleh karena itu, mau tidak mau, perbincangan mengenai diaspora Indonesia selama ini selalu memiliki bias politik dan bias kelas. Selama ini yang dipahami atau yang disorongkan oleh para pengusung aspirasi ini adalah bahwa diaspora Indonesia itu adalah "kaum profesional Indonesia yang bekerja di luar negeri”, "ekspatriat Indonesia yang sukses berkarya di tanah seberang” dan karena jejak-jejak tersebut mereka "mengharumkan nama bangsa dan negara”. Puja-puji demagogis itu selalu diperdengarkan sembari melancarkan tuntutan terkait eksistensi mereka, misalnya mengenai status dwikewarganegaraan, hak pilih dan hak politik diaspora Indonesia dan juga tuntutan kemudahan fasilitas keimigrasian dan investasi.

Tuntutan ini tentu sah dan tidak salah, namun hampir sama sekali tidak memiliki perspektif inklusifterhadap eksistensi diaspora Indonesia yang di luar imajinasi mereka. Seperti yang dikemukakan di awal tulisan ini, Indonesia memiliki akar historis yang panjang mengenai diaspora Indonesia, basisnya adalah politik kolonialisme, politik kekuasaan dan ekonomi-politik.

Jika kita menengok sejarah ke belakang, politik pembuangan kolonial, baik ke Ceylon (sekarang Srilanka), Tanjung Harapan (sekarang Cape Town, Afrika Selatan) dan Digoel (yang akhirnya bermigrasi ke Australia) meninggalkan jejak diaspora Indonesia hingga saat ini. Sementara itu ketika kapitalisme perkebunan menjadi basis ekonomi kolonial, terjadi mobilisasi pekerja Jawa ke Suriname dan Kaledonia Baru dan di kemudian hari, ini membentuk enclave diaspora Indonesia terbesar hingga hari ini.

Mereka yang terabaikan eksistensinya

Dalam masa dekolonisasi sejak politik Benteng, peristiwa 1965 dan peristiwa 1998, juga terjadi pergerakan massif etnis Tionghoa yang sebenarnya sudah memiliki akar historis tinggal di Indonesia harus kembali ke daratan Tiongkok ataupun ke negara yang dianggap aman ketika krisis politikmengancam keselamatan mereka. Selain itu, ribuan warga Indonesia yang sebagian besar adalah eks mahasiswa tugas belajar di zaman Soekarno dan diplomat harus menjadi warga di tanah pengasingan (eksil) karena dicabut paspornya. Ini adalah jejak diaspora Indonesia yang selama ini diabaikan eksistensinya.

Pekerja migran Indonesia adalah mayoritas diaspora Indonesia yang selama ini dipandang sebelah matakarena mereka berupah dan berketrampilan rendah sehingga tidak bisa masuk kategori "profesional” dan "ekspatriat”. Kerentanan yang mereka hadapi sehari-hari, mulai dari kasus pengupahan, kekerasan, perkosaan hingga kematian bahkan dianggap sebagai beban dari tugas diplomat Indonesia dan menjadi indikator "turunnya martabat dan harga diri bangsa”. Cara pandang yang diskriminatif ini yang menyebabkan "kaum profesional dan ekspatriat” sebagai diaspora Indonesia wangi enggan untuk disebut dan dikategorikan sebagai pekerja migran Indonesia yang selalu dikesankan kusam, kusut dan berkeringat. Aspirasi ini terekam dalam tuntutan Kongres Diaspora Indonesia Agustus 2019 yang meminta Pemerintah Indonesia membuat Badan Nasional Diaspora Indonesia.

Penulis: Wahyu SusiloFoto: privat

Jangan elitis 

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri pun juga menggelar karpet merah untuk aspirasi diaspora Indonesia dengan membuat desk khusus diaspora Indonesia dan menerbitkan kartu diaspora Indonesia dengan nama Kartu Masyarakat Indonesia di Luar Negeri (KMILN). Inisiatif ini merespons tuntutan yang selama ini disuarakan dalam setiap Kongres Diaspora Indonesia. Namun ironisnya, dari klaim jumlah diaspora Indonesia sebanyak delapan juta orang, tak lebih dari dua ribu orang yang mendaftar kartu tersebut.

Atas dasar telusur sejarah diaspora Indonesia dan aspirasinya, maka sudah selayaknya Kongres Diaspora Indonesia nanti mengakhiri watak elitisme dan bias kelasnya, berkontribusi untuk mengakhiri stigmatisasi yang menjadi beban politik diaspora Indonesia akibat sejarah kelam masa lalu dan menyudahi pandangan diskriminatif dan pemilahan pada pekerja migran Indonesia karena upah dan profesinya.

@wahyususilo adalah pendiri Migrant CARE, sekaligus bekerja sebagai analis kebijakan di lembaga tersebut. Tahun 2007, meraih Hero-Acting to End Modern Slavery Award dari Department of State USA.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia adalah sepenuhnya opini penulis dan menjadi tanggung jawab penulis.

*Ingin ikut berdiskusi? Silakan tuliskan komentar Anda di bawah ini.  

 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait