Dideportasi Dari Jerman, Pemohon Suaka Bunuh Diri di Kabul
12 Juli 2018
Seorang pria Afghanistan yang dideportasi dari Jerman ditemukan tewas gantung diri di sebuah kamar hotel di Kabul. Kasus ini menyulut kembali debat politik deportasi di Jerman.
Iklan
Seorang pencari suaka Afghanistan yang ditolak oleh Jerman dan dideportasi ke Afghanistan ditemukan tewas hari Selasa (10/7) di sebuah hotel di Kabul. Organisasi Internasional untuk Migrasi IOM mengatakan, pria berusia 23 tahun itu menginap di hotel yang digunakan IOM sebagai akomodasi sementara untuk orang-orang yang dideportasi.
"Kami dapat memberi konfirmasi bahwa seorang warga Afghanistan berusia 23 tahun, yang dideportasi ke Afghanistan 4 Juli 2018 bersama dengan 68 warga Afghanistan lainnya , melakukan bunuh diri hari Selasa," kata pekerja IOM Masood Ahmadi kepada DW.
Pria itu belum diidentifikasi oleh pejabat berwenang karena sedang menunggu untuk melakukan perjalanan ke Provinsi Herat barat, mlanjut Ahmadi. Investigasi resmi atas insiden itu kini sedang berlangsung.
IOM menyediakan akomodasi sementara untuk warga Afghanistan yang dideportasi dan membantu mereka melakukan perjalanan ke provinsi lain jika mereka memilih untuk tidak tinggal di Kabul. Hashimi mengatakan, IOM hanya menyediakan akomodasi untuk 15 hari. Setelah itu, mereka harus pergi.
Gantung diri
Mirwis Hashimi, orang lain yang dideportasi dari Jerman yang kini tinggal di hotel yanng sama mengatakan, pria itu menggantung diri. "Seluruh gedung berbau busuk. Polisi dipanggil. Ketika kami naik ke atas, kami melihat dia gantung diri," kata Hashimi kepada DW.
"Badannya bengkak dan berbau busuk. Kondisinya sangat buruk," tambahnya.
Tahun 2016, pemerintah Jerman menandatangani kesepakatan dengan pemerintah di Kabul untuk memulangkan warga Afghanistan yang ditolak permohonan suakanya. Jerman mulau melakukan deportasi bulan Desember 2016. Sejak itu, ratusan pengungsi dikirim pulang. Sejak Januari tahun ini saja, sudah 148 warga Afghanistan dideportasi ke negaranya.
Pihak berwenang di kota Hamburg, Jerman, tempat pencari suaka Afghanistan itu tinggal sebelum dideportasi, mengatakan bahwa pria itu pernah dihukum karena pencurian, tindakan melukai orang, melawan aparat penegak hukum dan pelanggaran narkotika. Dia juga dituduh melakukan perampokan, kata seorang pegawai kota Hamburg kepada kantor berita Jerman, DPA.
Lahir di Kamp Pengungsi, Jadi Ratu Fesyen
Halima Aden, model Somalia-Amerika berhijab ini jadi pusat perhatian mode tahun 2017. Ia menjadi kontestan pertama yang mengenakan jilbab dalam kontes kecantikan Miss Minnesota, Amerika Serikat.
Foto: Reuters/B. McDermid
Mendadak jadi pusat perhatian
Halima Aden, model Somalia-Amerika, jadi pusat perhatian dunia mode tahun 2017. Aden yang belum genap berusia 20 tahun memulai debutnya di ‘catwalk‘ tahun 2017 dalam acara Kanye West's Yeezy di New York. Ia mengenakan jilbab di atas catwalk.
Foto: Reuters/B. McDermid
Gemilang di panggung kota mode
Dalam pagelaran fesyen Max Mara di Milan, ia mengenakan setelan dari desainer Alberta Ferretti memamerkan mantel dari kulit unta yang klasik yang dipadupadankan dengan jilbab wol halus. Sebuah judul di Instagram Ferretti tertulis: “Merangkul budaya dan keragaman untuk mematahkan norma dan mengubah pemikiran mode modern bersama Halima Aden."
Foto: Getty Images/AFP/M. Medina
Lahir di kamp pengungsian
Aden, lahir di Kakuma, sebuah kamp pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa di Kenya. Ia datang ke Amerika Serikat pada usia tujuh tahun bersama keluarganya, yang awalnya menetap di St. Louis, Missouri. Ia jadi berita utama tahun 2016 saat dia menjadi kontestan Miss Minnesota pertama yang mengenakan jilbab.
Foto: Imago
Selalu ingat masa lalu
Dia mengingat hidupnya di kamp pengungsian: "Orang-orang yang berbeda, pengungsi yang berbeda dari seluruh Afrika berkumpul di Kakuma. Namun kita masih menemukan kesamaan."
Foto: Reuters/B. McDermid
Dikontrak agen mode dunia
Sementara Kanye West's Yeezy di New York adalah panggung fesyen pertamanya, penampilannya di Milan mungkin lebih penting karena Alberta Ferretti dan Max Mara mewakili ikon mode dunia. Aden bergabung dengan agen model IMG. "Sebagai Muslim, kita membutuhkan lebih banyak cerita positif," kata Aden tentang keberhasilannya.
Foto: Reuters/B. McDermid
Merasa nyaman
Menurut Aden, mengenakan busana muslim membuatnya merasa sangat nyaman dan menjadi diri sendiri. Beberapa pasangan orang tua dari agama lain mengucapkan kepadanya: "Saya ingin anak perempuan saya yang berusia tujuh tahun mengetahui bahwa tidak harus setengah telanjang untuk menjadi cantik."
Foto: Reuters/B. McDermid
Menjadi yang pertama
Langkah berani Aden dalam melambungkan karirnya ke tingkat yang lebih tinggi yang melibatkan banyak pengalaman "pertama", termasuk menjadi hijabi pertama yang ditandatangani oleh agen pemodelan besar. "Saya memakai jilbab setiap hari," kata Aden.
Foto: Reuters/B. McDermid
Jadi model sampul majalah dunia
Setelah pernah menjadi hijabi pertama yang tampil di sampul majalah Vogue, Halima Aden dipercaya menjadi model untuk Allure, dimana wajah Halima Aden terlihat di sampul majalah Allure edisi Juli 2017. (ap/ml, dari berbagai sumber)
Foto: Reuters/B. McDermid
8 foto1 | 8
Deportasi ke Afghanistan memalukan
Organisasi bantuan dan kalangan oposisi mengeritik kebijakan pemerintahan Merkel melakukan deportasi ke Afghanistan. Mereka mengatakan, situasi di Afghanistan belum aman dan suluit mendeportasi orang ke sana tanpa tanpa langkah-langkah yang tepat untuk mendukung kehidupan mereka.
"Ini tindakan memalukan, bahwa Jerman bahkan mendeportasi warga Afghanistan yang telah tinggal di Jerman selama bertahun-tahun. Dikembalikan kepada pemerintah di Afghanistan yang sudah terbebani dengan orang-orang yang kembali dari Iran dan Pakistan," kata organisasi bantuan pengungsi Jerman, Pro Asyl.
Pemerintah Jerman bersikeras, sudah ada zona aman di Afghanistan, sehingga orang bisa dideportasi kembali ke sana. Antara lain kota seperti Herat, Kabul, dan Balk termasuk dalam zona yang dianggap aman. Namun para pengeritik mengatakan, situasi di lapangan jauh berbeda dari gambaran para politisi di Berlin. Sehingga mereka yang dideportasi sering tidak punya pilihan lain, selain mencari jalan untuk kembali meninggalkan negaranya dan mengungsi.
Menurut data yang dirilis pemerintah AS, Taliban masih menguasai 14 persen dari distrik Afghanistan, sedangkan 30 persen lebih masih diperebutkan antara gerilyawan dan pasukan keamanan Afghanistan.
Penampungan Imigran di Jakarta Membludak Lebihi Kapasitas
Rumah penampungan imigran di Jakarta Barat ini seharusnya hanya bisa memuat puluhan orang. Kenyataannya yang ditampung kini luber hingga ratusan orang.
Foto: picture-alliance/abaca/E. Permana
Tumpang tindih
Rumah detensi imigrasi merupakan tempat penampungan sementara bagi orang asing yang dianggap melanggar undang-undang imigrasi. Karena terlalu penuh, terpaksa mereka tidur seadanya. Dikutip dari Getty, rumah penampungan ini kini dibanjiri sekitar 440 orang, Mereka berasal dari berbagai negara. Terbanyak dari Nigeria.
Foto: picture-alliance/abaca/E. Permana
Terbanyak, tersandung masalah administrasi
Karena kelebihan daya tampung di lima blok yang ada, rumah detensi imigrasi Jakarta bahkan memberdayakan ruang aula untuk menampung para warga negara asing yang sebagian besar menghadapi masalah administrasi.
Foto: picture-alliance/abaca/E. Permana
Terbanyak dari Nigeria
Di antara mereka, lebih dari 200 orang menghadapi masalah dokumen. Lebih dari 100 orang mencari suaka sementara puluhan orang lainnya merupakan pengungsi.
Foto: picture-alliance/abaca/E. Permana
Menunggu nasib
Beralas tikar dengan atap terpal, mereka yang menunggu kepastian nasib ini tinggal dalam kondisi berdesakkan bersama ratusan pencari suaka lainnya. Dikutip dari Suara.com, bagi yang berkeluarga, mereka memberi pembatas berdinding kain. Karena tak ada lemari, mereka menggantungkan baju menggunakan tali di sepanjang pagar rumah detensi.
Foto: picture-alliance/abaca/E. Permana
Berkoordinasi dengan IOM
Selain di tempat penampungan ini, pemerintah juga menampung 900-an pencari suaka di Community House di Tangerang Selatan, Jakarta Selatan dan Jakarta Barat. Demikian dikutip drai Suara.com. Untuk mencari solusinya, pemerintah berkoordinasi dengan International Ogranization for Migration (IOM), bandan PBB yang mengurus pengungsi. (Ed.: ap/ml, Sumber: getty/Suara.com)