1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Tulis Demo Hong Kong, Yuli: Pekerja Migran Perlu Tahu

4 Desember 2019

Pekerja migran Indonesia, Yuli Riswati, dideportasi oleh pemerintah Hong Kong atas alasan pelanggaran izin tinggal (overstay). Namun Yuli menilai, ia dideportasi karena kerap menulis tentang demontrasi Hong Kong.

Hongkong | Indonesische Arbeiterin Yuli Riswati
Foto: Seng Cheng

Seorang pekerja migran Indonesia (PMI), Yuli Riswati dideportasi oleh pemerintah Hong Kong, pada Senin (2/12) atas alasan pelanggaran izin tinggal yang telah melebihi waktu atau overstay.

Namun, ketika dihubungi DW Indonesia, Yuli meyakini bahwa pemulangan dirinya justru disebabkan karena ia kerap membuat laporan tentang demonstrasi Hong Kong.

“Indikasinya berhubungan dengan tulisan-tulisan saya seputar gerakan anti ekstradisi, karena saya banyak menulis dan menceritakan peristiwa terkini di Hongkong,” ujar Yuli.

Pekerja migran asal Surabaya ini cukup sering memberitakan tentang peristiwa gerakan pro demokrasi yang terjadi di Hong Kong dan mempublikasikannya lewat media alternatif miliknya yakni Migran Pos.

Pada 23 September 2019, sebuah media lokal Hong Kong memuat profil Yuli dan menceritakan tentang kisah seorang pembantu rumah tangga (PRT), yang kerap membagikan cerita seputar demonstrasi Hong Kong. Berita tersebut kemudian menjadi trending di Hong Kong. Pada hari yang sama, Yuli ditangkap oleh petugas Imigrasi Kowloon Bay, ketika berada di rumah majikannya karena diduga melakukan pelanggaran izin tinggal.

Kepada DW Indonesia, Yuli menyampaikan bahwa kasus overstay juga pernah dialami kawan-kawannya dari Filipina, Thailand, Nepal dan Indonesia. Namun, menurutnya pekerja migran hanya perlu meminta maaf kepada pihak imigrasi Wan Chai, Hong Kong dan setelahnya mengatur perpanjangan visa.

“Kasus overstay yang lain itu benar-benar melanggar izin tinggal, karena tidak bermajikan atau tidak memiliki kontrak kerja atau izin tinggal. Jadi dia benar-benar illegal working dan sudah pasti pada akhirnya dideportasi. Tapi, untuk kasus saya yang memiliki majikan dan kontrak kerja yang sah, itu tidak pernah terjadi dan belum pernah terjadi,” jelasnya kepada DW Indonesia.

Baca juga: 16 Migran Timur Tengah Ditemukan di dalam Kontainer Tersegel Menuju Irlandia

Unjuk rasa menuntut hak pekerja migran, di Hong Kong.Foto: Getty Images/AFP/D. de la Rey

Diperlakukan buruk selama 28 hari penahanan

Pada 4 November 2019, Yuli menjalani sidang di Pengadilan Sha Tin, Hong Kong. Ia memang dinyatakan bersalah karena melanggar izin tinggal namun hanya dikenakan hukuman wajib berkelakuan baik dan tidak boleh melanggar hukum selama 12 bulan ke depan.

Keesokan harinya, pada 5 November 2019, Yuli justru dibawa ke Castle Peak Bay Immigration Centre (CIC), karena pihak imigrasi menilai tidak ada pihak yang menjamin dan memberi tempat tinggal kepada Yuli. Ia lantas ditahan tanpa pemberitahuan masa tahanan atau proses yang akan dilalui.

Selama di CIC, Yuli juga diperlakukan sangat buruk. CIC merupakan ruang penahanan untuk orang-orang atau warga asing yang akan dipulangkan ke negara asalnya atau sedang dalam proses pendataan atau pengajuan suaka.

“Jadi kami diperlakukan seperti tahanan yang sedang dalam pendidikan. Kami harus senyum, kami ngomong, dihukum. Ketika saya ditahan, saya dipaksa bugil. Padahal dalam tulisan di bukunya hanya meraba badan, tapi kenyataannya saya diminta membuka baju dan bugil dan sebagainya yang membuat saya sempat depresi,” sebutnya.

Baca juga: Rahasia Kelam di Balik Rumah Tahanan Para Imigran di Jepang

Yuli juga diminta menuliskan pernyataan sikap oleh petugas imigrasi yang justru ia anggap memojokkannya.

“Saya diminta untuk menulis bahwa saya bersedia menulis pernyataan sikap tanpa pendampingan pengacara dan saya bersedia untuk mencabut aplikasi visa saya di imigrasi Wan Chai. Dan meminta kepada pihak imigrasi untuk memulangkan saya segera ke tanah air,” ujarnya kepada DW Indonesia.

Yuli menolak keras permintaan tersebut karena merasa masih membututuhkan visa kerja. Namun ia yang sudah tidak kuat lagi berada di CIC selama 28 hari penahanan dan tanpa kejelasan, akhirnya memberikan pernyataan tertulis.

“Akhirnya aku bilang, ‘baik aku akan menulis, tapi aku hanya tulis, aku mencabut aplikasi visa dan aku akan mengajukan aplikasi visa baru setibanya di Indonesia dan meminta imigrasi Indonesia untuk mengatur kepulanganku dengan sesegera mungkin ke Surabaya,” jelasnya.

Konferensi Pers oleh Yuli Riswati dan AJI Surabaya.Foto: Miftah Faridl

Kegiatan jurnalistik Yuli tidak melanggar hukum

Beberapa tahun lalu, Yuli menjadi kontributor untuk koran lokal Hong Kong berbahasa Indonesia, yakni Suara. Kemudian pada Maret 2019, Yuli dan teman-temannya membuat media sendiri, yakni sebuah media online yang fokus membahas tentang bagaimana menjalin komunikasi antar pekerja migran Indonesia di Hong Kong, yakni Migran Pos.

“Sebenarnya begini, kami itu pekerja rumah tangga. Kami itu sebenarnya seorang manusia yang butuh informasi. Kami memang bukan orang Hong Kong, kami orang Indonesia dan tidak harus terlibat hal apapun tentang isu politik. Tapi untuk isu-isu seperti itu kami perlu tahu untuk melindungi diri kami sendiri,” ujar Yuli.

Pada awalnya Yuli dan kawan-kawan mendirikan Migran Pos untuk berbagi informasi antara pekerja migran Hong Kong. Saat demontrasi pro demokrasi Hong Kong terjadi sejak Juni 2019, Yuli dan kawan-kawan kerap berbagi informasi seputar kondisi jalanan, transportasi yang tertunda, lokasi bentrokan dan gas air mata. Ia tidak menyangka bila tulisan-tulisan di medianya sampai dibaca pihak luar.

“Karena pekerja rumah tangga itu ada keterbatasan tidak semua bisa membaca huruf Cantonese, tidak semua bisa membaca huruf Cina, tidak semua bisa membaca bahasa Inggris. Ketika kami menyimak media berbahasa Indonesia pun, tidak semua meliput dari titik yang sebenarnya. Mereka hanya mengutip dan terkesan menambah sesuatu dari yang tidak ter-cover,” terangnya kepada DW Indonesia.

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya, Miftah Faridl menilai, kegiatan jurnalistik yang dilakukan oleh Yuli selama berada di Hong Kong, sama sekali tidak melanggar hukum. AJI Surabaya juga mengecam keras deportasi yang dilakukan pemerintah Hong Kong terhadap Yuli.

“Karena itu sebagai bentuk literasi, yang beberapa tahun ini marak atau lazim terjadi di negara-negara yang menganut sistem demokrasi. Literasi warga kemudian memunculkan jurnalisme warga,” jelas Miftah.

Menanggapi hal ini, Miftah menilai memang tidak ada yang salah dengan tulisan-tulisan Yuli dan kawan-kawannya di media tersebut. Menurutnya dalam jurnalisme warga, siapapun berhak menyampaikan informasi.

“Ada masalah gak ketika seorang pekerja rumah tangga menjadi seorang jurnalis warga? Menulis? Kan gak ada masalah sebenarnya. Siapapun bisa menjadi jurnalis warga. Nah itu yang kemudian dipakai oleh pihak-pihak tertentu untuk mendeligitmasi bahwa ngapain kamu? Kamu kan cuma PRT kok nulis? Kamu punya kemampuan apa dalam menulis?,” jelasnya kepada DW Indonesia.

Lebih lanjut Miftah menegaskan media yang Yuli buat adalah buah karya jurnalisme warga.

“Dalam kemasan sebagai media alternatif, bagi pekerja-perkeja migran yang ada disana. Ambil contoh misal seberapa banyak sih media mainstream yang ada di Indonesia yang menerbitkan soal kehdupan TKW, pekerja migran yang ada di Hong Kong? Di negara-negara dunia lainnya?,” imbuhnya.

Menurut Miftah, aktivitas jurnalisme warga yang dilakukan Yuli dianggap berbahaya oleh otoritas Hong Kong. Ia menambahkan bahwa yang dialami Yuli menjadi bukti semakin buruknya kebebasan berekspresi di era demokrasi. Padahal, informasi-informasi yang disampaikan Yuli, bermanfaat bagi banyak orang, terutama pekerja migran di Hong Kong, yang ingin mengetahui dan mendapatkan informasi terkait apa yang sebenarnya terjadi di sana.

Miftah menyampaikan bahwa Yuli menyajikan informasi dari narasumber yang ada di lokasi, ketimbang hanya informasi dan peringatan normatif yang diberikan perwakilan Indonesia dalam hal ini KJRI Hong Kong.

KJRI: Semua kewenangan otoritas

Menanggapi hal ini, Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Hong Kong menegaskan bahwa yang dilakukan oleh otoritas Hong Kong terhadap Yuli adalah bentuk tindakan atas pelanggaran keimigrasian yaitu tinggal melebihi waktu yang diijinkan (overstay).

Menurut Konsul Protokol dan Konsuler, KJRI Hong Kong, Erwin Akbar, KJRI tidak dapat berspekulasi mengenai kaitan proses hukum Yuli dengan tulisan-tulisannya tentang demonstrasi di Hong Kong.

“Sesuai keputusan pengadilan, Yuli dinyatakan bersalah telah melanggar aturan keimigrasian Hong Kong dan dijatuhi sanksi hukum atas pelanggaran tersebut,” jelas Erwin lewat pernyataan tertulisnya kepada DW Indonesia.

Ia juga menambahkan bahwa apa yang dilakukan Yuli selama berada di Hong Kong, terkait kegiatan jurnalistiknya tidak bisa didefinisikan dengan jelas kegiatan seperti apa.

“Kita tidak bisa mendefinisikan dengan jelas kegiatan jurnalistik mana yang sifatnya ‘pekerjaan atau profesi’, atau volunteer atau sekedar hobi, itu semua kewenangan otoritas Hong Kong,” pungkasnya.

Yang jelas menurut KJRI Hong Kong, sanksi dan deportasi yang dikenakan kepada Yuli berdasarkan putusan pengadilan adalah pelanggaran pidana aturan keimigrasian yaitu overstay.

“Sesuai aturan setempat dan kontrak kerja, seseorang yang bekerja di Hong Kong dengan visa kerja tertentu (misalnya Domestic Helper) hanya boleh melakukan pekerjaan yang tertulis di kontrak kerjanya dan tidak diperbolehkan bekerja yang lain atau bekerja pada majikan yang berbeda,” jelasnya.

Ada tekanan politik

Sementara International Domestic Workers Federation (IDWF) yang memberikan pendampingan kepada Yuli selama menghadapi kasus ini, mengecam keras otoritas imigras Hong Kong.

Koordinator regional Asia IDWF, Fish Ip, menyampaikan bahwa kebijakan pemerintah Hong Kong harus dievaluasi kembali.

“Ini bukan hanya salah, tapi absurd. Karena Yuli telah bekerja selama 10 tahun di Hong Kong. Dia adalah orang yang baik, mempunyai kemampuan yang tinggi dalam pekerjaan. Orang-orang yang ia layani di Hong Kong sangat percaya padanya,” ujar Fish kepada DW Indonesia.

IDWF bahkan melihat ada upaya tekanan politik dalam kasus Yuli.

“Kasus seperti ini baru pertama kali terjadi, selama 20 tahun saya bekerja mendampingi pekerja migran. Pemerintah Hong Kong memberikan tekanan politik terhadap pekerja migran,” ujarnya.

Fish meyakini apa yang dialami Yuli sangat berkaitan dengan tulisan-tulisannya tentang demonstrasi Hong Kong. Padahal, informasi semacam itu sangat biasa dilakukan oleh pekerja migran yang ada di sana. Ketika dimintai keterangan, bahkan pihak imigrasi Hong Kong tidak dapat memberikan pernyataan yang masuk akal mengapa mereka mendeportasi Yuli.

Fish menambahkan bahwa kegiatan jurnalistik Yuli selama di Hong Kong juga seharusnya tidak menyalahi aturan visa kerja.

“Jika ini kegiatan komersil (dibayar), maka ini ilegal. Tapi yang dilakukan oleh Yuli bersifat sukarela. Dia mem-posting-nya di halaman Facebook. Ada banyak pekerja migran yang juga melakukan kegiatan semacam ini,” tegasnya.

Yuli kini berada di Surabaya dan masih dalam masa pemulihan karena mengaku trauma dengan perlakuan otoritas Hong Kong selama ia berada di pusat imigrasi Hong Kong. Yuli menyampaikan bahwa ia diperbolehkan kembali ke Hong Kong, namun dengan visa kerja baru. Meski begitu Yuli merasa belum siap dan membutuhkan pemulihan kesehatan dan traumanya terlebih dahulu. (pkp/vlz)