Pengadilan Pakistan menjatuhkan hukuman mati kepada mantan presiden Pervez Musharraf. Pensiunan jenderal berusia 76 tahun itu sekarang tinggal di pengasingan di Dubai.
Iklan
Pengadilan Pakistan hari Selasa (17/12) menjatuhkan hukuman mati in absentia pada mantan pemimpin PakistanPervez Musharraf, mengakhiri persidangan selama bertahun-tahun. Panel yang terdiri dari tiga hakim itu mendakwa pensiunan jenderal yang berusia 76 tahun itu dengan delik makar dan pengkhianatan kepada negara, karena membekukan konstitusi dan memberlakukan keadaan darurat pada tahun 2007.
Musharraf, yang sekarang tinggal di pengasingan di Dubai, mengambil alih kekuasaan dalam kudeta tak berdarah pada tahun 1999. Dia adalah sekutu penting AS dalam "perang melawan teror". Dia sendiri pernah mengalami setidaknya tiga percobaan pembunuhan oleh jaringan teror Al-Qaida selama sembilan tahun menjabat.
Kepemimpinan Musharraf mulai goncang ketika ia mencoba membersihkan lembaga peradilan negara untuk menghindari gugatan hukum terhadap pemerintahannya pada Maret 2007. Langkah itu memicu protes besar-besaran selama berbulan-bulan. Musharraf lalu membubarkan parlemen dan memberlakukan keadaan darurat.
Kembali untuk ikut pemilu
Pervez Musharraf juga menghadapi tuduhan serius lainnya, termasuk kasus pembunuhan mantan Perdana Menteri Benazir Bhutto, yang tewas dalam serangan bunuh diri tahun 2007. Dia mengundurkan diri pada 2008 untuk menghindari pemakzulan, lalu pergi ke pengasingan di luar negeri untuk menghindari sanksi hukum.
Tetapi bekas orang kuat Pakistan itu kembali tahun 2013 untuk mengambil bagian dalam pemilihan parlemen, tetapi segera ditangkap. Ketika itu dia mengatakan langkahnya murni "bermotivasi politik", dan bahwa dia dijatuhi hukuman karena jasanya kepada negara.
Pemerintah Pakistan saat itu memberlakukan larangan perjalanan kepadanya, tetapi langkah itu dicabut tahun 2016, diduga untuk memungkinkan dia mencari "perawatan medis" di luar negeri. Dia kemudian pergi ke Dubai.
Tahun 2017, sebuah pengadilan di Pakistan menyatakan Musharraf sebagai buron dalam kasus pembunuhan Benazir Bhutto. Musharraf dituduh terlibat dalam konspirasi membunuh Perdana Menteri perempuan pertama Pakistan itu. Dia menolak semua tuduhan itu.
"Belum pernah terjadi"
Putusan hukuman mati terhadap Pervez Musharraf mengejutkan banyak orang di dalam dan luar negeri. Sebab biasanya lembaga peradilan menghindari vonis hukuman mati terhadap orang yang dianggap penting atau bekas anggota senior di militer. "Ini belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah peradilan Pakistan," kata Jillani, seorang pengacara.
Tetapi tidak semua orang di Pakistan setuju dengan putusan pengadilan. "Tidak ada manfaat dalam keputusan seperti itu, yang memecah belah bangsa dan institusi kami," kata Fawad Chaudhary, menteri ilmu pengetahuan dan teknologi Pakistan.
"Pengadilan mengumumkan putusannya tanpa mendengarkan argumen Musharraf. Ada celah dalam keseluruhan proses," kata Shahzad Chaudhary, mantan pejabat tinggi angkatan udara Pakistan. Pervez Musharraf sendiri belakangan diberitakan menderita sakit di Dubai.
hp/vlz (rtr, afp, dpa)
Jokowi dan Ilusi Hukuman Mati
Presiden Jokowi menggunakan hukuman mati sebagai jurus andalan dalam perang melawan narkoba. Padahal berbagai studi ilmiah membuktikan hukuman mati tidak mampu menurunkan angka kejahatan. Oleh Rizki Nugraha
Foto: Reuters/Romeo Ranoco
Keyakinan Jokowi
Gigih cara Presiden Joko Widodo membela hukuman mati. Indonesia berada dalam darurat narkoba, dalihnya, meski angka kematian akibat narkoba jauh lebih rendah ketimbang rokok atau akibat kecelakaan lalu lintas. Tapi realitanya hukuman mati adalah hukum positif di Indonesia dan dia yakin, membunuh pelaku bisa menciptakan efek jera buat yang lain. Benarkah?
Foto: Reuters/Olivia Harris
Pepesan Kosong
Studi ilmiah di berbagai negara menyebutkan sebaliknya. Hukuman mati tidak serta merta mampu mengurangi kriminalitas. Sebuah penelitian di Amerika Serikat oleh American Civil Liberties Union bahkan menemukan negara bagian yang menerapkan hukuman mati justru mengalami peningkatan tindak kriminal. Kepolisian AS juga menganggap eksekusi mati sebagai cara paling tidak efektif memerangi kriminalitas
Foto: picture-alliance/AP Photo/K. Sato
Jagal Paling Produktif
Hukuman mati di Indonesia adalah peninggalan era kolonial Belanda. Rajin diterapkan oleh Suharto buat melenyapkan musuh politiknya, hukuman mati kemudian lebih banyak dijatuhkan dalam kasus pembunuhan. Pada era Jokowi pemerintah aktif menggunakan hukuman mati terhadap pengedar narkoba, jumlahnya lebih dari 60 eksekusi, baik yang sudah dilaksanakan atau masih direncanakan.
Cacat Keadilan
Sejak menjabat presiden 2014 silam, Jokowi telah memerintahkan eksekusi mati terhadap lebih dari 60 terpidana. Celakanya dalam kasus terpidana mati Pakistan, Zulifkar Ali, proses pengadilan diyakini berlangsung tidak adil. Ali diklaim mengalami penyiksaan atau tidak didampingi penerjemah selama proses persidangan, tulis Jakarta Post.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Nagi
Bantuan dari Atas
Terpidana mati lain, Freddy Budiman, bahkan mengklaim mampu mengedarkan narkoba dalam skala besar dari dalam penjara berkat bantuan pejabat di kepolisian dan Badan Narkotika Nasional. Sejauh ini tidak satupun pejabat tinggi kepolisian yang pernah diselidiki terkait tudingan semacam itu.
Foto: Getty Images/AFP/B. Nur
Pendekatan Keamanan
Kendati terbukti tidak efektif, pemerintahan Jokowi menjadikan hukuman mati sebagai ujung tombak dalam perang melawan narkoba. Ironisnya pemerintah terkesan belum serius menyelamatkan pengguna dari ketergantungan. Saat ini BNN cuma memiliki empat balai rehabilitasi di seluruh Indonesia.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Irham
Solusi Buntu
Menurut BNN, tahun 2011 kasus penyalahgunaan narkoba mencapai hingga 2,8 juta orang. Angka tersebut naik sebesar 0,21 persen dibandingkan tahun 2008. Tapi kini tingkat penyalahgunaan narkoba diyakini meningkat menjadi 2,8 persen alias 5,1 juta orang. Padahal hukuman mati sudah rajin diterapkan terhadap pengedar narkoba sejak tahun 2004.
Foto: Getty Images/AFP/B. Ismoyo
Uang Terbuang?
Terlebih eksekusi mati bukan perkara murah. Untuk setiap terpidana, Polri menganggarkan hingga 247 juta, sementara taksiran biaya versi Kejaksaan Agung berkisar di angka 200 juta. Artinya untuk 60 terpidana mati yang telah atau masih akan dieksekusi, pemerintah harus mengeluarkan dana hingga 15 milyar Rupiah.
Foto: picture alliance/ZUMA Press/S. Images
Geming Istana
Beberapa pihak bahkan mengatakan satu-satunya yang berhasil dicapai Jokowi dengan mengeksekusi mati pengedar narkoba adalah memancing ketegangan diplomasi dengan negara lain. Namun begitu Jokowi bersikeras akan tetap melanjutkan gelombang eksekusi mati terhadap terpidana narkoba.