1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Pengusaha Digital Bangladesh Terima Ancaman Pembunuhan

14 Juli 2020

Ayman Sadiq, pendiri sebuah platform pendidikan online populer di Bangladesh menerima ancaman pembunuhan setelah mantan karyawannya memposting konten di Facebook yang dianggap pro-LGBT. 

Gambar ilustrasi bermedia sosial
Gambar ilustrasiFoto: Getty Images/AFP/J. Samad

Ayman Sadiq, pendiri platform pendidikan online "10 Minute School" yang populer di Bangladesh, menghadapi banyak ancaman pembunuhan setelah munculnya posting yang dianggap pro-LGBT di akun Facebook salah seorang mantan karyawannya. 

Sadiq, yang juga terpilih dalam daftar 30 pemimpin muda dari berbagai sektor di bawah usia 30 tahun di wilayah Asia: “30 Under 30 Asia" versi  majalah Forbes pada tahun 2018, juga menghadapi kritik terkait sebuah video yang membahas tentang menstruasi dan pentingnya kesepakatan bersama dalam berhubungan seksual di  situs web “10 Minute School”. Situs itu populer dalam menawarkan ribuan video tutorial belajar bagi pelajar muda. 

Video itu dihapus dari situs web tersebut menyusul protes dan ancaman yang dibuat oleh para fundamentalis Islam yang meyakini bahwa topik tersebut bertentangan dengan nilai-nilai agama mereka. Pengelola platform situs itu kemudian meminta maaf atas unggahan tersebut dan bersumpah bahwa mereka tidak menyinggung kepercayaan agama siapa pun. 

Dalam sebuah pernyataan video yang dipublikasikan baru-baru ini, Sadiq mengakui menerima ancaman pembunuhan, sehubungan dengan postingan di akun Facebook  mantan pegawainya, yang dberisi konten yang dituding pro-LGBT. Dalam sebuah pernyataan ia menulis, "10 Minute School tidak berpropaganda, punya agenda rahasia, atau berurusan dengan agama. Kami tidak berkhotbah, kami tidak ingin melakukan apa pun yang anti-Islam dan kami tidak memiliki rencana untuk melakukan hal itu pula di masa depan." 

Dia juga menampilkan pernyataan video yang membahas soal ancaman pembunuhan di YouTube. "Ibu saya menunjukkan kepada saya video-video di YouTube,  yang berisi seruan  agar putra satu-satunya ini dibunuh ... Saya tidak tahu bagaimana perasaan orang lain dalam situasi ini," katanya. "Orang tua saya dan saya terus-menerus saling mengecek satu sama lain, untuk memastikan semua anggota keluarga aman. " 

Ancaman serius

Hampir 90% populasi Bangladesh dari 161 juta penduduknya adalah muslim. Para pakar mengatakan negara konservatif itu tidak menawarkan ruang untuk membahas isu-isu seperti hak LGBT di ranah publik. Beberapa aktivis, yang mencoba menciptakan kesadaran tentang masalah ini dalam beberapa tahun terakhir,  dibunuh oleh kaum fundamentalis atau terpaksa harus melarikan diri dari negara itu karena adanya ancaman pembunuhan. 

Aktivis Bonya Ahmed, yang kehilangan suaminya Avijit Roy akibat sebuah serangan pembunuhan oleh kaum radikal dan dirinya sendiri terluka parah di Dhaka pada tahun 2015, meyakini bahwa semua ancaman yang dibuat oleh kaum fundamentalis harus ditanggapi dengan serius. Roy dibunuh setelah menerbitkan buku tentang aspek alami homoseksualitas. 

"Ancaman-ancaman seperti itu seharusnya ditanggapi dengan serius setelah apa yang terjadi pada kami dan banyak blogger, penerbit dan intelektual sekuler di Bangladesh pada tahun 2015. Tentu saja, ancaman terhadap Ayman Sadiq harus ditanggapi dengan serius," kata Ahmed kepada DW. 

Asif Mohiuddin, yang tinggal di pengasingan di Jerman setelah selamat dari serangan di Dhaka pada tahun 2013, menggemakan pemikiran itu. "Pada tahun 2016, dua aktivis LGBTQ Bangladesh terkemuka, Xulhaz Mannan dan Mahbub Rabbi Tonoy, dibunuh secara brutal di Dhaka. Setelah itu, media arus utama dan sebagian besar selebriti di negara itu menjadi sangat takut kepada kaum Islamis," ujar Mohiuddin kepada DW. 

"Saya melihat foto-foto Ayman Sadiq dan rekan-rekannya di media sosial, di mana orang menulis bahwa orang-orang itu harus segera dibunuh karena mereka melanggar aturan Islam," kata Mohiuddin. "Ancaman itu harus ditanggapi dengan serius," tandasnya. 

Apakah pemerintah mendukung kaum Islamis? 

Baik Ahmed maupun Mohiuddin mengatakan bahwa pemerintah tidak memberikan rasa aman bagi para blogger dan aktivis yang secara terbuka mendiskusikan topik-topik yang dapat memancing reaksi para fundamentalis Islam. 

"Pernahkah Anda mendengar tentang pemerintah Bangladesh yang menangkap seseorang karena memposting ancaman pembunuhan di media sosial? Sebaliknya, kami tidak terkejut jika pemerintah mendukung orang-orang radikal seperti itu," kata Ahmed. "Para kaum fundamentalis Islam telah menjadi jauh lebih kuat di Bangladesh, di bawah pengawasan pemerintah Liga Awami." 

Mohiuddin juga meyakini bahwa sikap pemerintah jelas lebih melindungi kaum fundamentalis, dan mereka tidak akan bertanggung jawab atas serangan kekerasan terhadap penulis atau aktivis sekuler. 

"Alih-alih memberikan rasa aman kepada kaum humanis, para pejabat kadang-kadang menyarankan agar para korban harus meminta maaf kepada kaum Islamis radikal. Ketika blogger Niloy Neel meminta dukungan dari polisi, mereka menyuruhnya berhenti menulis dan meninggalkan negara itu. Dia kemudian diserang hingga tewas oleh para fundamentalis agama," paparnya. 

Unit Kontra Terorisme dan Kejahatan Transnasional (CTTC) Kepolisian Bangladesh mengatakan bahwa pihak berwenang mengetahui ancaman yang dibuat terhadap Sadiq, dan sedang berupaya menemukan para pelakunya. 

"Kami telah menyelidiki untuk mengetahui apakah ada kelompok teroris di balik ancaman itu," ujar Saiful Islam, wakil komisaris di CTTC kepada DW. "Jika diminta, polisi akan memberinya perlindungan." 

 

 (ap/as)