1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Dikepung Ekstremisme, Pemilu Indonesia Lancar

19 April 2019

Indonesia berhasil menjalankan pemilihan umum dengan relatif lancar. Meski demikian, negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia ini masih menghadapi sejumlah tantangan termasuk melonjaknya keberadaan kaum ekstremis.

Wahlen in Indonesien
Foto: Reuters/E. Su

Pada Rabu (17/04) dunia menyaksikan bagaimana pemilih sebanyak 190 juta orang memberikan suara untuk memilih presiden baru, anggota parlemen dan legislator lokal, dalam pemilu yang berlangsung selama satu hari dengan rekor 245.000 kandidat.

Hasil hitung cepat awal tampak menunjukkan indikasi bahwa Presiden Joko Widodo akan kembali berkuasa. Namun demikian ia memilih untuk menunda perayaan kemenangan sampai adanya hasil resmi dari Komite Pemilihan Umum (KPU).

Pesaingnya, mantan jenderal Prabowo Subianto yang memiliki ikatan kuat dengan penguasa Orde Baru Soeharto pun berkeras dia lah yang memenangkan pemilu.

Bukan kali ini saja Prabowo mengklaim kemenangannya terhadap Jokowi, melainkan juga pada pemilu 2014 lalu.

Terlepas dari berbagai klaim tentang kemenangan oleh masing-masing calon presiden dan wakil presiden, Indonesia boleh berbangga dengan prestasi demokrasinya.

Keadaan ini sangat kontras bila dibandingkan dengan Filipina dan Kamboja, Vietnam dan Laos.

"Di suatu kawasan yang tidak condong ke demokrasi, di mana otoritarianisme meningkat, demokrasi Indonesia benar-benar memiliki bobot - bahkan jika itu berubah lebih konservatif," ujar Christine Cabasset dari Institut Penelitian Kontemporer Asia Tenggara yang berpusat di Bangkok.

Dilihat dari jumlah partisipasi pemilih dalam pemilu kali ini, sebuah lembaga survei terkemuka mencatat bahwa sebanyak 82 persen warga yang memiliki hak suara aktif mencoblos. Ini adalah jumlah paritispasi tertinggi sejak pemilu legislatif tahun 2004, media lokal melaporkan.

"Orang-orang memilih dan membuat perbedaan. Orang Indonesia telah melakukan hak pilih mereka, terutama bagi pemilih yang lebih muda," kata Bridget Welsh, seorang pakar Asia Tenggara di Universitas John Cabot di Roma.

"Ini pertanda baik untuk tuntutan yang lebih besar bagi tata kelola pemerintahan yang lebih baik," tambahnya.

Ekstremisme meningkat

Meski demikian, Welsh sangat kritis terhadap rekam jejak Jokowi, dan ragu apakah pemimpin berusia 57 tahun itu akan menggunakan modal politiknya untuk melindungi dua dasawarsa kemajuan demokrasi di negeri ini.

"Prediksi saya selama lima tahun ke depan adalah lambat laun kita akan terus melihat penurunan kualitas demokrasi," kata Marcus Mietzner, seorang profesor di Universitas Nasional Australia. "(Tapi) bukan juga dorongan penuh ke (arah) otoritarianisme," tambahnya.

Jokowi sering dituduh kian otoriter menyusul penangkapan aktivis oposisi dengan pasal pencemaran nama baik di bawah Undang Undang ITE yang kontroversial.

Banyak pula yang menyuarakan keprihatinan tentang pengaruh baru militer pada pemerintahannya yang mengincar lebih banyak posisi sipil di negara yang merupakan tempat tinggal ratusan kelompok etnis dan bahasa ini.

Reputasi Indonesia untuk toleransi beragama juga diuji oleh adanya kelompok Islam garis keras yang semakin vokal. Pada 2017 kelompok ini bahkan menuntut Gubernur Jakarta saat itu, Basuki Tjahaja Purnama, dipenjara karena dianggap telah menistakan agama.

Ekstremisme ini juga memuncak dengan adanya bom bunuh diri di beberapa gereja di kota terbesar kedua di Surabaya.

"Kedua kandidat mengeksploitasi Islam sebagai isu kampanye," kata Made Supriatma, seorang peneliti tamu di lembaga think tank yang berbasis di Singapura, Yusof Ishak Institute.
      
"Perang agama ini pasti akan berdampak pada perdebatan politik di Indonesia di tahun-tahun mendatang,"

Intolerasi dan proses berdemokrasi

Keputusan Jokowi memilih ulama konservatif Ma'ruf Amin sebagai calon wakilnya, yang sebagian dianggap untuk menetralisir serangan terhadap relijiusitasnya sendiri, telah menimbulkan kekhawatiran tentang nasib kaum kaum minoritas di bawah pasangan ini selama lima tahun ke depan.

Kaum gay dan transgender menjadi sasaran pelecehan dan penangkapan, sementara seorang wanita yang beragama Kristen dipenjara dengan dakwaan penistaan setelah mengeluhkan volume pengeras di suara masjid.

"Reformasi sektor militer adalah suatu keharusan, demikian juga perlindungan hak minoritas dan usaha mengatasi intoleransi dan ekstremis," kata Yohanes Sulaiman, seorang analis politik di Universitas Jenderal Achmad Yani.

Terlihat pula jejak kediktatoran lama Indonesia yang runtuh dalam sistem saat ini.
"Sulit untuk disingkirkan," kata Supriatma. "Semua partai politik didominasi oleh pemain lama, baik secara nasional maupun regional."

.Namun Dewi Fortuna Anwar, profesor peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan, demokrasi di Indonesia masih dalam proses. 

"Fakta bahwa orang tidak turun ke jalan dan membawa senjata jika ingin memperdebatkan hasil pemilu, tetapi melalui proses pengadilan - itu adalah bagian dari demokrasi Indonesia."

ae/hp (AFP)