Dilema Indonesia Menghadapi Arus Imigran
10 September 2012Human Rights Watch menyorot tragedi 29 Agustus 2012 lalu, saat sebuah kapal berisi para imigran, yang berisi antara lain anak-anak, tenggelam saat mencoba melalui perairan Indonesia menuju Australia.
“Terlalu banyak anak-anak yang terpaksa mengambil perjalanan penuh resiko karena mereka tidak punya pilihan lebih baik” kata Zama Coursen-Neff, Direktur Hak-Hak Anak HRW sambil menambahkan bahwa anak-anak itu tak bisa pulang karena menjadi korban kriminalisasi atau perang.
Perlakuan Buruk atas Pengungsi Anak
Riset Human Rights Watch di Indonesia mengungkapkan bahwa ratusan anak-anak imigran, terutama yang bepergian sendiri tanpa orang tua dan berasal dari Sri Lanka, Afghanistan, Burma, atau negara-negara lain, ditahan dan mendapat perlakuan buruk di Indonesia.
Anak-anak ini nekat menyeberangi samudera luas yang penuh bahaya untuk mengadu nasib seperti yang dialami Arief B., bocah imigran etnis Hazara dari Afghanistan, berusia 15 tahun yang melintasi perairan Indonesia. Perahu yang dtumpangi Arief menerjang gelombang maut dan tenggelam.Arief menyaksikan sendiri banyak teman seperjalannya yang hilang tenggelam di laut.
“Sekarang, saya takut air,” kata Arief pada Human Rights Watch. “Selama tiga hari tiga malam, tanpa air dan makanan. Kami terus-menerus memanjat ke tempat lebih tinggi saat pelan-pelan perahu tenggelam,” tutur Arief.
Sesudah diselamatkan, otoritas Indonesia membawa Arief ke pusat tahanan imigrasi yang seperti penjara, di mana dia dipaksa meringkuk bersama tahanan dewasa selama tiga bulan tanpa akses untuk informasi maupun bantuan hukum.
Menurut badan pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa UNHCR sedikitnya ada 150 anak-anak imigran di Indonesia. Diperkirakan jumlah sesungguhnya jauh lebih banyak dari yang resmi tercatat.
Harus Dilihat Sebagai Korban
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Februari lalu juga telah mengkritik pemerintah Indonesia yang cenderung mengkriminalkan para pengungsi dengan menyamakan mereka sebagai imigran gelap.
Padahal sebagian besar merupakan korban kekerasan dan pelanggaran HAM di negaranya, yang sepatutnya mendapat jaminan perlindungan hukum internasional.
Ini memang problem yang dilematis “Indonesia tidak siap menampung, sementara Australia menolak para imigran ini” kata Kepala Kajian Australia di Universitas Indonesia Renny Winata kepada Deutsche Welle.
Sindikat Internasional
Sebagian besar pengungsi memang berasal dari negara konflik seperti Pakistan, Afghanistan, atau Iran. Laporan majalah TEMPO menyebut jumlah mereka ribuan. Ada yang masuk secara resmi dengan pesawat, tapi ada pula yang menyelinap melalui perairan Indonesia. Mereka ingin mengadu nasib, mencari kehidupan yang lebih baik menuju Australia.
Laporan majalah TEMPO (edisi 11 Juni 2012-red) mengungkapkan adanya jaringan sindikat internasional di balik arus imigran yang melalui Indonesia. Jaringan kejahatan ini tersebar dari kota kecil Quetta, di dekat perbatasan Pakistan-Afganistan, sampai Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur Indonesia.
„Mereka ditipu oleh agen yang menawarkan ke Australia. Mereka adalah korban kejahatan lintas negara“ kata Renny Winata kepada Deutsche Welle.
Dengan tarif ribuan dollar Amerika, mereka mengatur pelarian para pengungsi ilegal. „Para penyelundup ini membangun bisnis ilegal dengan memanfaatkan pengungsi dari daerah konflik," kata Johnny Hutauruk, Wakil Kepala Desk Penanganan Penyelundupan Manusia, Pengungsi, dan Pencari Suaka di Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan pemerintah Indonesia, sebagaimana dikutip oleh TEMPO.
Bumper Australia
“Indonesia selama ini menjadi bumper, karena harus menghadapi arus imigran yang ingin menuju Australia” kata Renny Winata.
Tahun 2011, ratusan imigran tewas di lepas pantai pulau Jawa dalam perjalanan menuju Australia.
Sementara ratusan kapal lainnya meminta bantuan darurat kepada pelabuhan terdekat Indonesia. Masalahnya, pemerintah Indonesia tidak memiliki cukup sumberdaya untuk merespon situasi darurat. Sementara untuk meminta bantuan Australia perlu prosedur birokrasi.
“PBB harus turun tangan, apalagi kalau melihat kecenderungannya, jumlah imigran ini akan semakin meningkat tajam di masa datang,” kata Renny Winata.
Sepanjang tahun 2012 saja, sekitar tujuh ribu orang dihentikan oleh patroli laut Australia saat akan memasuki perairan negara tersebut.
Terdampar di Indonesia
Imigran yang terdampar di Indonesia tiga tahun terakhir meningkat tajam. Sampai Desember 2011, jumlahnya hampir empat ribu orang. Indonesia yang masih harus berjuang dengan problem kemiskinan, kini harus menanggung arus imigran yang terdampar.
“Indonesia tidak punya uang untuk menampung dan mengurusi mereka,” kata Renny Winata sambil menambahkan ”Seharusnya badan PBB untuk urusan pengungsi yakni UNHCR lebih aktif membantu.”
Indonesia, Australia dan PBB kata kata Renny Winata, harus duduk bersama mengatasi masalah ini. Harus ada semacam Processing Centre atau semacam tempat singgah sementara sebelum ada keputusan, para imigran ini akan di tampung oleh Australia, dipulangkan ke negara asal atau ke tempat lain.
Andy Budiman
Editor: Hendra Pasuhuk