1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiIndonesia

Dilema Pengutang Justru Lebih Galak dari Pemberi Utang

24 Februari 2023

Di beberapa kasus, pengutang justru lebih galak dari pemberi utang. Tidak ditagih, kita butuh uang. Ditagih, dia lebih galak. Simak kiat agar terhindar dari situasi canggung ini.

Ilustrasi: penagih utang mengintai
Ilustrasi: penagih utang mengintaiFoto: M. Gann/blickwinkel/McPHOTO/picture alliance

"Bayarin dulu ya, nanti saya transfer." Kalimat ini buat sebagian orang mungkin terdengar terlalu sering. Sayangnya, setelah dibayari, datangnya uang transferan yang dinanti tetap berstatus: nanti.

Hal ini juga kerap dialami Agustina Setya saat nongkrong bersama teman-temanya. Dia tak kuasa menolak dan 'kalah' cepat mengucapkan 'kata sakti' split bill akhirnya mengeluarkan uangnya untuk menalangi tagihan.

"Saya masih ingat betul dia ngutang apa saja, kesel sih," kata Agustina kepada DW Indonesia. Sampai saat ini dia hanya memendam dalam hati dan tidak berani menagih utang lantaran merasa 'tidak enak.'

Ini bukan kali pertama dia punya masalah piutang. Beberapa tahun lalu, perempuan yang dipanggil Tya ini juga pernah bertengkar dengan seseorang lantaran utang.

"Teman baru kenal dia cerita kehidupan kosnya, keluarganya berantakan, lalu langsung minjam uang Rp300.000. Ya sudah saya pinjamkan. Sampai bertahun-tahun tidak dikembalikan. Kesalnya, ternyata duit pinjaman itu bukan buat kebutuhan sehari-hari tapi buat nonton konser." Selang bertahun tanpa melihat uangnya kembali, Tya akhirnya terpaksa mengiklaskan uang itu.

Jika Tya merasa tak enakan menagih, lain cerita dengan Daniel Ngantung. Pria ini justru blak-blakan. "Ya bagaimana, saya juga butuh uangnya. Itu juga uang saya kok yang saya minta," kata Daniel kepada DW Indonesia.

Daniel sendiri mengungkapkan beberapa kali sempat jadi sasaran empuk para peminjam uang. Dia mengatakan, baginya "sinyal mau dipinjami uang" muncul saat seorang kawan lama yang tidak pernah ngobrol tiba-tiba mengajaknya menyapa "Apa kabar?"

"Saat meminjami uang saya tanya kapan mau kembalikan, kalau sudah lewat tanggal janji ya saya tagih," katanya.

Lebih galak dia: si pengutang

Di lingkaran sosial, seperti pertemanan, keluarga, atau tetangga, utang-mengutangi memang sering tidak bisa dihindari. Namun, janji bayar utang terkadang cuma tinggal mulut manis belaka. Sebagian besar cerita penagih utang justru cekcok dengan pengutang lantaran pengutang jauh lebih 'ngegas' dan 'ngotot' saat ditagih. Tak jarang justru pemberi utang merasa 'tidak enak' atau malah ketakutan menagih kembali uang mereka.

"Biasanya yang begitu karena stres. Kita dengar berita debt collector galak-galak jadi kadang mereka juga stres. Biasanya utangnya tidak cuma satu. Apalagi kalau pinjol biasanya utangnya sudah banyak, gali lubang tutup lubang, jadi udah stres dulu," kata perencana keuangan Tejasari Asad kepada DW Indonesia.

Seiring perkembangan teknologi, meminjam uang alias berutang jadi makin mudah. Meminjam uang tidak hanya dari kenalan dan kerabat, tapi bisa juga dari pinjaman oline atau pinjol, dan bisa juga lewat fintech atau financial technology.

Kemudahan aplikasi dan kecepatan persetujuan peminjaman online ini jadi alasan mengapa utang online menjadi sangat populer di kalangan generasi milenial dan generasi Z. Namun kemudahan ini bisa dengan mudah berubah menjadi jerat utang apabila seseorang tidak bisa mengatur keuangan. Saat utang sudah di mana-mana, tidak jarang seseorang menjadi stres dan mudah meluapkan emosinya, termasuk kepada mereka yang ingin meminta uangnya kembali.

Jangan pernah "pinjamkan data" untuk pinjol

Berdasarkan data Statistik Fintech Lending Periode Desember 2022 dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), total pinjaman yang belum terbayarkan perseorangan adalah sebesar Rp44,75 miliar. Berdasarkan data ini, perempuan punya utang lebih besar dibanding laki-laki yaitu Rp24,89 miliar. Sedangkan laki-laki di angka Rp19,86 miliar.

Jika dilihat berdasarkan usia tanpa melihat gender, jumlah pengutang terbanyak di Indonesia per Desember 2022 berada dalam usia produktif yaitu antara 19-34 tahun, diikuti kelompok usia 35-54 tahun. Dari jumlah ini, tidak semuanya memiliki predikat pinjaman lancar, atau dibayar dalam waktu sampai 30 hari.

"Sekarang ini banyak juga fintech yang bermasalah. Bukan karena bisnisnya tidak bagus, tapi karena banyak yang tidak bayar. Fintech ini kan menghubungkan antara orang yang meminjamkan dengan yang punya uang. Nah bermasalahnya itu karena banyak yang tidak bayar. Artinya ini sudah banyak sekali yang tidak bayar (utang) di Indonesia," katanya.

Mengingat belakangan banyak juga yang berdalih "hanya meminjam data" dari orang lain untuk dipakai meminjam uang, Tejasari justru dengan tegas menyarankan untuk menolaknya.

"Jangan juga pinjamkan data kamu untuk jadi jaminan pinjol. Jangan sekali-kali deh. Meminjamkan data pribadi buat pinjol lebih berbahaya daripada pinjamkan uang," tegasnya.

Tagih atau Ikhlaskan?

Tidak semua orang berani segamblang Daniel untuk menagih utang, ada rasa tidak enakan seperti yang dialami Tya. Namun tak dimungkiri permasalahan utang dan piutang ini memang bisa membahayakan arus kas seseorang.

"Saya sering nanya ke klien saya - yang memang ada orang ngutangin - ini masih mau dicatat dalam aset tidak, karena masuknya ke piutang. Tergantung orangnya masih mau mikirin piutang ini atau tidak. Kalau emang tidak memungkinkan ya diikhlasin. Kalau ikhlas ya ikhlasin, kalau tidak ya tagih saja terus," kata perencana keuangan Tejasari Asad.

Tedjasari mengungkapkan bahwa kebanyakan orang Indonesia, termasuk beberapa kliennya memang punya sifat 'gak enakan,' atau takut yang ditagih bakal nge-gas. Jika tabiat ini terus berlanjut, keuangan pribadi bakal terpengaruh. Ia pun menyarankan orang yang punya sifat ini untuk tegas menolak meminjamkan uang.

"Jangan takut dibilang pelit, jangan nyusahin diri sendiri."

Utang jangan sampai ganggu arus kas

Pendiri Tatadana Consulting ini juga mengungkapkan bahwa tak jarang menolak meminjamkan uang juga jadi hal yang sulit. Hanya saja dia menyebut, ada trik yang bisa dilakukan agar piutang tidak mengganggu keuangan pribadi.

"Pikirkan seberapa mengganggu piutang ini, kalau memberatkan kita jangan kasih pinjaman," ujar Tejasari.

Ia mencontohkan, misal ada yang berniat pinjam uang Rp5 juta, padahal itu adalah jumlah total uang yang dimiliki. Dalam kondisi ini ia menyarankan untuk hanya memberi semampunya agar tidak mengganggu kebutuhan diri sendiri.

"Misalnya dari Rp5 juta ini, dikasih pinjam Rp500 ribu saja. Atau kalau yang pinjam teman jauh ya kasih pinjam Rp100 ribu." 

Saat ingin meninjamkan uang, dia juga berpesan untuk tidak mengambilnya dari pos pengeluaran rutin. Sebaliknya dia menyarankan untuk ambil dari pos tabungan atau dana darurat. Itu pun dengan catatan, semampunya.

Tedjasari mengungkapkan agar terbebas dari utang dan piutang, setiap orang harus mencatat anggaran bulanan mereka. Misalnya, usai terima gaji, ada baiknya untuk segera membuat anggaran per bulan dengan perincian pengeluaran rutin, tabungan, dan anggaran bersenang-senang.

Proporsi sederhana yang disarankan adalah 10% gaji untuk tabungan, cicilan 30%, untuk biaya rutin 40%, dan 20% biaya pribadi. Kalau tidak ada cicilan, tabungan harus ditambah.

"Nah yang jadi masalah, kebanyakan orang tidak mencatat budget bulanan mereka, jadi terkadang tidak sadar punya utang dan piutang banyak. Ingat punya utang sudah berlipat-lipat karena kebanyakan shopping di market place pakai paylater, akhirnya pakai pinjol buat gali lubang tutup lubang, stres banyak utang lalu ditagih malah ngamuk-ngamuk." (ae)

C. Andhika S. Detail, humanis, dan tidak ambigu menjadi pedoman saya dalam membuat artikel yang berkualitas.
Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait