1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Ekonomi

Menyelamatkan Petani atau Kesehatan Penduduk?

19 Juli 2015

WHO mengungkap, tanpa kebijakan yang lebih efektif jumlah perokok di Indonesia tahun 2025 akan bertambah menjadi 90 juta orang. Pemerintah kini harus memilih antara nasib petani dan buruh rokok atau kesehatan masyarakat

Symbolbild brennende Zigarette
Foto: Fotolia/nikkytok

Indonesia adalah surga perokok dan menurut perkiraan WHO, situasinya akan memburuk dalam 10 tahun kedepan. Dalam laporan tahunannya, badan kesehatan PBB itu mencatat saat ini 36% penduduk Indonesia merokok, atau lebih dari 60 juta orang.

Jika pemerintah di Jakarta terus melanjutkan kebijakan anti rokok yang dinilai kurang tegas seperti yang diterapkan saat ini, WHO memperkirakan jumlah perokok di Indonesia tahun 2025 akan meningkat menjadi 90 juta orang, atau 45% dari jumlah populasi.

Laporan WHO selaras dengan studi Universitas Indonesia yang dipublikasian Juni silam. Dalam penelitian tersebut, UI menemukan setiap hari sekitar 500 orang meninggal dunia akibat rokok. Data dari tahun 2010 menunjukkan jumlah nyawa yang melayang akibat asap tembakau di Indonesia mencapai 190.260 orang.

Studi yang dikumpulkan Wall Street Journal dan World Lung Foundation dan American Cancer Society mencatat, setiap tahun rata-rata penduduk Indonesia menghisap 1085 batang rokok. Artinya tingkat konsumsi rokok mencapai hampir dua bungkus per minggu.

Tarik Ulur Kepentingan

Saat ini Indonesia tengah berkutat menggodok Rancangan Undang undang Tembakau yang dicibir sebagai produk titipan produsen rokok. Kelompok lobi tembakau juga mengakui, RUU tersebut merupakan gagasan petani tembakau.

Dalam hal ini pemerintah Indonesia tidak punya banyak ruang bermain. Betapapun juga, industri tembakau menyumbang sekitar 150 triliun Rupiah per tahun dalam bentuk pajak dan cukai. Ditambah lagi kenyataan bahwa enam juta lapangan kerja bergantung dari sektor yang sarat kontroversi ini.
RUU Tembakau dikritik lantaran menganulir beberapa pasal yang mengatur pembatasan konsumsi rokok. Hal ini juga masuk dalam laporan WHO yang menilai pemerintah Indonesia masih setengah hati dalam kiprah memerangi kebiasaan merokok.

Solusi Sederhana

Sebab itu WHO menawarkan solusi yang terkesan sederhana dan efektif, yakni menaikkan pajak rokok. Tapi sayangnya baru sedikit negara yang mengikuti himbauan badan PBB itu.

Dalam laporan tahunannya WHO mengklaim, bahwa cukai tembakau yang mahal mampu meredam konsumsi rokok. Selain itu kas negara juga akan semakin gemuk dan pemerintah memiliki duit cadangan untuk menjalankan program anti rokok atau untuk membantu petani dan buruh yang kehilangan mata pencaharian di industri rokok.

Saat ini cuma 33 dari 197 negara yang telah menyesuaikan kebijakan pajak rokok seusai himbauan WHO. "Menaikkan pajak tembakau adalah metode yang paling efektif dan ekonomis untuk meredam konsumsi produk-produk yang membahayakan kesehatan," kata Direktur WHO, Margaret Chan.

Senjata Pemusnah Massal

Satu nyawa melayang setiap enam detik, tulis badan dunia itu dalam laporannya. Jumlah tersebut lebih tinggi ketimbang angka kematian yang diakibatkan oleh HIV/Aids, Malaria atau TBC sekaligus.

WHO menempatkan rokok ke dalam daftar utama pemicu penyakit mematikan seperti kanker, jantung dan paru-paru, serta Diabetes. Setiap tahun enam juta manusia meninggal dunia akibat tembakau. 80 diantaranya berasal dari tingkat ekonomi rendah dan menengah.

Jika tidak dibarengi dengan kebijakan yang efektif, angka kematian akibat rokok bisa meningkat menjadi delapan juta orang per tahun pada 2030. Saat ini ditaksir terdapat sekitar satu miliar manusia yang secara rutin mengepulkan asap tembakau.

rzn/as (dpa,who,wsj,antara)