1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Diluncurkan Buku Habibie Versi Jerman

23 Agustus 2009

517 Tage. Indonesien: Geburt einer Demokratie. Inilah judul versi Jerman buku karya bekas presiden BJ Habibie, yang diluncurkan di München, pekan ini.

Kerusuhan di TimtimFoto: AP

Versi Jerman buku Habibie ini terbit dengan beberapa perubahan dari naskah aslinya, disesuaikan antara lain kepentingan pembaca Jerman. Bekas kanselir Jerman Helmut Schmidt, secara khusus memberikan kata pengantar. Penerbitan buku dikerjakan The Habibie Center bersama dua lembaga Jerman, Hanns-Seidel-Stiftung dan Penerbit Herbert Utz Verlags.

Ketua Institut Kerjasama Internasional Hanns-Seidel-Stiftung, Christian Hegemer, menyebutkan lembaganya sangat bersemangat untuk terlibat. Karena menurutnya, sejak muncul pertama kali dalam aslinya, bahasa Indonesia, buku itu terbukti sangat penting bagi Indonesia sendiri.

Disebutkan Christian Hagemer, warga yang merasa bertanggung jawab pada baik buruk bangsanya, nasib negaranya, tentu perlu mengentahui hal ihwal, perkembangan, persoalan mengenai sejarah negerinya yang paling mutakhir. "Karenanya menurut kami, buku ini memberikan sumbangan yang besar dalam membuat kaum muda Indonesia mengetahui apa yang terjadi dalam tahun-tahun yang sangat penting itu," jelas Hagemer.

Salah satu yang banyak dibicarakan adalah paparan Habibie dalam buku itu mengenai kebijakannya untuk melakukan referendum di Timor Timur. Keputusan yang berbuah lepasnya kemerdekaan Timor Timur itu dikecam kaum nasionalis garis keras, namun dipuji banyak kalangan penggiat HAM dan dunia internasional.

Menjawab pertanyaan seorang hadirin, sembari mempersilakan membaca bukunya, Habibie menjelaskan bahwa pertama-tama memang Timor Timur tak pernah menjadi bagian dari proklamasi kemerdekaan Indonesia. Ia pun memapar berbagai kisah rinci tentang pengambilan keputusan yang penuh liku-liku dan awalnya juga ditentang banyak pembantunya.

Ini merupakan terjemahan ketiga buku karya putra Pare-Pare itu. Sebelumnya telah terbit versi bahasa Inggris dan versi bahasa Cina. Habibie mengaku, penerbitan versi Jerman ini didorong oleh banyaknya desakan. Mengingat ia pernah tinggal lama untuk belajar dan bekerja di Jerman, dan sekarang juga menghabiskan sebagian waktunya di Jerman.

Ketika selesai, tim penerjemah ternyata meminta mengganti judulnya menjadi 517 Hari. Indonesia: Lahirnya Sebuah Demokrasi. Sementara aslinya yang terbit tahun 2006 berjudul "Detik-Detik yang Menentukan." Dijelaskan BJ Habibie, buku itu ditulis berdasarkan catatan hariannya. "Bukan berdasarkan isapan jempol. Nah berdasarkan catatan itu, saya tulis bukunya," tandas Habibie.

Menurut pelopor industri-industri srategis Indonesia dan bekas eksekutif industri penerbangan Jeman itu, masih banyak informasi yang masih belum dikeluarkan dalam buku itu. Habibie mengungkapkan, banyak catatan yang masih disimpannya sendiri karena dirasanya masih sangat sensitif.

Terlepas dari itu, cukup banyak paparannya di buku itu yang dinilai membuka perspektif baru bagi berbagai peristiwa. Kendati tak sedikit yang juga membantah dan menyebutnya subyektif. Khususnya mengenai manuver sejumlah tokoh di hari-hari kejatuhan Soeharto.

Betapapun, Christian Hagemer dari Hanns-Seidel-Stiftung memuji prakarsa Habibie. "Ini seperti suatu buku hidup mengenai bagaimana seharusnya menulis sejarah," kata Hagemer. Dikatakannya, buku yang ditulis orang yang menyaksikan dan terlibat langsung dalam peristiwanya dari hari ke hari, berarti, jauh lebih otentik, jauh lebih mengesankan dari banyak buku teks sejarah kebanyakan. Lebih-lebih ini terkait perkembangan dan perubahan suatu demokrasi.

Dalam acara peluncuran itu, Christian Hagemer tampil sebagai salah satu pembicara, bersama Herbert Utz dari pihak penerbit, dan Heinrich Seeman, bekas duta besar Jerman di indonesia, yang terlibat secara intens dalam penerbitan versi Jerman buku ini. Lebih dari 200 orang memenuhi ruangan. Sebagian besar orang Jerman peminat Indonesia atau yang terkait Indonesia. Serta warga Indonesia yang datang dari berbagai kota di Eropa. Plus tiga duta besar Indonesia: dubes di Inggris, dubes di Belanda dan tentu saja dubes Indonesia di Jerman.

(gg/ek)