Siapa yang mewakili Pemuda Papua dalam Sumpah Pemuda 28 Okober 1928? Ini pertanyaan yang diajukan dosen teologi asal Papua: Phil Karel Erari di status Facebooknya. Anda bisa menjawabnya?
Iklan
Memperingati hari Sumpah Pemuda, dosen di Sekolah Tinggi teologi Jakarta (STTJ) Phil Karel Erari melempar pertanyaan menarik: apakah pemuda Papua tahun 1928 menjadi bagian gerakan satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa? Apakah Papua menjadi bagian dari gerakan kebangkitan Nasional di Indonesia? Lalu apa yang sudah dilakukan pemerintah pusat di Jakarta, agar warga Papua bisa merasa menjadi bagian dari Indonesia Raya? Benarkah negara Indonesia telah gagal "meng-Indonesiakan" orang Papua dan"memenangkan hati dan pikiran" mereka sebagai warga negara?
Karena tulisan yang bernada menggugat ini kami rasa penting, berikut kami kutip secara lengkap tulisan Phil Karel Erari di status Facebooknya.
Pertanyaan diatas saya tujukan kepada sdr.Toni Wanggai, sebagaimana dirilis oleh Media lokal Papua, Cendrawasih pos 27 Oktober 2015, bahwa sejumlah Pemuda Papua hadir mewakili Papua dalam pertemuan raya Pemuda Nusantara di Palembang, 28 Oktober 1928.
Dalam berbagai dokumen dari sejarah perjuangan Kemerdekaan Indonesia, Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, dicatat sebagai salah satu tonggak sejarah perjuangan, dimana Pemuda sangat memgambil peran menentukan. Kita patut mengangkat topi kepada pemuda pemuda dari Sumatera, Borneo, Celebes, Ambon, Manado, Jawa, juga Pemuda Islam, yang berani dan heroik tampil pada zamannya menetukan sikap politik terhadap penjajahan Belanda.
Mereka BERSUMPAH. dengan mengangkat 3 Simbol Persatuan. Satu Bangsa, Bangsa Indonesia,Satu Tanah Air, Tanah air Indonesia, dan satu bahasa Bahasa Indonesia. Mereka menamakan diri Jong Ambon,Jong Batak, Jong Jawa, Jong Sumatera, Jong Sulawesi, Jong Manado, Jong Islamische Bond, Jong Bali dan Jong Jong lainnya. Dalam semua dokumen, termasuk pelajaran kewarga negaraan atau Civics tempo dulu, ketika saya pertama kali diberi pelajaran Civics di PMS Manokwari sampai ke SMA Biak, tidak disebutkan bahwa ada sejumlah Pemuda yang diutus dari Papua ke Palembang dan mewakili Pemuda dari Papua. Tidak ada Jong Papua.
Data yang dikemukakan oleh Toni Wanggai yang menyebut beberapa nama, perlu dibuktikan dan diverifikasi kebenarannya. Karena pada tahun 1928 , Papua baru berada pada tahapan pendidikan peradaban yang ketika itu dimulai di Mansinam, oleh Pdt J van Hasselt, yang dilanjutkan oleh Pdt I.S Kijne pada tahun 1925 di Miei. Anak anak muda Papua, belum banyak yang bersekolah.Karenanya wawasan dan kesadaran berpolitk seperti Pemuda Batak, pemuda Ambon, Pemuda Jawa dan Pemuda Islam, belum ada di Papua.
Bilamana ada nama nama Papua disebut, mereka mungkin termasuk gelombang pejuang Merah Putih, asal Serui yang pada era 1945-an sampai 1959 melarikan diri lewat Sorong, dan Raja Ampat menuju Ambon, dan kemudian ke Jawa. Kita perlu menyebut peran penting dari Dr. Sam Ratulangi dan Dr. Gerungan yang berhasil "mengIndonesiakan" tokoh pejuang seperti Silas Papare. Juga sejumlah tokoh Gerakan Merah Putih yang berasal dari Serui, termasuk orang tuanya Dr.Felix Wanggai.
Pertanyaan dasar saya ialah: Mengapa baru pada tahun Kemerdekaan Indonesia yang ke 70 ini, dirilis dalam sebuah media lokal Cendrawasih Pos, 27 Oktober 2015, bahwa Pemuda Papua ikut dalam Sumpah Pemuda di tahun 1928?
Kita tidak boleh melakukan pembohongan dan memanipulasi sejarah. Pembohongan sejarah harus dipertanggung jawabkan secara moral dan etik.
Sebagai pertanyaan kedua, yang perlu dijawab oleh sdr. Toni dan kita semua ialah, apakah makna Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang melahirkan Nasionalisme Indonesia dihayati oleh Pemuda Papua hari ini?
Dalam buku Freddy Numberi dengan judul 'Quo Vadis Papua', terdapat dua gugatan dan satu fakta. Gugatan pertama: Negara gagal meng-Indonesiakan orang Papua. Gugatan kedua: Negara gagal memenangkan hati dan pikiran orang Papua. Karena itu terdapat fakta dan fenomena : Rakyat Papua tidak lagi percaya kepada Pemerintah Indonesia.
Dua Wajah Tentara - NKRI di Bawah Bayang Militer
TNI banyak berjasa menyatukan Indonesia. Tapi kiprah mereka di tiga wilayah justru membuktikan sebaliknya. Pendekatan keamanan yang dianut mabes di Cilangkap justru mendorong separatisme dan mengancam keutuhan NKRI
Foto: AFP/Getty Images/Choo Youn Kong
Ancaman Terhadap NKRI?
Presiden Joko Widodo menjadi kepala negara pertama yang memahami perlunya perubahan di tubuh TNI. Ia memerintahkan pergeseran paradigma di Papua, "bukan lagi pendekatan keamanan represif, tetapi diganti pendekatan pembangunan dengan pendekatan kesejahteraan." Diyakini, kiprah TNI menjaga kesatuan RI justru banyak melahirkan gerakan separatisme.
Foto: Reuters/Beawiharta
Api di Tanah Bara
Sejak Penentuan Pendapat Rakyat 1969 yang banyak memicu keraguan, Papua berada dalam dekapan militer Indonesia. Sejak itu pula Jakarta menerapkan pendekatan keamanan buat memastikan provinsi di ufuk timur itu tetap menjadi bagian NKRI. Tapi keterlibatan TNI bukan tanpa dosa. Puluhan hingga ratusan kasus pelanggaran HAM dicatat hingga kini.
Foto: T. Eranius/AFP/Getty Images
Rasionalisasi Pembunuhan
Tudingan terberat ke arah mabes TNI di Cilangkap adalah rasionalisasi pembunuhan warga sipil di Papua. Theys Hiyo Eluay yang ditemukan mati tahun 2001 silam adalah salah satu korban. Pelakunya, anggota Komando Pasukan Khusus, mendapat hukuman ringan berkat campur tangan bekas Kepala Staf TNI, Ryamizad Ryacudu yang kini jadi Menteri Pertahanan. "Pembunuh Theys adalah pahlawan," katanya saat itu
Foto: Getty Images/AFP/T. Eranius
Merawat Konflik, Menjaga Kepentingan
Berulangkali aksi TNI memprovokasi konflik dan kerusuhan. Desember 2014 silam aparat keamanan menembak mati empat orang ketika warga Paniai mengamuk lantaran salah satu rekannya dipukuli hingga mati oleh TNI. Provokasi berupa pembunuhan juga dilakukan di beberapa daerah lain di Papua. Faktanya nasionalisme Papua berkembang pesat akibat tindakan represif TNI, seperti juga di Aceh dan Timor Leste
Foto: picture-alliance/dpa
Seroja Dipetik Paksa
Diperkirakan hingga 200.000 orang meninggal dunia dan hilang selama 24 tahun pendudukan Indonesia di Timor Leste. Sejak operasi Seroja 1975, Timor Leste secara praktis berada di bawah kekuasaan TNI, meski ada upaya kuat Suharto buat membangun pemerintahan sipil.
Foto: picture-alliance/dpa
Petaka di Santa Cruz
Kegagalan pemerintahan sipil Indonesia di Timor Leste berakibat fatal. Pada 12 November 1991, aksi demonstrasi mahasiswa menuntut referendum dan kemerdekaan dijawab dengan aksi brutal oleh aparat keamanan. Sebanyak 271 orang tewas, 382 terluka, dan 250 lainnya menghilang.
Foto: picture-alliance/dpa
Akhir Kegelapan
Sejak pembantaian tersebut Indonesia mulai dihujani tekanan internasional buat membebaskan Timor Leste. Australia yang tadinya mendukung pendudukan, berbalik mendesak kemerdekaan bekas koloni Portugal itu. PBB pun mulai menggodok opsi misi perdamaian. Akhirnya menyusul arus balik reformasi 1998, penduduk Timor Leste menggelar referendum kemerdekaan tahun 1999 yang didukung lebih dari 70% pemilih.
Foto: picture-alliance/dpa/Choo
Serambi Berdarah
Pendekatan serupa dianut TNI menyikapi kebangkitan nasionalisme Aceh, meski dengan akhir yang berbeda. Perang yang dilancarkan oleh Gerakan Aceh Merdeka, dijawab dengan teror terhadap pendukung dan simpatisan organisasi pimpinan Hasan Tiro itu. Namun berbagai aksi keji TNI justru memperkuat kebencian masyarakat Aceh terhadap pemerintah Indonesia.
Foto: Getty Images/AFP/O. Budhi
Daerah Operasi Militer
Dua kali Jakarta mendeklarasikan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer, antara 1990-1998 dan 2003-2004. Amnesty International mencatat, perang di Aceh sedikitnya menelan 15.000 korban jiwa, kebanyakan warga sipil. TNI dituding bertanggungjawab dalam banyak kasus pelanggaran HAM, antara lain penyiksaan dan pemerkosaan, tapi hingga kini tidak ada konsekuensi hukum.
Foto: picture-alliance/dpa/Saini
Alam Berbicara
Perang di Aceh berakhir dramatis. Di tengah eskalasi kekerasan pada masa darurat militer, bencana alam berupa gempa bumi dan Tsunami menghantam provinsi di ujung barat Indonesia itu. Lebih dari 100.000 penduduk tewas. Tidak lama kemudian semua pihak yang bertikai sepakat berdamai dengan menandatangani perjanjian di Helsinki, 2005.
Foto: AFP/Getty Images/Choo Youn Kong
10 foto1 | 10
*Phil Karel Erari menulis di status Facebooknya: https://www.facebook.com/phil.erari/posts/10208451254385828