Dinamika Keluarga Muda di Indonesia dalam Membesarkan Anak
Rahka Susanto
28 Juli 2022
Bagi banyak keluarga muda dari kelas menengah di ibu kota Indonesia, membesarkan buah hati memiliki dinamikanya sendiri. Pilihan mengorbankan karier atau menopang ekonomi keluarga masih menjadi polemik.
Iklan
"Saya ada di antara banyak pilihan, tapi berhenti bekerja akhirnya jadi pilihan yang saya pilih,” itulah ungkapan Yeni Agustina, mantan karyawati swasta yang memutuskan berhenti bekerja untuk merawat buah hatinya. Hidup dalam kelas menengah di kawasan penyangga ibu kota, Yeni harus menghadapi pilihan yang sulit antara bekerja dan merawat anak.
"Selama pandemi, satu tahun terakhir saya banyak berpikir untuk berhenti bekerja dengan sejumlah pertimbangan, salah satu yang paling utama adalah siapa yang mengurus anak, karena suami mulai kembali harus masuk kantor,” papar Yeni kepada DW Indonesia.
Sebagai anak rantau, Yeni dan suaminya harus mengambil peran untuk merawat sang buah hati, "tidak ada orang tua yang dititipkan untuk merawat anak saya. Pilihan lainnya paling dititipkan di daycare, tapi biaya daycare yang bagus dan menerapkan protokol kesehatan harganya sekitar 50 sampai 70% dari gaji bulanan aku.”
Di antara pilihan ‘menjadi ibu' atau ‘perempuan karier'
Sejak medio 1980-an, ketika gelombang kaum ibu sangat pesat memasuki dunia kerja, kaum hawa dihadapkan pada pilihan melanjutkan dirinya sebagai perempuan karier atau memutuskan menjadi seorang ibu. Kondisi ekonomi semakin memperuncing pemikiran bahwa perempuan harus memilih di antara dua pilihan tersebut.
Ibu dengan 38 Anak Kandung Bergulat lawan Kemiskinan
Mariam Nabatanzi asal Uganda, melahirkan anak kembar dua setahun, setelah menikah di usia 12. Setelahnya, ia lima kali melahirkan anak kembar dua, kemudian melahirkan empat kali kembar tiga, dan lima kali kembar empat.
Foto: Reuters/J. Akena
Merencanakan jumlah anak
Mariam Nabatanzi tinggal di desa Kasawo. Menurut Bank Dunia, keluarga dengan jumlah anak terbanyak di dunia bisa ditemukan di Afrika. Di Uganda, tingkat kesuburan rata-rata adalah 5,6 anak dari tiap perempuan. Ini jumlah tertinggi di benua Afrika, dan dua kali lebih tinggi daripada rata-rata global, yaitu 2,4 anak (Foto: Mariam Nabatanzi, dalam interview bersama Reuters).
Foto: Reuters/J. Akena
Ditinggal suami
Tiga tahun lalu, Mariam (39) ditinggal suaminya. Untuk penuhi kebutuhan anak, Mariam bekerja sebagai penata rambut, pendekorasi pesta, mengumpulkan juga menjual logam berharga, membuat minuman tradisional, dan menjual obat herbal. Uang terutama digunakan untuk makanan, obat, pakaian dan uang sekolah. (Foto: beberapa anak Mariam beristirahat di berada rumah mereka)
Foto: Reuters/J. Akena
Pembagian kerja
Anak-anak yang paling tua membantu ibunya mengurus adik-adik. Selain itu, juga membantu dalam pekerjaan rumah seperti memasak. Pada papan kayu di dapur tertulis pembagian kerja, siapa yang mencuci, siapa yang memasak.
Foto: Reuters/J. Akena
Makan bersama
Kehamilan Mariam yang terakhir mengalami komplikasi. Seorang bayi dari pasangan kembar dua yang terakhir meninggal. Bayi itu adalah anak ke enam Mariam yang meninggal dunia. (Foto: Anak-anak Mariam makan bersama)
Foto: Reuters/J. Akena
Masalah kesehatan
Setelah beberapa kali melahirkan anak kembar, Mariam memeriksakan diri ke dokter. Menurut dokter, Mariam memiliki ovarium dalam ukuran jauh lebih besar dari biasanya. Dokter itu juga mengatakan, pil untuk mencegah kehamilan bisa menyebabkan masalah kesehatan. Oleh sebab itu, ia terus melahirkan. (Foto: Anak-anak menyediakan makanan untuk disantap)
Foto: Reuters/J. Akena
Berdesakan di ruang sempit
12 anaknya beristirahat di tempat tidur berkasur tipis di ruang yang sempit. Di ruang lain, sebagian anak tidur berdesakan di atas kasur, dan lainnya di lantai. Dalam satu hari bisa diperlukan 25 kg tepung untuk makanan, kata Mariam. Ikan atau daging jarang bisa disanntap. (Foto: Putra Mariam yang bernama Isaack Mubiru)
Foto: Reuters/J. Akena
Bekerja tanpa henti
"Ibu kewalahan. Pekerjaan membebaninya. Kami membantu sebisa mungkin, misalnya memasak atau mencuci. Tetapi ia tetap memikul seluruh beban keluarga. Saya kasihan dengan ibu," kata anak tertuanya, Ivan Kibuka (23) yang putus sekolah menengah, karena tidak ada uang. (Foto: Mariam membersihkan halaman rumahnya di desa Kasawo)
Foto: Reuters/J. Akena
Ditinggal suami
Sejak dulu suaminya kerap pergi lama. Setelah bercerai, nama suaminya jadi makian di keluarga. "Saya menjadi dewasa dengan banyak air mata. Suami saya tidak membantu saya dalam penderitaan," demikian ceritanya saat wawancara. "Seluruh waktu saya gunakan untuk mengurus anak dan mencari nafkah." Tapi ia dengan bangga menunjukkan foto anak-anaknya yang sukses. (Sumber: rtr, abc.net.au, Ed.: ml/hp)
Foto: Reuters/J. Akena
8 foto1 | 8
"Masa tergalau adalah ketika tidak bisa mendampingi tumbuh kembang anak. Pulang kerja lelah dan bahkan tidak ada tenaga untuk bermain dengan anak. Ditambah rumah yang jauh. Jadi saya pikir sebaiknya saya tunda dulu pencapaian karier dan bertumbuh bersama anak saya,” papar Yeni.
Yeni memutuskan untuk berdiksusi dengan sang suami mengenai opsi mengasuh anak dan mempertimbangkan penghasilan keluarga yang hanya ditopang satu orang.
Kisah Yeni Agustina menjadi gambaran dari masalah pelik banyak keluarga ekonomi menengah di kota-kota besar di Indonesia. Rasa dilematis pada pilihan antara berjuang merawat buah hati kerap kali berbenturan dengan kebutuhan ekonomi. Yeni berharap "bisa mendapatkan pekerjaan dari rumah sambil mengurus anak.”
Direktur Lembaga Sinarau Lily Puspasari yang berfokus pada isu-isu perempuan menyebut "perlu adanya dukungan dari pemerintah untuk membantu keluarga muda dari ekonomi menengah bawah dalam menciptakan kesejahteraan di keluarga.” Ia juga menyebut kerap kali fenomena memilih pekerjaan atau mengurus anak harus berakhir pada keputusan perempuan yang harus berhenti bekerja.
Iklan
Mahalnya ongkos merawat anak
Sejumlah alternatif dapat dipilih para orang tua muda yang harus bekerja sembari mengurus anak. Salah satunya fasilitas daycare. Tren daycare berkembang dalam beberapa tahun terakhir utamanya di negara-negara maju. Daycare menjadi salah satu solusi untuk menitipkan anak di tengah keputusan kedua orang tua untuk berkerja bagi ekonomi keluarga.
Namun, akses daycare di kota besar seperti Jakarta tidak tergolong terjangkau. Umumnya harga daycare di Jakarta berkisar Rp2 juta hingga 3,5 juta per bulan. Padahal data BPS pada 2021 menyebut, rata-rata gaji pekerja di Jakarta berkisar di angka Rp4,1 juta hingga 5 juta per bulan.
"Bagi keluarga muda dengan ekonomi menengah ke bawah menjadi sulit, utamanya bagi mereka yang tidak memiliki support system seperti orang tua ikut merawat,” jelas Lily kepada DW Indonesia.
Hal ini berbeda dengan sejumlah negara di Eropa. Di Swedia, orang tua muda hanya perlu mengeluarkan ongkos daycare hanya sekitar 4% dari pendapatan bulanan warganya. Sementara di Jerman, pemerintahnya sejak 2019 telah menggelontorkan dana untuk memberikan subsidi bagi warganya dalam menikmati fasilitas daycare. Warga Jerman hanya perlu merogoh kocek sekitar 5,1% hingga 9,8% ongkos daycare dari penghasilan bulanan.
Namun, segala kemudahan bagi warga Swedia maupun Jerman tidak didapatkan secara cuma-cuma. Pajak di Swedia bisa mencapai 52,27%. Sementara pajak di Jerman berkisar 12% hingga 42% dari penghasilan bulanan warganya.
Tantangan daycare dalam budaya membesarkan anak di Indonesia
Di sisi lain, budaya merawat anak dengan menggunakan fasilitas daycare dinilai masih cukup tabu oleh sebagian kalangan. Citra Anggraeny, Manager Operasional dari Root Daycare, menyebut hingga saat ini masih banyak orang tua yang enggan menitipkan anaknya di daycare.
"Masih tetap ada yang menganggap daycare itu kayak anaknya itu dipisahin, apalagi kakek nenek banyak banget (berpikir) 'aduh kasian banget adiknya harus dititipin,' lebih mostly pengennya sih cucunya di rawat sama kakek neneknya,” ungkap Citra kepada DW Indonesia.
Mengintip Tempat Anak-Anak Tidur di Seluruh Dunia
Seniman Inggris James Mollison melanglang buana, dari Cina, Jepang, Nepal, AS hingga ke Brasil untuk memotret anak-anak dan mengintip kamar tidur mereka. Hasil karyanya "Where Children Sleep" dipamerkan keliling dunia.
Foto: James Mollison/Flatland Gallery/Utrecht/Paris
Kamar sempit
Dong, 9 tahun, tinggal di Provinsi Yunnan di barat daya China. Dia berbagi kamar dengan saudara prempuan, orang tua dan kakeknya. Keluarga itu miskin dan hanya memiliki sepetak tanah yang ditanami padi dan tebu. Dong berkata, jika besar nanti, ia ingin menjadi polisi, karena bisa "mengejar pencuri dan berlari kesana kemari".
Foto: James Mollison/Flatland Gallery/Utrecht/Paris
Ruang tidur luas
Harrison, 8 tahun, menjalani hidup yang sangat berbeda. Keluarga itu tinggal di sebuah rumah mewah di New Jersey, AS. Dia memiliki TV sendiri, kamar mandi dan dua ruang bermain besar. Dia adalah anak tunggal dan bersekolah di sekolah swasta. Perjalanan ke sekolahnya perlu waktu dua jam bermobil, tapi ibu Harrison menikmati waktu bersama putranya di dalam mobil. Harrison ingin menjadi dokter hewan.
Foto: James Mollison/Flatland Gallery/Utrecht/Paris
Dunia mainan
Kaya, 4 tahun dan orang tuanya tinggal di apartemen kecil di Tokyo. Rak-rak di kamar anak itu penuh dengan boneka. Ibu Kaya menjahit sendiri gaun gadis itu, biasanya sampai tiga potong dalam sebulan. Namun Kaya harus memakai seragam sekolah saat di kelas. Jika besar nanti, dia ingin menjadi seniman komik dan menggambar anime Jepang.
Foto: James Mollison/Flatland Gallery/Utrecht/Paris
Tempat tidur bersama di lantai
Tidak setiap anak memiliki tempat tidur sendiri. Rumah Indira, 7 tahun di Kathmandu, ibukota Nepal hanya punya satu kamar. Di malam hari, ia dan saudara-saudaranya tidur bersama di atas kasur di lantai. Indira telah bekerja di tambang granit selama empat tahuun, pekerjaan yang berbahaya, karena banyak anak di sana tidak memakai kacamata pengaman. Dia ingin menjadi penari suatu hari nanti.
Foto: James Mollison/Flatland Gallery/Utrecht/Paris
Tempat tidur susun, bergaya asrama
Sherap, 10 tahun tinggal di sebuah biara di Nepal. Bocah itu berbagi kamar dengan 79 anak laki-laki lain yang sedang dilatih sebagai biksu. Mereka tidur di ranjang susun dan memiliki sedikit barang pribadi. Orang tua Sherap mengirimnya ke sana. Mereka percaya, jika salah satu putra mereka masuk biara, itu akan membawa keberuntungan bagi keluarga.
Foto: James Mollison/Flatland Gallery/Utrecht/Paris
Ratu kecantikan
Jasmine, 7 tahun dan keluarganya tinggal di sebuah rumah besar di Kentucky, AS. Mahkota dan ikat pinggang yang dia menangkan dalam kontes kecantikan anak-anak menghiasi kamarnya. Dia berlatih untuk pertunjukan panggung setiap hari. Ini hobi mahal, orang tuanya harus merogoh kocek hingga beberapa ribu dolar per kontes.
Foto: James Mollison/Flatland Gallery/Utrecht/Paris
Gelar tikar di lantai tanah
Ahkohxet, 8 tahun adalah anggota suku Kraho, yang tinggal di lembah Amazon di Brasil. Warga Kraho percaya bahwa Bumi diciptakan oleh matahari dan bulan. Warna merah di dada anak laki-laki itu adalah bagian dari ritual suku. Sungai terdekat memasok air bagi mereka. Warga suku menanam separuh dari kebutuhan makanan mereka sendiri di tanah yang tidak subur.
Foto: James Mollison/Flatland Gallery/Utrecht/Paris
Seorang bintang pop dan mimpi
Thai, 11 tahun bersama saudara-saudaranya dan orang tuanya tinggal di lantai tiga sebuah blok apartemen di Rio de Janeiro. Orang tuanya tidak terlalu kaya, tetapi mampu bertahan hidup di kota. Gadis itu telah menghiasi kamarnya dengan poster Felipe Dylon, bintang pop Brasil. Pameran "Where Children Sleep" berlangsung di Museum Edwin Scharff di kota Neu-Ulm Jerman hingga 6 Februari 2022. (rs/as)
Foto: James Mollison/Flatland Gallery/Utrecht/Paris
8 foto1 | 8
Apa yang disampaikan Citra bukan isapan jempol belaka. Seorang ibu rumah tangga muda, Yunita mengungkapkan kepada DW Indonesia alasannya untuk tidak menggunakan daycare dalam merawat anak, "selama ini sih saya lebih percaya pada orang tua saya ya, kalau di daycare kan kita enggak pernah tahu siapa sih yang asuh anak kita, kita enggak kenal sebelumnya.”
Budaya masyarakat Indonesia yang belum terbiasa dan mengenal daycare menjadi tantangan di industri ini. Citra menyebut untuk dapat meyakinkan orang tua mengenai kualitas pola pengasuhan, daycarenya rutin mengadakan "pelatihan bagi pendamping anak, hingga pendampingan dari ahli gizi dan tenaga ahli, seperti dokter.”
Daycare menjadi solusi bagi keluarga muda di Indonesia, di mana kedua orang tua buah hati harus memutuskan untuk bekerja. Sejauh ini, DPR tengah menggodok aturan dalam Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak yang mewajibkan perusahaan untuk menyediakan daycare bagi karyawannya.
"Kalau aturan itu diterapkan, itu memudahkan sekali ya untuk keluarga seperti aku. Jadi bisa tetap bekerja tanpa khawatir soal anak,” pungkas Yeni.