1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Dinamika Persoalan Papua: Perempuan, Anak Muda, dan Otsus

4 Mei 2021

Berbagai penelitian LIPI mengungkapkan pembangunan di Papua masih belum mampu memenuhi kebutuhan warga, terutama perempuan. Dana otonomi khusus juga tidak dapat mengakhiri konflik secara keseluruhan.

Ibu dan anak di Asmat, Papua
Dominasi adat dan kebiasaan di Papua lebih berpihak kepada laki-laki ketimbang perempuanFoto: Getty Images/AFP/Y. Muhammad

Selama 40 tahun, sekitar 200 peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melakukan lebih dari 150 kegiatan ilmiah di Papua yang mencakup berbagai disiplin ilmu. Hasil penelitian tersebut kemudian didokumentasikan dan dapat diakses publik melalui laman pusat informasi Papua yang telah diluncurkan pada Senin (03/04). Situs web dokumentasi Papua bisa dijadikan sebagai sumber data dalam penyusunan kebijakan dan program pembangunan wilayah.

Situs web dokumentasi PapuaFoto: LIPI

Selain topik mengenai pembangunan pulau-pulau terluar dan otonomi khusus, kajian dan riset LIPI juga mengambil topik marjinalisasi dan diskriminasi terhadap perempuan. Melalui diskusi virtual, pemberdayaan perempuan diharapkan dapat segera ditindaklanjuti bersama demi meningkatkan kesejahteraan perempuan dan anak, serta mendorong kesetaraan gender di Tanah Papua.

Frida Tabita Klasin, aktivis Papuan Women's Working GroupFoto: LIPI

Frida Tabita Klasin, aktivis Papuan Women's Working Group, mengungkapkan beberapa kondisi yang kerap kali menghambat peran perempuan, di antaranya adalah pemikiran dan sikap yang sering menomorduakan kaum perempuan dalam komunitas, penindasan oleh kebiasaan-kebiasaan atas nama adat dan budaya patriarki, hingga tidak dapat menyampaikan pendapat karena dibatasi dalam ruang publik.

"Tidak ada yang berubah, perempuan jadi tulang punggung keluarga, tetapi apa yang mereka dapatkan jauh dari cukup. Kemiskinan mewarnai kehidupan perempuan, termasuk tingginya kasus kematian ibu melahirkan,” paparnya.

Frida mengatakan pembangunan yang baik melibatkan partisipasi semua pihak, termasuk perempuan. Namun, kondisi tersebut belum sepenuhnya terwujud karena dominasi adat dan kebiasaan lebih berpihak kepada laki-laki ketimbang perempuan dalam kehidupan bersama.

"Dalam penelitian didapati di tempat-tempat yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam, kantong kemiskinan paling kuat di sana dan dampak paling parah dirasakan oleh perempuan. Di situasi ini perempuan-perempuan bertanya ‘apakah ini pembangunan?' karena pembangunan yang selama ini digembar-gemborkan tidak memenuhi kebutuhan mereka,” kata Frida.

Frida juga tidak menyangkal upaya pemerintah yang memberikan banyak tawaran pilihan pendidikan dan adanya syarat minimal partisipasi perempuan dalam bidang politik. "Upaya-upaya itu mendorong perempuan pada akhirnya bisa tampil dan sekolah jauh dari rumahnya.”

Pemanfaatan teknologi digital

CEO dan founder BenihBaik.com, Andy Flores Noya mengatakan lambatnya perkembangan di Papua disebabkan korupsi yang merajalela. "Ini adalah kondisi yang real saat ini,” ungkapnya dakan webinar peluncuran website dokumentasi Papua pada Senin (03/05).

Andy F Noya, CEO dan founder BenihBaik.comFoto: LIPI

Menurutnya, pemerataan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Papua bisa tercapai jika generasi muda mampu mengoptimalkan teknologi digital. BenihBaik.com, platform pengumpulan uang dan barang (charity crowdfunding) yang memungkinkan siapa saja menggalang dana dan berdonasi secara online, memiliki program yang dapat membantu generasi milenial di Papua memanfaatkan teknologi digital dan berkecimpung dalam social enterprise.

"Salah satu program yang kami dorong untuk anak-anak muda terjun social enterprise, karena saya punya keyakinan kuat kalau milenial menjadi social entrepreneur kemudian mendirikan start up berbasis teknologi digital, nanti ujung-ujungnya mendorong mitra mereka untuk sejahtera bersama,” jelasnya.

Otonomi khusus gagal?

Meski dana otonomi khusus untuk Papua meningkat jumlahnya setiap tahun, tetapi kenyataannya tidak mampu membawah perubahan signifikan bagi kesejahteraan rakyat Papua. Hal ini pula yang mengakibatkan masyarakat lokal Papua menganggap bahwa otonomi khusus sebagai kompensasi dari separatisme.

Infografis mengenai etnis-komunal dan separatis di Papua sejak tahun 1998 hingga 2014Foto: LIPI

"Legitimasi otonomi khusus di mata masyarakat Papua sudah sangat menipis. Pemerintah seharusnya merespon revisi undang-undang otonomi khusus sejak Otsus Plus digulirkan pada akhir pemerintahan SBY dan awal pemerintahan Jokowi,” kata Mardyanto Wahyu Tryatmoko, Peneliti Puslit Politik LIPI.

Mardyanto Wahyu Tryatmoko, Peneliti Puslit Politik LIPIFoto: LIPI

"Desain kelembagaan otonomi khusus Papua dan Aceh sebenarnya mirip, tetapi implikasinya yang berbeda. Ini menunjukkan bahwa persoalan ekonomi bukan hanya urusan yang dikelola oleh daerah, tetapi juga persoalan konsesus, komitmen, legitimasi, dan juga beberapa kompleksitas problem nasionalisme,” tambahnya.

Namun, Mardyanto meyakini sejumlah perbaikan di Papua masih bisa diupayakan, meskipun kelembagaan otonomi khusus saat ini memang problematik, belum berhasil meredam konflik, dan belum berkontribusi terhadap penyelesaian konflik.

"Saya tidak mengatakan otonomi khusus telah gagal, karena setidaknya pengelolaan itu memberi pelajaran politik dan birokrasi kepada lembaga-lembaga di Papua,” ucap Mardyanto. (ha/hp)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait