1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Dinasti Kim di Korea Utara

3 Juni 2009

Pimpinan Korea Utara Kim Jong Il menyiapkan anak bungsunya Kim Jong Un sebagai penerus.

Presseschau

Harian Jerman Frankfurter Rundschau menulis:

Sejak Januari lalu sudah terlihat tanda-tanda, bahwa pimpinan Korea Utara, Kim Jong Il, yang berusia 68 tahun dan tahun lalu pernah sakit keras, akan mengakhiri teka-teki mengenai penerusnya. Berlawanan dengan tradisi keluarga di negara itu, ia tidak memilih putra sulung sebagai ahli waris, melainkan putra bungsunya. Kim Jong Il sudah kehilangan kepercayan kepada putra sulungnya, Kim Jong Nam. Karena ia sering melakukan tindakan memalukan di luar negeri. Tahun 2001 misalnya, Kim Jong Nam ditangkap di Tokio ketika menggunakan paspor palsu. Sedangkan putra bungsunya, Kim Jung Un masih belum dikenal. Ia diperkirakan berusia 25 tahun. Yang beredar tentang dirinya lebih banyak berupa gosip ketimbang informasi resmi. Ia disebut-sebut pernah melewati masa remaja di Swiss dan bersekolah di sekolah internasional Bern. Tahun 1998 ia kembali ke Korea Utara, kemudian hilang kabar beritanya. Ketika April tahun ini ia diangkat menjadi anggota majelis tinggi Korea Utara dan mendapat posisi di komisi pertahanan, dunia mengetahuinya bukan dari kantor berita resmi KCNA, melainkan dari laporan-laporan dinas rahasia. Ketertutupan ini boleh jadi akan berakhir. Kim Jong Il mungkin ingin pengalihan kekuasaan dilakukan dengan propaganda besar, seperti ketika ia dulu disiapkan sebagai pewaris ayahnya, Kim Il Sung, yang sekarang jadi pemimpin besar Korea Utara untuk selamanya.

Harian Stuttgarter Zeitung berkomentar:

Mengenai Kim Jong Un, dunia bahkan tidak mengetahui kapan tanggal lahirnya. Hanya ada satu foto yang diduga menunjukkan dirinya sebagai anak-anak. Orang tidak tahu pasti, apa itu betul foto Kim Jong Un. Pewaris ketiga dari dinasti Kim ini diberitakan pernah bersekolah di Swiss. Ini bisa menjadi pertanda baik, karena ia sempat mengenal dunia. Atau ini jadi pertanda buruk, jika ia di sana mengalami pengalaman buruk. Sikap Kim Jong Il selama ini sulit diperhitungkan. Sekarang, tindak tanduk Korea Utara akan makin sulit diperkirakan.

Harian Jerman lain, Kölner Stadt Anzeiger, menyoroti peristiwa pembantaian gerakan demokratis Cina di lapangan Tiannanmen 20 tahun lalu. Harian ini menulis:

Republik Rakyat Cina tetap berupa diktator satu partai. Sama seperti tahun 1989, tidak ada pemilu bebas. Tapi hubungan antara pemerintah dan rakyat sudah berubah. Perubahan ini dimulai dari rangkaian demonstrasi tahun 1989. Kebangkitan politik ketika itu mempertanyakan sistem yang diterapkan. Sekalipun Partai Komunis Cina sekarang senang tampil sebagai partai modern, sistem politik dengan hanya satu partai adalah konstruksi usang. Dunia ingin melihat Cina yang demokratis. Tapi jangan lupa, jika Cina menjadi demokratis, ia akan jadi adidaya terbesar yang pernah ada dalam sejarah.

Harian Belanda de Volkskrant menyoroti pemilihan Eropa yang dimulai tanggal 4 Juni:

Selain beberapa gelintir warga Belgia dan Luksemburg, hampir tidak ada lagi yang benar-benar ingin agar parlemen Eropa lebih terintegrasi dan benar-benar bisa mewakili kepentingan warga Eropa. Bagaimanapun, sebuah parlemen dengan sekian banyak kekurangan masih lebih baik daripada tidak ada parlemen sama sekali. Semoga saja, para pemilih Eropa cukup cerdik dan mau meluangkan waktu untuk menggunakan hak suaranya. Karena jika tingkat partisipasi pemilu rendah, hasilnya adalah mandat yang lemah. Itu berarti kekalahan bagi semua.

HP/dpa/afp