1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikSri Lanka

Kebangkitan dan Runtuhnya Dinasti Politik Keluarga Rajapaksa

Aparna Ramamurthy
14 Juli 2022

Kaburnya Presiden Gotabaya Rajapaksa dan kejatuhannya yang dramatis menandai perputaran nasib yang luar biasa bagi dinasti yang telah mendominasi politik Sri Lanka selama hampir dua dekade.

Mahinda Rajapaksa dan Gotabaya Rajapaksa
Cengkeraman kekuasaan keluarga Rajapaksa dimulai ketika Mahinda Rajapaksa (kiri), kakak Gotabaya Rajapaksa (kanan), menjadi Perdana Menteri Sri Lanka pada tahun 2004Foto: Eranga Jayawardena/AP/picture alliance

Presiden Gotabaya Rajapaksa melarikan diri dari Sri Lanka pada hari Rabu (13/07), beberapa jam sebelum dia dijadwalkan akan mengundurkan diri menyusul krisis ekonomi dan politik sangat parah yang melumpuhkan negara itu selama beberapa bulan terakhir.

Runtuhnya kekuasaan dan kaburnya Gotabaya ke Maladewa dan kemudian ke Singapura dan terakhir ke Jeddah, Arab Saudi, menandai keruntuhan dinasti keluarga Rajapaksa yang telah mendominasi kehidupan politik di Sri Lanka selama hampir 20 tahun. Cengkeraman kekuasaan keluarga itu dimulai ketika Mahinda Rajapaksa, kakak laki-laki Gotabaya Rajapaksa, diangkat sebagai Perdana Menteri Sri Lanka pada 2004.

"Mahinda adalah seorang tokoh politik dengan sentuhan populis yang pandai memainkan isu-isu politik. Dia memproyeksikan dirinya sebagai tokoh yang dekat dengan rakyat. Dia juga dikelilingi oleh orang-orang dengan filosofi yang sama dengan yang dia bagikan," kata Ketua lembaga think tank LIRNEasia Rohan Samarajiva.

Populer karena mengakhiri perang saudara

Mahinda terpilih sebagai Presiden Sri Lanka pada 2005. Di bawah kepemimpinannya, militer berhasil menghentikan perang saudara yang berlangsung hampir tiga dekade di negara Asia Selatan itu pada 2009.

Konflik tersebut merupakan bentrokan antara pemerintah Sri Lanka yang didominasi etnis mayoritas Sinhala dan kelompok pemberontak Macan Pembebasan Tamil Eelam, yang berharap dapat mendirikan negara terpisah untuk etnis minoritas Tamil, yang mencakup sekitar 15% dari total populasi 22 juta di negara itu.

Dengan kemenangan atas pemberontak Tamil dan berhasil menarik sentimen nasionalis mayoritas Buddha-Sinhala, Mahinda yang populer dan karismatik, mampu mempererat cengkeramannya pada kekuasaan. Pada saat itu, Gotayaba adalah pejabat dan ahli strategi militer yang kuat di Kementerian Pertahanan Sri Lanka.

"Ketika itu, Rajapaksa bersaudara dipandang sebagai pahlawan perang oleh etnis mayoritas Sinhala," kata Amirtanayagam Nixon, jurnalis senior dari Kolombo.

Mahinda berkuasa hingga 2015, sampai dia secara tak terduga kalah dalam pemilihan presiden dari oposisi yang dipimpin oleh mantan ajudan dan menteri kesehatannya, Maithripala Sirisena.

Kembalinya dinasti Rajapaksa

Serangkaian serangan teroris yang melakukan aksi pengeboman bunuh diri terkoordinasi pada 21 April 2019, memungkinkan keluarga Rajapaksa untuk bangkit kembali di ajang politik Sri Lanka. Setelah tragedi pengeboman oleh kelompok radikal Islamis yang menewaskan lebih dari 250 orang, Gotabaya mengumumkan bahwa dia akan mencalonkan diri sebagai presiden dan berjanji untuk memulihkan keamanan.

Dia bersumpah untuk mengembalikan nasionalisme yang kuat, yang telah membuat keluarganya populer di kalangan mayoritas Buddha-Sinhala, dan bertekad memimpin Sri Lanka keluar dari krisis ekonomi.

Gotabaya Rajapaksa akhirnya memenangkan pemilihan umum yang diadakan pada November 2019 dan berhasil membawa keluarga Rajapaksa kembali ke pusat kekuasaan.

"Pertama kali, kemenangan atas pemberontak Tamil. Kedua kalinya, mereka berkampanye bahwa hanya mereka yang bisa menyelamatkan negara dari ISIS, kelompok teror muslim," kata Nixon.

Setelah memangku jabatan sebagai presiden Sri Lanka, Gotabaya melakukan praktek nepotisme, dengan mengangkat kakaknya, Mahinda sebagai Perdana Menteri dan saudara kandung lainnya memegang jabatan kunci. Kakaknya, Basil, ditunjuk sebagai menteri keuangan, Adiknya, Chamal, dipilih menjadi menteri irigasi. Selain itu, putranya, Namal, diangkat menjadi menteri olahraga dan pemuda.

Penunjukan tersebut memastikan bahwa keluarga Rajapaksa memegang kendali atas aparatur negara dan sektor-sektor utama ekonomi. Samarajiva dari lembaga think tank LIRNEasia menambahkan, masyarakat tidak menganggap serius nepotisme ini.

Neil DeVotta, profesor politik dan hubungan internasional di Universitas Wake Forest di Amerika Serikat, menunjukkan bahwa retorika dan tindakan mayoritas Sinhala adalah alasan utama di balik kesuksesan mereka.

"Menjadi nasionalis Buddha-Sinhala dan menggambarkan diri mereka sebagai pembela negara yang paling kuat adalah saus rahasia untuk kesuksesan mereka. Ini memungkinkan penduduk Buddha yang dominan mengabaikan keserakahan mereka," kata DeVotta, penulis buku "Blowback: Nasionalisme Linguistik, Peluruhan Kelembagaan, dan Konflik Etnis di Sri Lanka."

Keputusan yang buruk dan populis

Popularitas keluarga dan dominasi pada lanskap politik negara, bagaimanapun, menghasilkan serangkaian keputusan yang tidak bijaksana dan populis. Pada 2019, Rajapaksa menerapkan pemotongan pajak besar-besaran, yang berdampak pada keuangan pemerintah.

Dan tahun 2021, pemerintah memutuskan untuk melarang semua pupuk kimia, yang merugikan produksi pangan dalam negeri. Meskipun pihak berwenang mencabut larangan tersebut setelah enam bulan, kerusakan telah terjadi, yang memicu kekurangan pangan.

"Hampir setiap keputusan yang diambil Gotabaya salah. Dan rakyat yang harus membayar mahal konsekuensi dari tindakannya itu," kata Samarajiva, yang bekerja untuk Kementerian Reformasi Ekonomi.

"Gotabaya memiliki banyak penasihat di sekitarnya. Dalam banyak kasus, dia mengambil nasihat dari orang yang salah. Misalnya, dia menerima nasihat tentang pertanian dari seorang dokter," katanya.

Ketika pandemi COVID-19 melanda, sektor-sektor utama ekonomi, terutama industri pariwisata yang merupakan sumber pendapatan terpenting, terpukul berat. Samarajiva mengatakan, dia dan para ahli lainnya bertemu dengan Presiden Gotabaya pada Mei 2020 dan menyarankan agar pemerintah mengetuk pintu Dana Moneter Internasional (IMF) untuk mencari bantuan. Namun, pemerintah baru mendekati IMF pada Maret 2022.

Pengambilan keputusan yang terlambat

"Hal-hal yang dilakukan Gotabaya untuk memperbaiki kesalahannya selalu terlambat dan terlalu sedikit,” Samarajiva menggarisbawahi.

Tumpukan utang yang sangat besar mungkin bukan sepenuhnya kesalahan Gotabaya, karena pemerintah sebelumnya juga bertanggung jawab untuk itu. "Tetapi pinjaman telah meningkat secara besar-besaran di bawah pemerintahan Rajapaksa", kata Samarajiva, menunjuk pada pinjaman komersial berbunga tinggi yang digunakan untuk membiayai proyek-proyek yang akhirnya secara finansial tidak layak.

DeVotta juga berbagi pandangan yang sama.

"Sri Lanka telah salah urus secara politik dan ekonomi selama beberapa dekade, tetapi Rajapaksa membawa krisis ke tingkat yang baru, akibat korupsi dan pengabaian mereka terhadap aturan hukum," katanya.

Kebijakan yang buruk ditambah dengan penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, dan nepotisme, telah memperburuk krisis ekonomi dan politik Sri Lanka sejak negara itu meraih kemerdekaan pada tahun 1948. Krisis berat yang muncul, telah memicu kemarahan publik dan kebencian terhadap keluarga Rajapaksa, hingga munculnya pemberontakan rakyat besar-besaran, yang kini telah memaksa Gotabaya kabur dari Sri Lanka. Beberapa anggota keluarga lainnya juga berusaha meninggalkan negara itu.

"Ini penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi oleh dinasti keluarga, yang membuat negara menderita," pungkas Nixon.

(ha/as)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait