Kompensasi Jutaan Dolar Setelah Dipenjara 19 Tahun
15 Oktober 2019
David Eastman dipenjara selama 19 tahun. Kompensasi awal yang ditawarkan sebesar A$3,8 juta ditolaknya. Kini pria berusia 74 tahun itu akan menerima kompensasi sekitar A$ 7 juta, setara dengan 67 miliar rupiah.
Iklan
David Eastman dijatuhi hukuman penjara seumur hidup pada tahun 1995 atas pembunuhan Colin Winchester, seorang perwira polisi berpangkat tinggi, demikian menurut laporan stasiun televisi Australia ABC. Baru 19 tahun kemudian dia dibebaskan setelah muncul keraguan atas bukti-bukti yang ada.
Pria yang kini berusia 74 tahun ini akan menerima 7,02 juta dolar Australia atau sekitar Rp 67 miliar. Ini keputusan yang diambil oleh pengadilan di ibu kota Australia, Canberra.
Sebelumnya, Eastman telah menolak kompensasi sebesar 3,6 juta dolar Australia dari pemerintahan Australian Capital Territory (ACT).
Kepada mahkamah agung ACT, Eastman mengatakan telah kehilangan kesempatan untuk berkeluarga dan berkarier karena mendekam di penjara. Selain itu, dua adik perempuannya dan ibunya telah meninggal selama ia berada dalam tahanan.
Ia juga menyaksikan pembunuhan saat dalam penjara dan masih menderita gangguan penglihatan di satu matanya setelah diserang oleh tahanan lain pada tahun 2006.
Eastman, yang selalu bersikeras bahwa dirinya tidak bersalah, telah beberapa kali banding. Baru pada tahun 2014 ia berhasil setelah penyelidikan yudisial memutuskan bahwa dia telah diperlakukan secara tidak adil karena kesalahan dalam bukti yang diajukan oleh polisi dalam persidangannya.
Polisi Colin Winchester ditembak mati ketika keluar dari mobilnya di dekat rumahnya di pinggiran kota Canberra pada tahun 1989. Hingga kini belum ada pihak lain yang dinyatakan bertanggung jawab atas pembunuhan tersebut.
vlz/ae (dpa, afp)
Kekurangan Tahanan, Penjara Belanda Jadi Rumah Pengungsi
Belanda kekurangan tahanan. Alhasil penjara di Haarlem beralih fungsi jadi penampungan sementara para pengungsi. Di penjara mereka malah merasa aman.
Foto: picture-alliance/AP/M. Muheisen
Jumlah penjahat turun, arus pengungsi melonjak
Belanda telah membuka pintu penjaranya yang kosong untuk mengakomodasi masuknya migran pencari suaka. Tingkat kejahatan di negara itu telah terus menurun selama bertahun-tahun. Puluhan lembaga pemasyarakatan telah ditutup sama sekali. Ketika árus pengungsi melonjak, Badan Pusat Penerimaan Pencari Suaka Belanda melihat penjara-penjara kosong ini sebagai solusi.
Foto: picture alliance/AP Photo/M. Muheisen
Hidup dalam sel
Fotografer Muhammed Muheisen, dua kali peraih pengghargaan Pulitzer Prize dan kepala fotografer Associated Press untuk Timur Tengah, dalam beberapa tahun terakhir memotret krisis pengungsi. Ia mengabadikan kehidupan baru para pengungsi yang ditampung di penjara kosong ini. Tampak dalam foto, seorang gadis Afghanistan bernama Shazia Lutfi melongok dari pintu sel.
Foto: picture alliance/AP Photo/M. Muheisen
Bisa juga jadi salon
Butuh enam bulan bagi sang fotografer untuk diizinkan masuk ke penjara tersebut. Berhari-hari waktu dihabiskannya untuk mengenal pengungsi lebih dekat. tampak dalam foto, Yassir Hajji, asal Irak, tengah merapikan alis istrinya, Gerbia, di sebuah ruang sel.
Foto: picture alliance/AP Photo/M. Muheisen
Belajar bahasa Belanda
Pengungsi tidak diizinkan untuk bekerja, tetapi mereka berlatih berbicara bahasa Belanda dan naik sepeda --keterampilan penting untuk hidup di Belanda. Karena mereka melakukan semua itu di penjara, maka tidak mengusik warga. Pada umunya para pengungsi berkomentar: "Kami di sini di bawah atap, di tempat penampungan, jadi kami merasa aman."
Foto: picture alliance/AP Photo/M. Muheisen
Bebas untuk tinggal maupun pergi
Para pengungsi tersebut tinggal di penjara sekitar 6 bulan sebelum mendapat keputusan suaka. Mereka bebas untuk tinggal dan pergi kapan saja. Beberapa pengungsi bahkan menjalin persahabatan dengan warga Belanda.
Foto: picture alliance/AP Photo/M. Muheisen
Tak ada penjahat, aman untuk tinggal
Seorang pengungsi Suriah bahkan berkata pada Muhesein, bahwa penjara ini memberinya harapan untuk hidup. “Jika sebuah penjara tak ada tahanannya, maka artinya ini adalah negara yang aman, dimana saya ingin hidup.” Pengungsi lainnya,asal Afghanistan --Siratullah Hayatullah tampak asyik minum teh dengan tenang di depan kamarnya.
Foto: picture alliance/AP Photo/M. Muheisen
Fasilitasnya lengkap
Pengungsi Afghanistan Siratullah Hayatullah mencuci pakaiannya di ruang cuci. Infrastruktur dalam penjara cukup lengkap sehingga memudahkan pengungsi untuk menjalani hidup mereka sementara.
Foto: picture alliance/AP Photo/M. Muheisen
Tanpa diskriminasi
Pengungsi asal Maroko ini berpose di dalam kamarnya di penjara. Ia seorang gay. Selama di sini, tak pernah ia merasakan diskriminasi. Sebelumnya penjara di Belanda pernah dimanfaatkan juga untuk menampung tahanan dari Belgia dan Norwegia.
Foto: picture alliance/AP Photo/M. Muheisen
Bebas beribadah
Pengungsi Irak, Fatima Hussein beribadah di ruangannya di bekas penjara de Koepel di Haarlem.
Foto: picture alliance/AP Photo/M. Muheisen
Sehat jasmani dan rohani
Meski boleh keluar masuk penjara sesuka hati, bisa jadi kadang-kadang timbul rasa bosan. Mereka bisa juga berolah raga untuk mengisi waktu senggang.
Foto: picture alliance/AP Photo/M. Muheisen
Main basket juga bisa
Pengungsi asal Mongolia, Naaran Baatar, berusia 40 tahun. Di penjara, ia bisa main basket. Di hatinya terpupuk harapan akan hidup baru dan kebebasan.
Foto: picture alliance/AP Photo/M. Muheisen
Menenun harapan haru
Pengungsi Somalia, Ijaawa Mohamed, duduk di kursi di luar ruangan. Meski tinggal di penjara, mereka rata-rata merasa aman dan menenun harapan atas kehidupan baru. Editor : ap/as (nationalgeograpic,smh,nbc,dailymail)
Foto: Muhammed Muheisen (ap)