1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Dipimpin Perempuan

10 Oktober 2016

Bagaimana pandangan Anda terhadap pemimpin perempuan? Pentingkah bagi  Anda keterwakilan perempuan dalam politik? Berikut opini Tunggal Pawestri.

Frau Leiter Karriere
Foto: Colourbox

Tiap kali mendengar atau membaca mengenai aksi penolakan terhadap pemimpin "kafir", saya selalu merasa deja vu. Aksi tersebut mengingatkan saya terhadap aksi penolakan pemimpin perempuan yang telah muncul lebih dulu, tepatnya di awal tahun 2000-an. Polanya hampir mirip, menggunakan sentimen keagamaan dalam melakukan penolakannya. Menyitir surat dari kitab suci untuk mendukung argumentasinya.

Pasca tumbangnya orde baru dan masih dalam semangat untuk memperkuat demokrasi, gagasan untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dan menyuarakan pentingnya keterlibatan perempuan dalam politik kian menguat. 

Setelah tiga puluh dua tahun perempuan Indonesia disingkirkan dari ruang publik dan terdomestifikasi secara sistematis, perjuangan meningkatkan kepemimpinan perempuan terutama dalam bidang politik menjadi sangat berat.

Penulis:Tunggal P.Foto: privat

Perempuan berkiprah dalam politik dan masuk ke ranah publik untuk menjadi seorang pemimpin pada masa itu masih dianggap tabu, menyalahi kodrat dan bertentangan dengan hukum agama. Hal paling sulit saat itu adalah meyakinkan publik bahwa perempuan memiliki hak yang SETARA dengan laki-laki dalam segala bidang-- termasuk bidang politik.

Namun secara perlahan, para politisi, tokoh masyarakat yang berpengaruh dan pemuka agama yang mendukung isu ini mulai teridentifikasi. Kelompok perempuan juga menyadari pentingnya mendapatkan dukungan publik secara lebih luas lagi.

Dibangunlah upaya serius bekerja sama dengan media untuk menyuarakan pendapat dari mereka yang mendukung keterwakilan perempuan dalam politik. Termasuk meminta para akademisi memberikan pendapat dan kajian ilmiahnya mengenai pentingnya meningkatkan keterwakilan perempuan dalam politik.

Masih banyak tertinggal

Dengan segala daya upaya akhirnya kelompok perempuan mulai mendapatkan dukungan luas dan mampu meyakinkan publik termasuk para pengambil kebijakan (yang mayoritas laki-laki) bahwa perempuan memiliki hak politik yang setara dengan laki-laki.

Kendati masih memiliki banyak kelemahan, disahkannya untuk pertama kali kebijakan keterwakilan perempuan atau afirmasi 30 persen di tingkat  legislatif dalam UU Pemilu 12/2003, adalah sebuah pengakuan atas pentingnya perempuan terlibat dalam pengambilan keputusan politik. Sekaligus juga awalan untuk sebuah perjuangan yang lebih panjang. Secara perlahan diskursus pentingnya keterwakilan untuk pengambilan kebijakan merembet ke level eksekutif.

Tak bisa dipungkiri, ada sedikit harapan bahwa meningkatnya jumlah perempuan dalam posisi pengambilan kebijakan akan berdampak pada kesejahteraan dan kebutuhan mengatasi persoalan yang banyak dialami oleh perempuan Indonesia. Apakah harapan ini terlalu berlebihan atau kita sesungguhnya sedang menggantang asap?

Memberi arti untuk kepemimpinan perempuan

Jika dalam hal kepemimpinan perempuan dalam politik terdapat kemajuan yang menyenangkan, tidak demikian halnya dengan isu lain yang terkait dengan hak perempuan.

Hingga saat ini angka kematian ibu melahirkan masih tinggi. Dalam Human Development Report UNDP 2015, Indonesia berada pada posisi 190 (kematian ibu melahirkan) per 100.000 (kelahiran hidup). Pemerintah melalui Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012 bahkan menyebut angka AKI di Indonesia adalah 359 per 100 ribu kelahiran.

Tahun 2015, sejumlah kelompok perempuan, pegiat HAM dan aktivis anak juga gagal di Mahkamah Konstitusi dalam upayanya untuk menaikkan usia pernikahan bagi anak perempuan menjadi 18 tahun. Padahal salah satu penyebab utama kematian ibu melahirkan, adalah karena usia kehamilan pada anak remaja. Perkawinan anak masih menjadi satu persoalan penting yang harus dihadapi.

Selain itu, hal yang tak kalah pelik adalah banyaknya peraturan daerah yang diskriminatif. Hingga akhir tahun 2015, Komnas Perempuan masih terus mencatat peraturan daerah yang mendiskriminasi perempuan. Alih-alih berkurang, jumlahnya justru kian bertambah. Saat ini total terdapat 389 perda yang mendiskriminasi perempuan.

Politik Maju Selangkah, Hak Mundur Dua Langkah

Persoalan-persoalan kesehatan, kekerasan rumah tangga dan kekerasan seksual adalah persoalan nyata yang sedang dihadapi oleh perempuan Indonesia. Diperlukan komitmen dari semua pihak untuk mengatasi persoalan ini. Namun tentu saja kuncinya tetap ada di tangan para pengambil keputusan.

Menyerahkan hal ini kepada segelintir perempuan politisi memang kelihatan tidak masuk akal. Namun yang paling tidak masuk akal adalah jika para perempuan politisi justru tidak melakukan apa-apa. Berkah perjuangan perempuan, kita maju satu langkah untuk perkara keterwakilan perempuan, jangan sampai kita harus mundur dua langkah karena kekalahan kita melawan kekuatan patriarki dan menguatnya konservatisme di negara ini.

 

Penulis:

Tunggal Pawestri adalah feminis yang aktif bekerja untuk isu-isu perempuan, seksualitas, keragaman dan HAM. Selain aktif bekerja untuk isu-isu kemanusiaan, saat ini Tunggal Pawestri juga mulai berkiprah sebagai produser film.

@tunggalp

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.