1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Diplomasi Timur Tengah Kanselir Merkel

2 April 2007

Kunjungan Kanselir Jerman Angela Merkel selama akhir minggu diharapkan bisa mendorong kembali proses perdamaian. Tapi banyak juga suara pesimis.

Kanselir Merkel dengan Raja Abdullah II di Yordania
Kanselir Merkel dengan Raja Abdullah II di YordaniaFoto: AP

Harian Jerman Süddeutsche Zeitung menulis:

„Merkel melihat ada harapan baru untuk proses perdamaian Timur Tengah melalui kegiatan meningkat yang dilakukan negara-negara Arab yang moderat. Merkel hari Sabtu sampai Senin mengunjungi Yordania, Isreal, Palestina dan Libanon. Setelah bertemu dengan Raja Abdullah II di Akaba pada awal perjalanannya, ia mengatakan, prakarsa damai negara-negara Arab adalah langkah yang harus diisi dengan kegiatan konkrit. Dari Raja Abdullah, Merkel mendapat informasi dari tangan pertama mengenai hasil KTT Liga Arab.

Harian Jerman lain, Frankfurter Allgemeine Zeitung menilai:

„Pada saat dunia Arab memperbarui tawaran perdamaian kepada Israel, Kanselir Jerman masih terlalu ragu-ragu menjalin hubungan dengan pihak Palestina. Kiranya sangat baik, seandainya ia, dalam posisi sebagai ketua Uni Eropa, tidak hanya bertemu dengan Abbas melainkan juga bertemu dengan politisi Palestina lainnya. Merkel saat ini sangat populer di Israel, di peringkat ketiga setelah Presiden AS dan PM Inggris. Ia tidak akan kehilangan banyak, jika melakukan langkah berani mendekati pihak Palestina. Seandainya dilakukan, Ini malah benar-benar bisa jadi terobosan baru.“

Harian Berliner Zeitung menulis:

„Sekalipun ia mengambil jarak, Raja Abdullah dari Saudi Arabia tetap tergantung dari Amerika Serikat, demikian juga Israel dan Angela Merkel, yang tidak bisa berbuat terlalu banyak. Amerika Serikat sejak Bush mulai memerintah melakukan politik Timur Tengah yang merusak. Dalam konflik Israel-Palestina, mereka hanya mengulur waktu. Dalam konflik di Irak, mereka malah kehilangan pengaruh. Sekarang, Iran dapat menarik manfaat besar, lebih besar daripada Saudi Arabia, dari kelemahan politik Amerika Serikat.“

Hal lain yang jadi sorotan pers Eropa adalah penahanan pelaut dan anggota marinir Inggris oleh Iran. Harian Italia La Reppublica menulis:

„Setelah penayangan video, kini batu dan bom molotow beterbangan. Kedutaan Besar Inggris di Teheran diserbu sekitar 200 mahasiswa radikal. Ini adalah protes terhadap apa yang disebut Iran sebegai ‚pelanggaran territorial laut“ oleh 15 anggota marinir Inggris. Aksi ini dikendalikan oleh para dalang rejim yang dengan cerdik berada di belakang layar dan menuntut permintaan maaf dari Tony Blair. Tapi para Ayatullah juga membenarkan, ada kontak langsung dengan pemerintah Inggris. Jadi situasi dalam kasus ini memang bisa tiba-tiba saja berubah.

Harian Austria der Standard menilai:

„Blair harus memperhitungkan, bahwa dengan demonstrasi kekuatan saja ia mungkin bisa terjerumus dalam peristiwa krisis penyanderaan berikutnya, setelah aksi penyanderaan di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Teheran selama 444 hari akhir 1979. Perubahan arah diplomasi Inggris akhir minggu ini boleh jadi berhubungan dengan kesadaran, bahwa Teheran memang ada dalam posisi lebih menguntungkan dan bisa menahan para serdadu Inggris lebih lama lagi, sekalipun dengan kerugian diplomatik yang besar.“