1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Cek Fakta: Disinformasi Suburkan Rasisme Anti-Palestina

31 Oktober 2025

Propaganda dan disinformasi memperkuat dehumanisasi dan rasisme terhadap warga Palestina. Tim Cek Fakta DW menganalisa bagaimana propaganda menyebar dan kenapa pendidikan sejarah bisa menjadi jalan keluar?

Protes mendukung kemerdekaan Palestina
Protes mendukung kemerdekaan PalestinaFoto: Anushree Fadnavis/REUTERS

Di tengah gencatan senjata rapuh yang sudah berulang kali dilanggar, disinformasi, propaganda, dan rasisme anti-Palestina terus menyebar luas di dunia maya. Tim Cek Fakta DW menelusuri mengapa narasi-narasi ini mudah viral, dan mengapa ia begitu berbahaya.

"Propaganda anti-Palestina digunakan sebagai senjata untuk membenarkan kejahatan yang sedang dilakukan,” kata Jalal Abukhater, manajer kebijakan di 7amleh, Pusat Arab untuk Kemajuan Media Sosial, kepada DW.

Sejak serangan yang dipimpin Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023, operasi militer Israel dilaporkan menewaskan sedikitnya 68 ribu warga Palestina di Gaza, menurut otoritas kesehatan setempat. Sejumlah pakar PBB dan Asosiasi Internasional Cendekia Genosida menyimpulkan bahwa tindakan Israel telah memenuhi unsur genosida.

Akar sejarah rasisme anti-Palestina

Meski kampanye anti-Palestina meningkat tajam setelah Oktober 2023, para ahli menyebut akar sejarahnya jauh lebih dalam.

"Fenomena ini berakar pada wacana kolonial dan orientalis,” ujar Asmaa El Idrissi, pengacara dan dosen di Universitas Ilmu Terapan Bochum, Jerman. "Kalau menilik literatur seratus tahun lalu, stereotip yang sama sudah muncul: orang Arab atau kaum muslim dianggap irasional dan terbelakang.”

Setelah serangan 11 September 2001 di Amerika Serikat, citra itu semakin menguat. Arab dan kaum muslim digambarkan sebagai berbahaya dan dekat dengan terorisme. Stereotip tersebut terus membentuk persepsi publik dan kebijakan hingga kini.

Bagi El Idrissi, kunci memahami sentimen anti-Palestina ada pada penyangkalan terhadap Nakba - kata Arab yang berarti "malapetaka” - yakni pengusiran dan perampasan tanah warga Palestina saat perang Arab–Israel 1948.

Pada 14 Mei 1948, Negara Israel diproklamasikan di atas tanah Palestina. Menurut Biro Pusat Statistik Palestina, lebih dari 800 ribu orang diusir dari kampung halaman mereka, dan sedikitnya 15 ribu tewas.

Tuduhan Kekerasan Polisi terhadap Politisi Partai Kiri di Aksi Protes Berlin

01:42

This browser does not support the video element.

Namun, Nakba sering kali disangkal atau dihapus dari percakapan publik. "Penolakan terhadap Nakba menjadi narasi inti untuk mendelegitimasi tuntutan hak setara dan kebebasan hidup,” ujar El Idrissi.

Dia menegaskan, melawan disinformasi, propaganda, dan rasisme terhadap Palestina harus dimulai dari pendidikan dan kesadaran sejarah.

"Apa sejarah Palestina? Apa sejarah Jerman? Dan kewajiban moral serta hukum apa yang dituntut oleh sejarah itu terhadap konflik ini?” katanya.

Persamaan palsu: Palestina bukan Hamas

Salah satu narasi keliru yang paling mengakar adalah penyamaan setiap aspirasi kemerdekaan Palestina dengan Hamas. Narasi ini, menurut para pakar, kerap digunakan untuk membenarkan hukuman kolektif, yang jelas bertentangan dengan hukum internasional.

Hamas adalah partai politik dengan sayap militer yang diklasifikasikan sebagai organisasi teroris oleh Uni Eropa, Jerman, dan sejumlah negara lain. Partai ini memenangkan pemilu regional terakhir pada 2006 - tanpa mayoritas suara. Sejak itu, tidak ada lagi pemilu baru karena perpecahan politik antara Hamas dan Fatah, partai yang mengendalikan Otoritas Palestina di Tepi Barat, serta pendudukan dan blokade Israel yang berkelanjutan.

"Yang terjadi di sini adalah bentuk hukuman kolektif, yang jelas tak dapat dibenarkan dalam hukum internasional,” kata El Idrissi.

Dampaknya, kematian warga sipil di Gaza sering kali dianggap sepele dan minim dilaporkan. Abukhater memberi contoh: ketika sebuah mobil atau tenda di Gaza dibom, dan lima anak tewas, orang akan berkata, "Mungkin ada anggota Hamas di situ.” Dan itu cukup bagi banyak pihak untuk melanjutkan ke berita berikutnya.

Protes Tolak Deportasi Aktivis Pro-Palestina

02:09

This browser does not support the video element.

Disinformasi dan rasisme: Aliansi maut

Sikap bias terhadap Palestina diperparah oleh pemberitaan yang bernada rasial. Peneliti Palestina Hanan Sahmoud mencatat bagaimana media Eropa kerap melukiskan warga Palestina sebagai "biadab”. Pandangan dehumanisasi ini lalu diadopsi publik dan berulang dalam siklus yang saling memperkuat. Di media sosial, warga Palestina sering digambarkan sebagai "tikus”, bahkan beberapa pejabat Israel pernah menggunakan istilah serupa.

Pada 9 Oktober 2023, Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant menyatakan, "Saya memerintahkan pengepungan total terhadap Jalur Gaza. Tidak ada listrik, tidak ada makanan, tidak ada bahan bakar. Kami memerangi binatang manusia dan akan bertindak sesuai itu.”

Pernyataan yang mencerminkan dehumanisasi itu, kata El Idrissi, menciptakan "kesenjangan empati” yang berujung pada pembenaran atas perlakuan tidak setara.

Propaganda serupa kembali muncul dalam disinformasi kelaparan Gaza 2025. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengklaim tak ada kelaparan di Gaza, dan anak-anak tampak kurus bukan karena blokade bantuan, melainkan karena penyakit bawaan.

Padahal, laporan PBB menyebut kelaparan di Gaza bersifat buatan manusia.

Narasi yang menjustifikasi perang sebagai "perang yang adil” bukan hal baru. Banyak penelitian menunjukkan disinformasi dan propaganda selalu menjadi bahan bakar kekerasan di berbagai konflik dunia. Dalam perang Gaza, propaganda dan dehumanisasi berjalan seiring, memperkuat keyakinan rasialis bahwa ada ras yang lebih tinggi dari yang lain.

PBB kecam berutalitas aparat terhadap demo Palestina

Dinamika serupa juga tampak di Jerman. Banyak media menggambarkan warga Palestina dan siapa pun yang bersolidaritas dengan mereka sebagai ancaman. "Semuanya dicap keras, antisemit, dan antidemokrasi,” kata El Idrissi.

Abukhater menambahkan, "Ini anggapan rasis—seolah siapa pun yang mendukung hak Palestina pasti pro-teroris.”

Pola ini tercermin dalam kekerasan polisi terhadap demonstran pro-Palestina dan pemberitaan yang memihak. Dalam pernyataan 16 Oktober, para ahli PBB menyatakan keprihatinan atas "pola kekerasan polisi dan pengekangan kebebasan berekspresi di Jerman.”

Kepolisian Jerman dikecam karena acap dilaporkan bertindak brutal terhadap demonstrasi pro-Palestina di Jerman.Foto: Christophe Gateau/dpa/picture alliance

Dalam beberapa tahun terakhir, demonstran solidaritas Palestina di Jerman kerap mengalami kekerasan aparat, bahkan ada yang luka berat. Pada 15 Mei, saat peringatan Hari Nakba, media Jerman melaporkan seorang polisi terluka parah oleh demonstran. Penyelidikan kemudian menemukan hal sebaliknya: justru demonstran yang menjadi korban kekerasan polisi.

Bias media dan monopoli sumber resmi

Masalah lain ada pada ketergantungan media terhadap sumber resmi Israel. Banyak pemberitaan tentang konflik Timur Tengah bersandar pada pernyataan militer atau pemerintah Israel, tanpa verifikasi silang atau analisis kritis.

Analisis terhadap hampir 4.853 judul berita media Jerman antara 7 Oktober 2023 dan 19 Januari 2025 menunjukkan mayoritas outlet berita besar bergantung hampir sepenuhnya pada sumber resmi Israel.

Contohnya, pada Agustus, jurnalis Gaza berusia 28 tahun Anas al-Sharif tewas akibat serangan Israel. Militer Israel mengklaim, tanpa bukti, bahwa al-Sharif memimpin sel Hamas. Klaim ini diulang sejumlah media Jerman, termasuk tabloid Bild, meski tak ada dasar faktual.

Propaganda marak di media sosial

Platform media sosial turut berperan besar memperkuat konten anti-Palestina. Disinformasi biasanya memancing emosi, dan algoritma media sosial sering kali mempromosikan konten ekstrem kanan dan ujaran kebencian.

"Kita tahu algoritma mendorong konten ekstremis,” ujar El Idrissi.

Penelitian DW dan European News Spotlight mengungkap bahwa pada September lalu, pemerintah Israel menggelontorkan sedikitnya €42 juta untuk iklan propaganda anti-Palestina di media sosial. Pada 22 Agustus, hari yang sama ketika badan pangan PBB IPC menyatakan Gaza mengalami "kelaparan buatan manusia,” Biro Iklan Pemerintah Israel justru meluncurkan kampanye yang menyangkal kelaparan tersebut.

Meta—pemilik Facebook dan Instagram—belakangan memangkas program pemeriksaan fakta pihak ketiga di berbagai negara. Investigasi 7amleh menunjukkan bahwa sistem iklan Meta menerima dan bahkan mendapat keuntungan dari konten kekerasan dan hasutan pada 2023 dan 2025. Laporan terbaru media juga mengungkap Israel telah menginvestasikan $6 juta untuk melatih ChatGPT agar berpihak pada narasi mereka.

Bagaimana melawan rasisme anti-Palestina?

Menurut Abukhater, masyarakat harus memberi ruang bagi warga Palestina untuk menceritakan kisah mereka sendiri. "Palestina sering kali dibicarakan, tapi jarang diberi kesempatan untuk berbicara.”

Selain meningkatkan representasi, media perlu meninjau bias personal dan struktural.

"Harus ada pembahasan yang lebih luas tentang rasisme anti-Palestina—mengakuinya sebagai konsep, memeriksa bahasa yang digunakan, dan bagaimana hal itu dipakai untuk mendehumanisasi serta menuduh seluruh warga Palestina.”

 

 

Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Rizki Nugraha
Editor: Yuniman Farid

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait