Apakah dalam kehidupan sehari-hari sikap diskriminasi masih Anda temui? Dalam peringatan hari penghapusan diskriminasi rasial kali ini, kami menghimpun berbagai opini mengenai isu diskriminasi di tanah air.
Iklan
Di Sharpeville, Afrika Selatan, pada tanggal 21 Maret 1960 terjadi kerusuhan antara polisi dan demonstran. Para demonstran memprotes kebijakan pemerintah yang diskriminatif dan rasis. Puluhan orang tewas dalam peristiwa itu, sementara puluhan lainnya mengalami luka-luka. Untuk memperingati tragedi Sharpeville, pada tahun 1966, Dewan Keamanan PBB menyatakan tanggal 21 Maret sebagai Hari Penghapusan Diskriminasi Rasial Sedunia.
Praktik diskriminasi merupakan fenomena yang terjadi di berbagai belahan dunia. Di Indonesia, meski merupakan negara hukum (rechtstaat). Namun demikian, hingga kini praktik diskriminasi masih merajalela. Dalam kolom opini #DWNesia analis HAM, Amiruddin al Rahab mengulas berbagai macam model praktik diskriminasi yang masih berlangsung hingga kini di tanah air, baik diskriminasi rasial, maupun diskriminasi lainnya.
Jika ditelisik ke belakang, diskriminasi sudah belangsung sejak Indonesia belum merdeka. Belanda, pada tahun 1849, memperkenalkan kebijakan segregasi hukum perdata, ‚Indische Staatregeling‘ yang diterapkan mulai tahun 1926. Kebjiakan ini mengatur pembagian golongan di hadapan hukum, dengan memisahkan antara Golongan Eropa, Golongan Timur Asing, dan Golongan Bumi Putra atau pribumi.
Di zaman kemerdekaan hingga Orde baru, berlaku kewajiban kepemilikan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia atau biasa disingkat SBKRI bagi warga keturunan Tionghoa. Kepemilikan SBKRI adalah salah satu syarat yang harus dipenuhi seseorang untuk mengurus berbagai keperluan, seperti kartu tanda penduduk (KPT), paspor, dan lain-lain.
Menjelang berakhirnya era Orde Baru, kembali terjadi kasus diskriminasi rasial yang menonjol, yakni kerusuhan Mei 1998, dimana aksi-aksi kekerasan terjadi di berbagai kota besar di Indonesia , dan terutama memakan korban para warga keturunan Tionghoa. Setelah Orde baru berakhir, kekerasan berbasis diskriminasi berlanjut di beberapa wilayah di Indonesia, seperti misalnya di Sampit, pada tahun 2001.
Kini isu diskriminasi masih dimanfaatkan oleh kepentingan-kepentingan tertentu, misalnya dalam masa pemilihan kepala daerah. Di media sosial mudah ditemui komentar-komentar yang berupaya menjatuhkan pihak lain, lewat isu rasial. Pro dan kontra mengenainya pun membanjiri jejaring sosial internet.
Bagaimana opini Anda mengenai masalah diskriminasi, khususnya diskriminasi rasial di tanah air? Bagi pendapatmu di facebook dw_indonesia dan ikuti diskusinya di akun twitter @dw_indonesia. jangan lupa cantumkan tagar #DWNesia dalam diskusi ini. Salam.
Diskriminasi Kulit Hitam di Amerika Serikat
Diskriminasi terhadap warga kulit hitam di Amerika Serikat masih menjadi momok. Di banyak bidang situasinya justru memburuk setelah era Martin Luther King.
Foto: picture-alliance/dpa/Justin Lane
Sebuah Ilusi tentang Persamaan
Ketika Barack Obama dikukuhkan sebagai presiden kulit hitam pertama AS, banyak yang menilai Amerika Serikat telah memasuki era "Post Racial", sebuah negara tanpa perbedaan ras dan diskriminasi. Tidak cuma kasus di Ferguson, data-data statistik lainnya mengubur imipian tersebut.
Foto: Reuters
Kemiskinan
Penduduk kulit hitam mendominasi statistik kemiskinan Amerika Serikat. Situasi tersebut tidak berubah banyak sejak 30 Tahun lalu. Tahun 1974 cuma 8 persen warga kulit putih dililit kemiskinan (kini 10%), sementara pada warga kulit hitam jumlahnya sebesar 30 persen (kini 28%).
Foto: Reuters
Separuh Prespektif
Diskriminasi di pasar tenaga kerja AS berlangsung hampir secara sistematis. Tingkat pengangguran masyarakat kulit hitam sejak 50 tahun adalah dua kali lipat lebih tinggi ketimbang warga kulit putih. Mirisnya jumlah tersebut tidak berubah terlepas dari pertumbuhan ekonomi atau perubahan pada tingkat pengagguran secara umum.
Foto: picture-alliance/dpa/Justin Lane
Perbedaan Pendapatan
Sejak 1950 pendapatan rata-rata warga kulit hitam selalu berada di bawah 60% dari upah yang diterima oleh warga kulit putih. Cuma pada tahun 1969/1970 jumlahnya meningkat menjadi sekitar 63 persen.
Foto: DW/G. Schließ
Jurang Kemakmuran
Saat ini rata-rata kekayaan warga kulit putih berkisar 97.000 US Dollar. Sementara warga hitam cuma berkisar 4.900 USD, atau 1500 USD lebih sedikit ketimbang tahun 1980. Melihat perbedaan pendapatan antara dua kelompok yang signifikan, tidak heran jika kemampuan warga Afro-Amerika buat menabung atau menyimpan harta lebih sedikit ketimbang warga kulit putih.
Foto: picture alliance/landov
Risiko Dibui
Peluang buat seorang warga kulit hitam mendekam di balik terali bui enam kali lipat lebih besar ketimbang seorang kulit putih. Menurut data NAACP, organisasi lobi kulit hitam AS, jumlah warga kulit putih yang menggunakan narkoba lima kali lipat lebih banyak ketimbang warga hitam. Namun warga Afro-Amerika yang didakwa terkait narkoba berjumlah 10 kali lipat lebih banyak ketimbang kulit putih
Foto: M. Tama/Getty Images
Cuma Pendidikan Dasar
Menurut catatan tahun 2012, cuma 21 persen warga Afro-Amerika yang memiliki ijazah universitas. Sementara warga kulit putih mencatat angka 34 persen. Secara ironis Departemen Pendidikan AS mengeluarkan statistik 2009 lalu, bahwa untuk pertamakalinya terdapat lebih banyak pemuda kulit hitam yang sedang berkuliah ketimbang mendekam di penjara.
Foto: Reuters
Pendidikan Terpisah
Pengucilan adalah keseharian pada sistem pendidikan AS. Hampir 40 persen bocah kulit hitam menempuh pendidikan di sekolah-sekolah yang juga didominasi oleh murid Afro-Amerika. Jumlah ini banyak berkurang ketimbang tahun 1968 yang mencatat angka 68%. Tidak berubah adalah fakta bahwa tigaperempat bocah kulit hitam belajar di sekolah yang lebih dari 50% muridnya non kulit putih.
Foto: Chris Hondros/Newsmakers/Getty Images
Besar di Ghetto
Segregasi di tengah masyarakat AS juga terlihat pada tempat tinggal. 45 persen bocah kulit hitam yang berasal dari keluarga miskin, hidup di wilayah-wilayah kumuh atau Ghetto. Sebaliknya cuma 12 persen bocah kulit putih yang hidup dalam situasi serupa.
Foto: picture alliance / blickwinkel/Blinkcatcher
Dua Realita yang Berjauhan
Lebih dari 50% warga kulit hitam Amerika Serikat menyebut empat hal sebagai ladang diskriminasi, yakni perlakuan aparat kepolisian, pekerjaan, pengadilan dan sekolah. Sementara pada warga kulit putih jumlahnya kurang dari 30 persen. Secara keseluruhan penduduk Afro-Amerika meyakini adanya praktik diskriminasi berbau rasisme terhadap mereka, entah itu di restoran atau rumah sakit.
Foto: Getty Images
Euforia Berakhir
Sebanyak 35% Warga kulit putih menilai kondisi hidup mereka lebih baik ketimbang lima tahun lalu. Sementara pada warga Afro-Amerika, jumlahnya cuma berkisar 26 persen. Euforia sempat memuncak ketika Barack Obama terpilih sebagai presiden Amerika 2009 silam. Namun kini harapan akan perbaikan situasi warga kulit hitam tergerus oleh realita.