Diskrimasi masih ada. Di Indonesia, apakah pemerintah berusaha mengatasinya, berdiam atau malah mentolerirnya? Melawan sikap diskriminatif di Indonesia adalah perjuangan sepanjang hayat. Perspektif Amiruddin al Rahab.
Iklan
Perilaku diskriminasi adalah tantangan serius dunia saat ini. Di berbagai belahan dunia muncul kelompok-kelompok dan bahkan tokoh-tokoh mengopinikan sikap dan perilaku diskriminatif tersebut.
Begitu pula di Indonesia, perilaku diskriminatif masih ada. Berkembangnya demokrasi dan wacana hak asasi manusia di Indonesia belum mampu menghilangkan sikap dan perilaku diskriminatif tersebut.
Sikap dan perilaku diskrimintaif di Indonesia berjalan dalam dua model. Pertama, perilaku yang ditunjukkan oleh komunitas-komunitas tertentu terhadap komunitas lain yang berbeda paham atau orientasi religiusitas, politik ataupun etnik. Kedua, yaitu tindakan diskriminatif yang didukung oleh otoritas-otoritas politik lokal terhadap beberapa kelompok yang secara sosiologis bisa disebut “minoritas”.
Model pertama itu membiak dalam ruang demokrasi, karena mereka memanfaatkan alam demokrasi untuk menunjukkan diri. Kelompok seperti ini melakukan tindakan langsung ketika ada kelompok lain yang tidak sehaluan dengan mereka. Kita mudah menemukannya di Indonesia saat ini, karena mereka tersebar di berbagai tempat. Sekedar menyebut contoh, terjadi di Madura dan Bangka-Belitung. Sekelompok orang dengan paham tetentu, menyerang kelompok lain yaitu kelompok Ahmadiyyah, dengan tujuan agar orang-orang Ahmadiyyah tersebut pergi atau tersingkir dari kediamannya.
Model kedua menjalar dalam otoritas-otoritas pemerintahan daerah, khususnya kabupaten. Ratusan Peraturan Daerah (Perda) saat ini dibuat oleh berbagai Kabupaten yang ditengarai bernuansa diskriminatif dan menyingkirkan kelompok-kelompok masyarakat dan atau perempuan. Sebagai contoh, bisa disebutkan ada di Aceh, dan juga di beberapa kabupaten di Jawa Barat. Pemerintah pusat belum mampu membendung kecenderungan itu, meskipun sudah menyatakan Perda yang diskriminatif tidak boleh ada. Tetapi gejala itu berjalan terus.
Mengabadikan Kekuatan Supranatural
Men, Mountains and Sea merupakan proyek foto hitam putih Rony Zakaria yang mengabadikan hubungan antara manusia dengan alam. Ia memotret panorama Indonesia dengan ritual berbagai kepercayaan dan penghormatan kepada alam.
Foto: Rony Zakaria
Bromo, Jawa Timur, 2009
Kawah Tengger, Gunung Bromo, Gunung Batok dan Semeru di malam hari, sebelum puncak perayaan Hindu Yadnya Kasada, dimana orang-orang Tengger memohon berkah dari Hyang Widi Wasa, dengan melemparkan sesajen berupa makanan dan hasil panen mereka ke kawah Gunung Bromo.
Foto: Rony Zakaria
Merapi, Jawa Tengah, 2008
Seorang pria berjalan di puncak gunung. Puncak Gunung Merapi, dengan Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing sebagai latar belakangnya. Gunung Merapi merupakan salah satu dari lebih 100 gunung berapi aktif di Indonesia.
Foto: Rony Zakaria
Bromo, Jawa Timur, 2012
Para peziarah tengah beristirahat di pinggiran kawah Gunung Bromo. Masyarakat setempat sangat menghormati gunung di pulau Jawa yang dianggap sakral ini.
Foto: Rony Zakaria
Bromo, Jawa Timur 2009
Para pemuka adat Tengger mengumpulkan air suci di air terjun Madakaripura sebagai bagian dari ritual perayaan Yadnya Kasada. Selama festival berlangsung, para warga memohon berkat dari Hyang Widi Wasa dengan memberikan sesajen.
Foto: Rony Zakaria
Yogyakarta, 2009
Para wisatawan di pantai Parangtritis menikmati matahari terbenam. Di pantai ini diyakini sebagai wilayah kekuasaan Nyai Roro Kidul, penguasa pantai selatan. Para pengunjung biasanya tidak disarankan memakai pakaian berwarna hijau, karena ada kepercayaan bahwa mereka yanag berpakaian hijau akan diambil oleh Ratu Pantai Selatan.
Foto: Rony Zakaria
Yogyakarta, 2009
Warga Yogyakarta bersembahyang di Pantai Parangkusumo, dalam upacara Labuhan Alit. Mereka memohon jalan keluar dari masalah-masalah kehidupan yang dihadapi. Mulai dari masalah keuangan, karir, keluarga, percintaan dan lain-lain.
Foto: Rony Zakaria
Bali, 2008
Seorang pria di pantai Batubolong Bali sedang mencuci topeng tradisional di laut untuk upacara penyucian. Emas dan mutiara hiasan topeng ini dicuri beberapa waktu sebelumnya. Jadi warga lokal ingin membuang sisa-sisa kejahatan itu dengan melarungkannya di laut.
Foto: Rony Zakaria
Jepara, 2012
Parade perahu nelayan di pantai Jepara dalam ritual “Sedekah Laut“, merupakan tradisi rutin memberikan sesajen kepada penguasa laut. Ritual dipercaya dapat memberikan berkah bagi musim mencari ikan berikutnya.
Foto: Rony Zakaria
8 foto1 | 8
Dalam realitasnya sikap dan perilaku diskriminaatif di Indonesia merentang mulai dari isu hak-hak kelompok minoritas, etnis, agama, ekonomi, perempuan, sampai isu LGBT.
Jadi, yang menjadi tantangan Indonesia kini dan di masa datang adalah bagaimana kualitas demokrasi yang terus berkembang mampu untuk menghilangkan sikap dan perilaku diskriminatif tersebut.
Sesungguhnya Indonesia memiliki modal yang kuat untuk menghilangkan sikap dan perilaku diskriminatif, baik yang dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat, maupun oleh perangkat pemerintah sendiri.
Modal itu adalah Konstitusi Indonesia yang menjamin perlakuan setara bagi setiap warga negara. Bukan itu saja, saat ini Indonesia memiliki lembaga HAM, seperti Komnas HAM, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Komisi Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Juga Indonesia sudah meratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Namun, modal formal itu belum cukup, sebab Indonesia begitu multi-etnik dengan ratusan etnis yang tersebar dan terpencar di belasan ribu pulau. Begitu pula, keyakinan religius masyarakat Indonesia adalah terdiri dari agama-agama besar dan adanya keyakinan-keyakinan leluhur yang berkembang saling-silang di antara ratusan etnik yang mendiami ribuan pulau itu.
Melihat karakter masyarakat Indonesia yang seperti itu, tentu dibutuhkan perhatian yang serius sepanjang waktu oleh pemerintah dan tokoh-tokoh publik agar perilaku dan sikap diskriminatif dapat terkikis. Singkatnya, melawan sikap dan perilaku diskriminatif di Indonesia adalah perjuangan sepanjang hayat.
Tidak boleh ada waktu lengah. Sedikit saja pemerintah abai, sikap dan perilaku diskriminatif mudah terjadi. Baik didorong oleh kelompok tertentu, maupun oleh kecerobohan aparatur pemerintah itu sendiri.
Jadi, diskriminasi di Indonesia masih ada. Oleh karena itu yang harus paling depan melawan sikap dan perilaku diskriminasi di Indonesia adalah pemerintah dan kelompok-kelompok masyarat yang menyakini demokrasi dan HAM adalah senjata untuk mereduksi akibat buruk dari tindakan diskriminasi tersebut.
Penulis:
Amiruddin al Rahab adalah analis Politik dan Hak Asasi Manusia, saat ini Direktur Komunikasi Institut Riset Sosial dan Ekonomi.
@amir_alrahab
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Kami tunggu komentar Anda.
Pasola: Darah yang Tumpah Menyambut Panen
Pasola digelar setiap tahun di Sumba, merupakan salah satu tradisi paling berdarah. Masyarakat meyakini, darah yang tumpah dari pertempuran menjamin baiknya hasil panen mendatang. Mohammad Fadli mengabadikan ritual itu
Foto: Muhammad Fadli
Terpencil
Di Sumba barat, warga menggelar permainan Pasola di kampung-kampung terpencil seperti misalnya di Kodi dan Wonokaka. Tradisi turun-temurun ini dilakukan sebagai penghormatan kepada leluhur, yang diyakini akan membawa kesuburan dan kemakmuran bagi lahan pertanian setempat.
Foto: Muhammad Fadli
Tradisi Kuno
Pasola adalah sebuah tradisi kuno dari Sumba. Aktivitas ini dikategorikan sebagai olahraga ekstrim sekaligus budaya ritual. Pasola digelar rutin setiap tahun untuk menyambut musim panen. Di medan perang, prajurit Pasola menunggang kuda dan menggunakan tombak sebagai senjata mereka. Namun, kecelakaan fatal masih sering terjadi.
Foto: Muhammad Fadli
Kuda Sumba
Johanes Ndara Kepala, adalah seorang ksatria kawakan Pasola. Dia memandikan kudanya di Sungai Waiha, dekat desanya Waingapu, Kodi. Sumba adalah salah satu pusat penangkaran kuda yang terbaik di Indonesia.
Foto: Muhammad Fadli
Doa dan Berkat
Sebelum dimulainya pertempuran, kuda harus diberkati oleh Rato (tetua adat spiritual Sumba). Upacara Pasola ini terjadi hanya sekali dalam setahun, pada bulan Februari atau Maret. Tanggal tepatnya diputuskan oleh para pemimpin spiritual yang diumumkan satu atau dua minggu sebelum festival, menjelang musim panen.
Foto: Muhammad Fadli
Mantra dan Tombak Melesat
Seorang ksatria Pasola membedal kudanya sebelum melempar tombak ke arah musuh. Pasola bergerak seiring irama kuno. Diawali dengan mantra. Kemudian berdoa kepada para dewa dan melakukan perembukan hingga akhirnya tombak pun terbang.
Foto: Muhammad Fadli
Hari Suci
Massa berkumpul di sisi arena Pasola di Kodi. Banyak warga di daerah ini percaya pada ritual kuno yang disebut Marapu. Hari-hari di sekitar acara Pasola dianggap sebagai hari suci. Banyak dari mereka berasal dari desa-desa yang jauh dan khusus datang ke Kodi untuk menonton Pasola.
Foto: Muhammad Fadli
Para Ksatria Pemberani
Seorang prajurit Pasola bersiap untuk melemparkan tombaknya ke arah musuh. Pasola berasal dari kata Sola atau Hola berarti semacam lembing yang digunakan dengan cara dilempar ke arah lawan yang juga sama-sama menunggang kuda. Penunggang kuda untuk ritual ini biasanya laki-laki terampil berpakaian adat.
Foto: Muhammad Fadli
Tombak Menghantam Lawan
Seorang prajurit Pasola terkena tombak musuh. Aksi sengit yang amat melelahkan. Jika prajurit tak hati-hati, ia bisa terkena tombak lawan dan terjatuh dari kuda.
Foto: Muhammad Fadli
Pemenang
Seorang ksatria Pasola merayakan kejayaannya. Pasola menjadi perpaduan unik budaya dan olahraga. Suasana sangat meriah – penonton kadang-kadang agresif, suara penonton mengiringi suara kuda dan tombak yang terbang di udara.
Foto: Muhammad Fadli
Menanti Darah Tumpah
Sorak-sorai kerumunan penonton bergemuruh saat jagoan mereka memukul mundur musuh. Meskipun tombak kayu tidak lagi diasah setajam mungkin, terjadinya cedera serius masih menjadi bagian dari pertempuran. Di lain pihak, masyarakat percaya, darah yang jatuh ke bumi dalam acara Pasola merupakan hal penting dalam pembersihan dan pemurnian lahan pertanian.
Foto: Muhammad Fadli
Mengorbankan Mata
Kuda berderap dengan kecepatan penuh dan ksatria melemparkan tombak sekuat tenaga. Pasola cukup berbahaya bagi pesertanya. Foto ini adalah contohnya: salah seorang prajurit Pasola yang mata kirinya hampir buta karena pertempuran. Tapi, tidak akan ada balas dendam antara peserta setelah Pasola berakhir.
Foto: Muhammad Fadli
Generasi Berikutnya
Dua calon ksatria muda Pasola dari Tosi, Kodi mulai berlatih. Tradisi rakyat terus berlanjut. Mereka mengatakan tidak takut mati. Karena mereka percaya, kematian adalah pintu gerbang ke sebuah kerajaan yang kekal, di mana nenek moyang mereka tinggal.