1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikSri Lanka

Dissanayake, Tokoh Haluan Marxis Unggul di Pemilu Sri Lanka

23 September 2024

Anura Kumara Dissanayake yang berhaluan Marxis dinyatakan sebagai presiden terpilih oleh komisi pemilihan Sri Lanka, setelah penghitungan suara preferensi kedua untuk pertama kalinya dilakukan dalam sejarah negara itu.

Presiden Sri Lanka terpilih Dissanayake
Dissanayake mengklaim kemenangan pada Minggu malamFoto: REUTERS

Komisi Pemilihan Umum Sri Lanka mengatakan pada Minggu malam (22/9) bahwa kandidat berhaluan Marxis, Anura Kumara Dissanayake dan partainya, memenangkan pemilihan umum dengan 42,31% suara dalam pemilu yang berlangsung pada Sabtu (21/9).

Hasil tersebut diumumkan setelah otoritas Sri Lanka melakukan penghitungan suara preferensi kedua, pertama kalinya dalam sejarah negara tersebut.

Sebelumnya dalam penghitungan pertama, Dissanayake dan pemimpin oposisi, Sajith Premadasa, berada di posisi teratas, tetapi keduanya gagal meraih 50% suara yang dibutuhkan untuk menang langsung, sehingga dilanjutkan dengan penghitungan suara preferensi kedua. Premadasa sempat mengejar dalam penghitungan tersebut, namun Dissanayake tetap unggul dan tidak bisa dikejar lagi.

Hasil akhir menunjukkan Premadasa mendapatkan 32,76% suara, tertinggal hampir 10% dari Dissanayake. Setelah semua suara preferensi dihitung, Dissanayake unggul lebih dari 1,2 juta suara.

Dalam penghitungan suara preferensi kedua, mekanisme pemilihan di Sri Lanka tidak mewajibkan partai politik untuk meraih 50% suara, cukup dengan menjaga keunggulan setelah penghitungan kedua dilakukan.

Tingkat partisipasi pemilih di Sri Lanka sangat tinggi, mencapai hampir 80%, dengan lebih dari 13,6 juta suara diberikan di seluruh negeri.

Presiden terpilih Sri Lanka, Anura Kumara Dissanayake, saat berbicara kepada wartawan dalam perjalanannya menuju komisi pemilihan umum di KolomboFoto: REUTERS

Dissanayake: 'Kemenangan ini milik kita semua'

"Mimpi yang telah kita rawat selama berabad-abad akhirnya menjadi kenyataan," tulis Dissanayake di media sosial.

Dia menyebut pencapaian ini "bukan hasil kerja satu orang, melainkan upaya kolektif dari ratusan ribu pendukungnya."

"Jutaan mata yang penuh harapan mendorong kita untuk maju, dan bersama-sama, kita siap untuk menulis ulang sejarah Sri Lanka," katanya.

Petahana Wickremesinghe kalah di awal

Setelah hasil penghitungan pertama diumumkan, sudah jelas bahwa hanya Dissanayake dan Premadasa yang masih bersaing, sementara kandidat lainnya, termasuk presiden petahana Ranil Wickremesinghe, tersingkir dari kontestasi politik.

Wickremesinghe, yang menjadi presiden saat krisis ekonomi melanda Sri Lanka pada 2022 dan memberlakukan kebijakan penghematan ketat, berada di posisi ketiga dengan hanya meraih 17,27% suara.

Partainya akhirnya hanya memenangkan 17,27%.

Apa yang akan terjadi selanjutnya?

Wickremesinghe belum secara resmi mengakui kekalahan, namun Menteri Luar Negeri Ali Sabry mengatakan bahwa kemenangan Dissanayake sudah jelas.

"Meski saya mendukung Ranil Wickremesinghe, rakyat Sri Lanka telah membuat keputusan mereka, dan saya menghormati pilihan mereka untuk Anura Kumara Dissanayake,” ujar Sabry di media sosial.

Sementara itu, Vijitha Herath, wakil dari partai Dissanayake, mengimbau para pendukung untuk tetap sabar selama penghitungan suara preferensi kedua selesai.

Penghitungan suara preferensi kedua untuk pertama kalinya digelar dalam sejarah Sri LankaFoto: Wu Yue/Xinhua/picture alliance

"Kami yakin akan menang, namun komisi pemilihan umum harus menyelesaikan penghitungan suara preferensi dan itulah yang menyebabkan hasil akhir tertunda,” kata Herath dalam video yang diunggah di media sosial.

Isu ekonomi menjadi topik utama selama kampanye delapan minggu terakhir. Banyak warga marah atas kebijakan penghematan yang diberlakukan sejak puncak krisis dua tahun lalu.

Dissanayake berjanji tidak akan membatalkan kesepakatan dengan Dana Moneter Internasional (IMF) yang mewajibkan penghematan sebagai syarat bantuan ekonomi. Namun, ia berniat mengubah syarat kesepakatan tersebut melalui negosiasi ulang.

Partai Dissanayake, yang dulu berada di pinggiran politik dan pernah memimpin dua pemberontakan Marxis yang gagal di tahun 1970-an dan 1980-an, mulai mendapatkan dukungan besar setelah krisis ekonomi beberapa tahun terakhir.

Pada pemilu 2020, partai Dissanayake hanya meraih kurang dari 4% suara. Namun, krisis ekonomi yang berlangsung selama empat tahun terakhir memberikan kesempatan bagi partainya untuk berkembang pesat.

Dissanayake menyalahkan krisis utang negara pada budaya politik yang "korup", meski faktor-faktor ekonomi global juga ikut berperan.

"Kita butuh budaya politik baru di negara ini,” katanya setelah memberikan suaranya pada Sabtu lalu. rs/gtp (Reuters, AP)

 

 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait