1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Kesehatan

Dokter Asal Bali Meneliti Pentingnya Buku KIA di Berlin

Sorta Caroline
14 Januari 2020

Bagi dokter Anya, buku Kesehatan Ibu Anak (KIA) tak sekadar menyimpan catatan vaksinasi. Buku ini bantunya menelusur isu penting lainnya seperti pemberian informasi terkait nutrisi hingga alergi.

Made Ayu Dwi Pradnyawati
Foto: Privat

Made Ayu Dwi Pradnyawati atau Anya, kini menempuh pendidikan master di Charité - Universitätsmedizin Berlin jurusan International Health. Dokter umum asal Bali ini punya perhatian khusus akan kesehatan ibu dan anak. “Dulu sempat ingin jadi dokter anak, tapi ternyata lebih senang melihat anak-anak itu sehat, jadi sekarang lebih fokus ke preventive medicine (red. ilmu kedokteran pencegahan)”, ujarnya. Bagi Anya pencegahan penyakit masih minim diperhatikan, padahal ini bisa bantu menekan biaya pengobatan. 

Mendalami preventive medicine pada anak dimulai Anya lewat meneliti efektifitas buku Kesehatan Ibu Anak di Indonesia. Lantas seperti apa hasil penemuan Anya? Simak perbincangannya dengan DW Indonesia.

DW: Kenapa ingin meneliti buku Kesehatan Ibu Anak?

Anya: Hingga saat ini, buku KIA adalah satu-satunya media pencatatan kesehatan yang dipegang oleh pemiliknya sendiri, oleh si Ibu terutama saat anak mendapatkan vaksin. Ini juga berangkat dari pengalamanku sendiri, walau ibu seorang bidan, aku tidak punya buku catatan vaksin ini. Sehingga saat vaksin harus ambil lagi saat dewasa. Ini kan kurang efektif, kita perlu bayar lagi dan lagi. Selain itu ada beberapa aspek yang menarik dilihat dari buku kesehatan ibu dan anak ini. 

Pertama, seberapa bagus perilaku penyimpanan buku masyarakat Indonesia dibandingkan region Asia lainnya, Afrika, maupun Eropa. 

Kedua, apa saja faktor yang mempengaruhi penyimpanan buku, apakah tingkat pendidikan, umur, jenis kelamin, penghasilan, jumlah anak di keluarga, urutan anak, ada pengaruhnya terhadap perilaku penyimpanan. 

Ketiga, perbandingan HBR, home based record (red. dasar rekaman kesehatan di rumah) dengan FBR, facility based record (red. dasar rekaman kesehatan berdasar fasilitas) seperti pembuatan rekaman dengan komputasi hingga tipe material bahan buku atau kartu.

Apa hasil penemuan Anya sejauh ini terhadap penelitian buku kesehatan ibu anak di Indonesia?

Metode pengambilan data di survey ini adalah cluster dengan populasi penelitian total 2079 responden orang tua dan 3096 anak. Pengambilan dataku belum secara menyeluruh. Dalam populasi penelitianku dengan  kepemilikan buku KIA sebesar 40.5% dengan rata-rata lama masa penyimpanan 63 bulan, sedang data Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan di tahun 2018 menunjukkan rata-rata buku KIA nasional adalah 55%
Faktor yang signifikan mempengaruhi penyimpanan buku ada tiga variable yang aku analisis yaitu: usia orang tua di mana orang tua di bawah 30 tahun lebih tinggi fekuensi kepemilikannya atas KIA, usia anak sembilan bulan hingga lima tahun cenderung masih memiliki KIA, dan besarnya jumlah anggota keluarga, keluarga dengan banyak anak cenderung jarang menyimpan buku KIA. 

Masing-masing negara punya kajian sendiri terhadap pencatatan informasi kesehatan anak. Ada yang lebih memilih tipe buku seperti Indonesia juga Jepang, Filipina. Di Eropa lebih pada tipe kartu simpel seperti yang diterapkan di Jerman, isinya relatif sederhana hanya seputar vaksinasi. Kalau di Afrika mereka pakai kartu tapi formatnya lipat. Ada informasi juga namun bisa dilipat kecil, jadi informasi disimpan bisa jadi lebih praktis. 

Indonesia masih merasa format buku itu yang paling berguna. Mungkin ini yang kita rasa paling tepat hingga saat ini. Vaksin pertama saat baru lahir itu vaksin hepatitis. Memang benar pemberian buku di hari pertama mengingat ada vaksin di hari pertama. Namun di sini itu fungsi buku kesehatan bukan sekadar buku vaksin, karena harusnya bisa lebih dimanfaatkan lebih untuk pemberian ragam informasi tentang nutrisi ibu anak, alergi, dan hal penting lainnya.

Untuk sistem HBR maupun FBR, mereka belum saling mendukung satu sama lain. Tidak ada data back up system (red. sistem penyimpanan data) yang baik sehingga masih ada resiko tinggi kehilangan data. Baik di rumah (HBR) maupun FBR dalam hal ini puskesmas. Aku memilih puskesmas karena data lebih homogen.

 

Kompetisi yang diselenggarakan oleh Bayer, salah satu perusaahan farmasi terbesar di dunia yang berasal dari Jerman.Foto: Privat

Anya sempat menyinggung soal stunting, ini juga ada kaitannya dengan KIA?

Nutrisi berimbang saat masa kehamilan punya peran penting pencegahan stunting. Itu nyambung lagi ke buku KIA, kalau informasi terkait nutrisi juga kena ke ibu hamil, stunting itu bisa dicegah. Nah banyak yang infonya masih sembarangan. Ibu hamil di Indonesia masih kerja sampai umur berapa. Mereka masih belum paham ketika bayi baru lahir, apa yang bayi perlu makan. Kebijakan yang berusaha memberikan informasi sudah ada cuma sampai sekarang itu belum sepenuhnya mengena. 

Di sini hambatannya ada tiga: desain buku dan isinya yang kurang tepat, target pembacanya (ibu) begitu sibuk atau masih malas membaca, dan peran pembuat kebijakan dalam hal meningkatkan kesadaran akan isu ini.

Design buku KIA pun berpengaruh. Bahkan dilakukan kompetisi oleh World Health Organization, WHO (red. Badan Kesehatan Dunia), untuk mengaji format buku apa yang sangat bagus untuk diaplikasikan. Ternyata di berbagai negara itu sangat berbeda. Ada yang dengan gambar, kode warna, atau polos aja seperti Jerman. Ini terkait tingkat compliance (red. kemauan) orang untuk memanfaatkan buku itu.

Terkait nutrisi anak, selain lewat KIA ada lagi program yang Anya sarankan untuk meningkatkan perhatian akan hal ini untuk anak?

Sebenarnya definisi anak sehat di Indonesia itu miris. Bayi gemuk atau anak gemuk itu dianggap sehat. Sering dengar ‘digemukin aja anaknya’ padahal ini salah. Tahun 2011 ada kompetisi Bayer Young Environmental Envoy. Kita bisa submit ide project, kalau terpilih proyek akan didanai dan mendapat field trip. Nah waktu itu ku kepikiran kenapa di Indonesia suplementasi makanan di sekolah itu tidak dilakukan sementara di negara lain itu adalah program yang bagus.

Aku pun buat proyek kebun organik di sekolah di mana anak-anak tanam sayur-sayuran. Memilih sayuran karena dari penelitian terakhir saat itu yang anak-anak kurang zat besi, vitamin A – yang intinya kita kurang makan sayur dan buah padahal kita banyak punya itu. 

Anak-anak tidak dilatih untuk makan sayur, namun dilatih untuk suka nasi. Nasi juga sumber karbohidrat tapi perlu berimbang. Nah kita perlu melihat bagaimana anak kita dapat dilatih makan secara benar. Sekarang proyek ini masih lanjut. Jumlah kebun-kebun di sekolah pun bertambah. Sekolah dengan lahan sempit bisa juga dengan buat lahan bertingkat. 

Nah tanamannya itu bayam, kol, wortel. Anak-anak antusias karena merasa dilibatkan, ada juga sistem piket kelas empat sampai enam yang mengelola ini. Karena mereka lihat, mereka tahu mereka yang kerjakan, mereka suka, kita buat juga kelas masak. Mereka senang sekali. Ada juga perubahan perilaku di kalangan gurunya, gurunya ikut semangat dan ingin menyebarkan itu ke tempat lain. 

Proyek kebun organik ini masih terus berjalan sampai sekarang.

Lainnya adalah dengan peran kampanye yang tepat. Kampanye kesehatan harus disesuaikan dengan demografi penduduk. Dulu sempat ada kampanye pemberian susu di sekolah Ini diadaptasi mentah dari program di Eropa, di mana pemberian susu itu sangat penting. Karena di negara empat musim, mereka banyak mengonsumsi makanan beku, berbeda dengan kita di Indonesia yang mendapatkan produk makanan segar. Solusi di Eropa itu adalah dengan susu dan produk olahan susu untuk asupan kalsium yang lebih tinggi.

Nah kita mengadaptasi konsumsi susu Eropa dengan pola 4 sehat 5 sempurna, disempurnakan dengan susu. Ternyata 4 sehat 5 sempurna itu kurang tepat setelah beberapa dekade kemudian dikaji, karena susu tidak menyempurnakan bagi ras kita di asia ini. Bukan itu kebutuhan utamanya. Kita lebih perlunya vitamin. Jenis makanan berbeda untuk program yang sama. Kampanye 4 sehat 5 sempurna sangat menempel di ingatan, sekarang belum ada kampanye tandingan dengan konten yang lebih tepat.


Apa isu lain yang erat kaitannya dengan buku KIA yang kini sedang dikaji Anya?

Di Jerman untuk mengeluarkan kebijakan kesehatan misalnya terkait nutrisi, mereka akan membuat penelitian dulu. Nah inilah yang ingin kupelajari metodenya. Seperti sekarang aku sedang melakukan penelitian epigenetika tentang alergi, tentang imunologi pada gen anak-anak. Mengapa di Jerman tingkat intoleransi gluten jadi banyak, padahal dulu tidak. Nah Indonesia masih minim informasi tentang ini – alergi seringkali kaitannya saat makan udang atau jadi gatal-gatal. Padahal gen alergi itu banyak sekali. Misal alergi makanan dari suatu tumbuhan, tumbuhan jenis apa? Ini diteliti jauh, jenis makanannya, pengolahannya, hingga transisi pengawetannya. Indonesia perlu dasar penelitian yang kuat sebelum keluarkan sesuatu.

Dari KIA aku pun mengembangkan penelitian ke proses vaksin baru untuk diadaptasi dalam negeri. Sampai sekarang kita masih menerapkan vaksin dasar. Sekarang ini kita baru nambah lagi vaksin Japanese Encephalities, tahun 2018. Sebelumnya butuh dua tahun sampai ini jadi mandatori untuk anak-anak. Kalau vaksin baru perlu masuk, bagaimana proses masuknya bisa lebih cepat dan efisien? Karena kita negara tropis yang rentan terhadap penyakit.

Apa pekerjaan sampingan selain studi dan apa rencana Anya setelah kuliah?

Kini kerja di start-up kesehatan. Aku menerjemahkan konten medis untuk target market Indonesia. Aku bikin juga konten yang terkait Indonesia. Intinya mereka mengembangkan konten ke ragam bahasa. Nah penyakit spesifik ada di Indonesia tapi tidak di Eropa. Lewat aplikasi start-up berbasis kecerdasan buatan ini orang bisa tanya sakit penyakit dan minta rekomendasi, saat tenaga dokter kurang di daerah tersebut. Orang sekarang kan sukanya googling, info yang kubuat kuharap bisa jelas membantu, walau hal ini tidak menggantikan konsultasi ke dokter.

Setelah kuliah aku berencana kembali ke Indonesia, kembali berpraktik dokter, juga terus mengembangkan aplikasi kesehatan ini.


*** Made Ayu Dwi Pradnyawati kini menempuh studi master di Institute of Tropical Medicine and International Health, Charité - Universitätsmedizin Berlin jurusan International Health. Kini ia sedang melakukan penelitian lain mengenai aspek digital health dan potensinya untuk diaplikasikan menguatkan sistem kesehatan di era universal health coverage.

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait

Topik terkait

Tampilkan liputan lainnya