1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

‘Dokter Wayang’ Ki Joko Langgeng Pulihkan Wayang Sakit

Yovinus Guntur Wicaksono
15 Juni 2021

Bagi Ki Joko Langgeng dari Kediri, seluruh wayang kulit yang rusak bisa dipulihkan. Prinsipnya, wayang rusak dan tidak utuh harus diperbaiki, bukannya dibuang, dikubur, atau dilarung ke sungai.

Dokter Wayang - Ki Joko Langgeng
Ki Joko Langgeng di rumahnya yang disulap menjadi bengkel wayangFoto: Yovinus Guntur/DW

Sejak 1968, Ki Joko Langgeng terus menjaga kesenian dan budaya Jawa. Selain dikenal sebagai dalang, pria yang tinggal di Kecamatan Gurah, Kabupaten Kediri, Jawa Timur ini  juga dijuluki ‘Dokter Wayang'. Julukan itu bukannya tanpa sebab. Ki Joko memang telah mengabdikan diri untuk merawat dan memperbaiki wayang-wayang kulit yang rusak.

Namun sebutan ‘Dokter Wayang' ini baru populer sejak 10 tahun terakhir. Istilah ini diberikan oleh rekan sesama dalang dari Solo karena Ki Joko dianggap punya pengetahuan mumpuni tentang wayang dan keahliannya semakin komplet karena bisa memperbaiki wayang yang rusak dalam kondisi apa pun.

Rumahnya jadi 'UGD' wayang

Total sudah ada sekira 200-an wayang kulit yang ia perbaiki dan kembalikan seperti kondisi semula. "Kondisinya ada yang tinggal separuh. Bahkan ada yang lebih parah lagi,” kata Ki Joko kepada DW Indonesia sambil memegang wayang karakter Werkudoro berwarna hitam.

Seluruh wayang kulit itu diperbaiki di rumahnya. Sekilas nampak luar, rumah Ki Joko tidak berbeda dengan tetangga kanan kirinya. Yang membedakan adalah gambar naga di pagar depan rumah, karena hanya rumah Ki Joko yang memilikinya.

Rumah Ki Joko bisa dikatakan khas rumah seniman. Bagian belakang rumahnya secara khusus ditata untuk menerima tamu-tamu dan menjadi bengkel wayang. Baju yang biasa digunakan Ki Joko saat pentas wayang juga tersimpan rapi di dalam rak aluminium. Ruang untuk menerima tamu juga lesehan dan beralaskan karpet.

Rumah yang digunakan sebagai 'rumah sakit' terbagi menjadi beberapa ruangan dengan dominasi tembok. Ruang tengah terdapat kotak kayu yang digunakan menyimpan wayang dalam kondisi rusak. Kotak kayu ini sering disebut sebagai kotak Unit Gawat Garurat (UGD) untuk wayang dengan tingkat kerusakan mencapai 70 persen. Seperti hanya tersisa kepala saja atau separuh badan.

Butuh ketelitian dan ketelatenan

Proses perbaikan wayang ada tahapan-tahapan yang harus dilalui. Hal utama yang pasti dilakukan adalah ritual doa. "Istilahnya kita minta izin. Jadi tidak sekadar memperbaiki. Saat ritual, saya tidak pernah menggunakan dupa atau sebagainya, hanya doa saja cukup 10 menit,” terangnya.

Ritual doa yang dilakukan Ki Joko adalah duduk bersila, diam dan jari telunjuk disentuhkan ke lantai. Doa dilakukan dalam bahasa Jawa dan isinya adalah meminta izin dan petunjuk dari leluhur. Ritual ini biasanya adalah untuk mendapatkan petunjuk tentang wayang yang akan diperbaiki. 

Ki Joko menggambar sketsa wayang denga menggunakan pensil jenis 2B agar bisa didapatkan garis yang jelas. Detail kembali menjadi hal utama baginya.Foto: Yovinus Guntur/DW

Setelah mendapatkan petunjuk, Ki Joko menggambarkannya dalam sketsa wayang di atas kertas putih. Dalam membuat sketsa, tidak ada waktu khusus. Terkadang bisa selesai dengan cepat dan begitu juga sebaliknya. Sketsa dibuat dengan begitu mendetail dan hati-hati agar mendapatkan wujud wayang yang sesuai.

Dari sketsa ini, proses selanjutnya adalah menggambar wayang di kulit sapi atau kerbau, dilanjutkan dengan pemahatan wayang sesuai dengan gambar yang telah dibuat. Dalam pemahatan ini, Ki Joko menggunakan palu khusus yang terbuat dari kayu dan betel (alat pahat). Khusus betel, ukuran yang digunakan menyesuaikan lekuk wayang. Proses pahat ini menjadi bagian terlama dalam perbaikan wayang, setidaknya perlu 4 hingga 5 hari.

Di tangannya, wayang kusam bisa tampak seperti baru

Setelah proses pahat selesai, Ki Joko menuju tahap selanjutnya, yakni mengabungkan wayang dengan memakai lem dan dilanjutkan dengan mengecat wayang. Proses pengecatan ini memerlukan ketelitian dan ketelatenan. Tidak boleh tergesa karena warnanya tidak akan jadi bagus. 

Tidak ada cat khusus. Ki Joko memilih cat pada umumnya yang bisa dibeli toko bangunan. Warna dominan yang biasanya digunakan adalah merah, hitam, putih. serta warna emas.  

Paling cepat perbaikan wayang bisa memakan waktu tujuh hari. Uniknya, Ki Joko tidak pernah mengalami kesulitan dalam memperbaiki wayang. Meski wayang terlihat kusam, ia selalu bisa memperbaiki dan membuat wayang tampak baru. Selama ini, wayang kulit yang pernah diperbaiki umumnya rusak di bagian kepala, tangan, dan kaki.

"Asalkan kulitnya tidak busuk, masih bisa diperbaiki. Bahan dasar untuk membuat wayang 'kan asalnya dari kulit kerbau dan sapi,” ujar Ko Joko Langgeng kepada DW Indonesia.

Penyebab wayang rusak di bagian kepala, tangan dan kaki adalah salah dalam menyimpan atau penggunaan yang tidak semestinya oleh dalang saat pementasan. "Kadang ada yang membenturkan wayang dengan keras. Ini yang membuat wayang rusak di bagian kepala, tangan, dan kaki,” terang pria kelahiran Klaten, 27 Juli 1953 ini. 

Ki Joko Langgeng memilah wayang di kotaknya berdasarkan tingkat 'keparahan' rusaknya wayang itu.Foto: Yovinus Guntur/DW

Soal tarif, tergantung dari tingkat kerusakan wayang itu sendiri. Jika kondisinya terlalu parah, dikenakan tarif Rp250 ribu. Apabila tergolong rusak ringan harga di kisaran Rp150 – 200 ribu. Para pelanggannya tidak hanya dari kediri, tetapi juga Jakarta, Cilacap, dan Surabaya.

Hargai warisan leluhur

Bapak lima anak dan sembilan cucu ini, telah memperbaiki ratusan wayang kulit rusak dengan beragam karakter. Beberapa di antaranya adalah Buto, Kurowo, Pandowo, Sabrangan, dan tokoh pewayangan lainnya.

Wayang yang ia perbaiki cenderung dari kategori wayang klasik dan dominan memiliki ciri khas wayang Yogyakarta dan Solo. Ki Joko juga pernah memperbaiki 3 wayang kuno milik salah satu museum di Surabaya serta wayang buatan tahun 1816 dengan karakter tokoh Brontoseno.

"Brontoseno itu bisa dikategorikan parah (kerusakannya). Apalagi wayangnya jenis wayang (khas) Madura yang bentuknya lebih kecil dibanding Jawa Timur dan Jawa Tengah. Perlu waktu 7 hari memperbaikinya,” Ki Joko bercerita kepada DW Indonesia.

Wayang lainnya yang pernah diperbaiki adalah karakter Werkudoro versi wayang Jawa Tengah dan karakter Semar. Wayang ini perlu perlakuan khusus, karena Ki Joko harus menjalani puasa ngebleng (tidak makan dan minum) selama tiga hari. Puasa ini dilakukan karena ia mendapat dawuh (petunjuk) dari leluhur sebagai syarat memperbaiki wayang itu.

Bagi Ki Joko, seluruh wayang kulit yang rusak bisa diperbaiki. Terlebih, ia berpegang teguh pada prinsip jika ada wayang rusak (tidak lagi utuh bentuknya) harus segera diperbaiki, tidak malah dibuang, dikubur, atau dilarung ke sungai oleh pemiliknya.

"Prinsip saya, kalau dibuang juga eman-eman (sayang, red.), itu ‘kan buatan para leluhur. Meskipun yang membuat wayang telah meninggal, tetapi ‘kan jasadnya saja, rohnya tidak. Saya diberi pesan sama guru, kamu perbaiki wayang saja nanti wayangmu banyak,” ujarnya sembari mengenang pitutur gurunya kala itu.

Ki Joko akan memberikan wayang yang sudah diperbaiki kepada yang berminat atau yang membutuhkan. Para peminat wayang kulit inilah yang nantinya akan memberikan mahar sesuai kemampuan mereka.

"Untuk wayang Brontoseno, ada yang memberi mahar Rp1,5 Juta. Lalu untuk wayang Semar, diberi mahar Rp3 Juta, karena bentuknya dianggap langka oleh peminat. Intinya tergantung pada kemampuan mereka,” jelas Ki Joko.

Hatinya tertambat pada putri seorang dalang

Bakat pria kelahiran 1953 ini diperoleh secara turun temurun dari keluarga abdi dalem Keraton Solo (Mbah Mulyo Kusumo). Menurut silsilah, leluhur Ki Joko Langgeng merupakan keturunan ke-5 yang mewarisi bakat sebagai dalang serta memiliki kemampuan memperbaiki wayang kulit.

Semasa masih duduk di kelas 3 Sekolah Rakyat (SR), Ki Joko sudah mampu memahat wayang. Beberapa karakter wayang yang pernah dipahatnya waktu itu adalah Werkudoro dan Kresna. Sejak 1968 atau dua tahun setelah lulus Sekolah Rakyat, Ki Joko meninggalkan kampung halamannya menuju Salatiga dan Semarang untuk mencari guru wayang.

"Waktu itu karena masih imbas peristiwa 1965/1966, saya memutuskan meninggalkan kampung halaman,” terangnya. "Sejak tahun 1989 saya tinggal di Gurah ini. Dan di tempat inilah, istilah dokter wayang mulai terkenal.”

Keputusan tinggal di Kabupaten Kediri, setelah mendapat petunjuk dari gurunya, Ki Gondo Darman, yang tidak lain juga guru dari dalang kondang Ki Manteb dan Ki Anom.

Ki Joko juga memiliki penerus yakni Slamet Sri Raharjo, putra ketiganya. Slamet yang kini berusia 38 tahun juga punya kemampuan yang sama dalam memperbaiki wayang dan sudah mampu membuat wayang kulit sendiri.

Ki Joko juga menyandang predikat dalang. Saat pementasan, ia selalu ditemani Endang Sutarmi, istri tercintanya yang juga seorang sinden. Keduanya menikah pada 11 September 1976. Endang adalah putri dari dalang Puspo Carito yang saat itu menjadi guru Ki Joko. Mulai awal menjadi dalang di 1970, setiap kali pentas, Ki Joko ditemani Endang sebagai sinden yang waktu itu masih duduk di kelas 6 SD.

Hingga kini, Ki Joko masih mementaskan wayang pangruwatan dan wayang purwa serta membuat wayang kreasi Panji. Sebelum pandemi, ia bisa pentas hingga 6 kali dalam sebulan.

Namun di tengah pandemi COVID-19, ia hanya menggelar wayang yang berkaitan dengan ruwat di ruang belakang rumah. Ruwat dipercaya bisa menolak potensi bala dan biasanya dilakukan oleh ontang anting (anak tunggal), pendowo (anak lima laki semua) dan pendawi (anak lima perempuan semua). Berbeda dengan biasanya. Tidak ada iringan gamelan dalam pegelaran di belakang rumah ini.

(ae)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait