Dokumen Amerika dan Pentingnya Rekonsiliasi Formal
30 Oktober 2017
Perlu waktu 52 tahun, untuk ungkap yang sebenarnya terjadi pada 1965. Akhirnya Amerika mau juga membuka dokumen tentang peristiwa pembantaian di Indonesia terkait Gerakan 30 September (G30S). Opini Zaky Yamani.
Iklan
Seperti diketahui, ada tiga lembaga Amerika Serikat yang membuka dokumen terkait Indonesia di era 1964 sampai 1968. Ketiga lembaga itu adalah, National Security Archive, National Declassication Center, dan National Archive and Records Administration.
Secara umum dokumen setebal 30.000 halaman itu mengungkapkan ketegangan antara TNI dengan PKI dan pembantaian banya orang menyusul peristiwa G30S. Kesimpulannya mengejutkan: TNI Angkatan Darat yang melakukan kudeta terhadap rezim Soekarno, dan simpatisan PKI yang dibunuh bahkan tidak tahu sama sekali tentang G30S itu.
Keraguan Indonesia
Namun, Indonesia sendiri seperti ragu—jika tidak bisa dikatakan gamang—dengan kebenaran dokumen itu. Kementerian Luar Negeri malah menyatakan akan memeriksa ulang kebenaran fakta yang diungkap di dokumen itu. Reaksi pemerintah Indonesia yang ditunjukkan kepada publik juga seperti acuh tak acuh. Panglima TNI mengatakan tidak bisa memberi komentar. Begitu pula Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional, juga menyatakan pihaknya tidak bisa berkomentar apakah isi dokumen itu benar atau tidak.
Yang diributkan belakangan ini malah tidak diterimanya visa Panglima TNI yang akan berkunjung ke Amerika Serikat. Isu dokumen itu langsung tenggelam dalam peredaran.
Sebagian orang malah mempertanyakan maksud Amerika Serikat membuka dokumen itu, setelah lebih dari lima puluh dua tahun menutup rapat dokumen tersebut. Ada yang mencurigai Amerika Serikat memiliki agenda lain dengan mengungkapkan dokumen itu sekarang.
Tetapi bagi saya, dan mungkin juga banyak orang lain, pengungkapan fakta itu memiliki arti penting. Karena setidaknya kita sekarang punya acuan dokumen resmi tentang pembantaian ratusan ribu orang yang dituding sebagai anggota atai simpatisan PKI.
Rahasia Amerika Terkait Pembantaian 1965
Dokumen rahasia AS mengungkap dosa kolektif Indonesia dalam pembantaian 1965. Selain ABRI, organisasi keagamaan dan warga sipil juga ikut terlibat membunuh simpatisan PKI yang tidak berurusan dengan Gerakan 30 September.
Foto: Getty Images/Keystone
08 Juni 1965
Pejabat konsulat AS di Medan, Robert Blackburn, melaporkan perwira militer membubarkan pemerintahan sipil lokal di bawah komando Dwikora yang dikeluarkan Presiden Sukarno untuk memperkuat ABRI dalam kampanye ganyang Malaysia. Pada 1 Oktober, perwira ABRI menggunakan kewenangan tersebut untuk mendeklarasikan darurat militer dan melancarkan gelombang pembantaian pertama terhadap simpatisan PKI.
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
05 Agustus 1965
Sjafruddin Prawiranegara, tokoh Partai Masyumi, menyurati direktur dana bantuan AS, USAID, Edwin L. Fox, untuk menyampaikan "dukungan antusias" atas perang Vietnam. Menurutnya Washington "mengikuti satu-satunya jalan yang benar untuk menghadang agresi Komunisme." Kemenlu AS menulis surat Sjafruddin "luar biasa" mengingat sikap oposisi kelompok anti-PKI terhadap kebijakan luar negeri AS saat itu.
Foto: Getty Images/P. Christain
12 Oktober 1965
Duta Besar AS untuk Indonesia, Marshall Green, mengutip duta besar Jerman di Indonesia yang mengklaim "tentara mempertimbangkan kemungkinan mengkudeta Sukarno dan mendekati sejumlah kedutaan negara barat untuk mengabarkan kemungkinan itu." Isu tersebut dibocorkan oleh Mabes ABRI setelah Sukarno menolak permintaan militer yang ingin menunjukkan bukti-bukti "pengkhianatan Gerakan 30 September."
Foto: Imago/Xinhua
23 Oktober 1965
Adnan Buyung Nasution yang ketika itu menjabat sebagai jaksa di usia 31 tahun mengatakan kepada Sekretaris Kedutaan Besar AS Robert Rich bahwa "tentara telah mengeksekusi banyak orang komunis. Tapi fakta itu harus disembunyikan." Dalam percakapan yang dilaporkan melalui telegram kepada Kemenlu AS itu Buyung juga mengklaim "represi tentara terhadap PKI harus disembunyikan dari Soekarno."
Foto: Getty Images/AFP/B. Ismoyo
30 November 1965
Kedutaan AS melaporkan "dalam sejumlah pertemuan dengan tokoh pemuda, Jendral Nasution mengungkapkan tekadnya melanjutkan kampanye represif terhadapn PKI" yang diduga dilakukan atas perintah Suharto. Organisasi pemuda muslim di banyak kota ikut dilibatkan dalam gelombang pembunuhan lanjutan yang diprakarsai oleh ABRI.
Foto: Getty Images/C. Goldstein
28 Desember 1965
Kawat diplomatik mengungkap pembantaian berlanjut di Jawa Timur, "tapi dalam skala yang lebih kecil dan dirahasiakan." Korban dibawa keluar dari kota untuk dibantai. Kepada Washington, kedubes AS mengabarkan Nahdlatul Ulama ikut membantu "kampanye melenyapkan PKI." Bahkan Kapolda Jawa Timur Sumarsono mengatakan pihaknya "sulit menghentikan gelombang pembunuhan."
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
20 Juni 1967
Sebuah telegram dari kedutaan besar AS di Jakarta kepada Menlu Dean Rusk di Washington merekam sikap kritis Menlu Indonesia terhadap Suharto lantaran menggandeng Partai Nasional Indonesia. Adam Malik meyakini Suharto ingin menggunakan PNI sebagai "kekuatan tandingan" terhadap "organisasi Islam" yang kian berpengaruh dan dianggap mulai mengancam kekuasaan ABRI.
Foto: Getty Images/Keystone
7 foto1 | 7
Bukan hal baru
Fakta yang diungkapkan di dokumen itu, bagi saya, bukan hal baru. Berbagai institusi independen dan juga individu di Indonesia sudah sejak bertahun-tahun lalu mengungkap secara detail apa yang terjadi menyusul peristiwa G30S di tahun 1965, terutama dari sisi korban. Banyak sekali kesaksian tentang orang-orang yang dibunuh dengan keji, dan perempuan-perempuan yang diperkosa karena dituding sebagai anggota PKI. Misalnya yang diungkapkan dalam buku sejarah lisan "Tahun yang Tak Pernah Berakhir” (2004).
Fakta serupa juga sudah diungkap dalam dua film karya Joshua Oppenheimer "Jagal” dan "Senyap”. Di dua film itu Joshua mengungkap fakta dari kacamatan pelaku (di dalam "Jagal”) dan fakta dari kacamata korban (di dalam "Senyap”).
Seperti juga ketika dua film itu diputar di banyak tempat di Indonesia, banyak orang yang mempertanyakan apa tujuan dari film-film tersebut. Bahkan pemutaran dua film itu sempat pula dicegah oleh aparat Polri dan TNI.
Rupanya Indonesia masih belum siap untuk menerima sejarah kelam mereka sendiri. Sebagian orang Indonesia berpikir, lebih baik peristiwa keji itu dilupakan daripada diungkit terus menerus. Sikap itu menurut saya berbahaya, karena melupakan sebuah tragedi sama dengan membuka peluang terjadinya tragedi serupa di masa depan.
Keterlibatan Asing dalam Pembantaian 1965
Sejarah mencatat pembantaian simpatisan PKI 1965 adalah buah kotor percaturan politik dunia di era Perang Dingin. Bahkan propaganda anti komunis yang disebarkan di Indonesia pun dirancang dan disusun di luar negeri
Foto: Yoichi Robert Okamoto
Dunia Terbelah Dua
Pada dekade 60an dunia didera konflik ideologi antara Amerika dan Uni Sovyet. Akibatnya perang proksi menjalar ke berbagai belahan Bumi. Jerman terbelah dua dan negara berkembang menjadi lahan lain perseteruan dua adidaya tesebut. Tahun 1963 Amerika Serikat gagal menjatuhkan benteng Komunisme di Kuba. Presiden baru AS, Lyndon B. Johnson, lalu beralih menginvasi Vietnam Utara.
Foto: Getty Images/P. Christain
Adu Jotos di Negeri Orang
Bagaimana kedua adidaya menjadikan negara berkembang sebagai catur politik terlihat dari banyaknya perang proksi. Dekade 1960an mencatat sedikitnya 50 konflik semacam itu, yang terbanyak selama Perang Dingin. Uni Sovyet dan Cina terutama getol memasok senjata buat pemberontak komunis. (Gambar: Pemimpin Cina Mao Tse Tung dan penguasa Sovyet Nikita Khrushchev di Beijing, 1959)
Foto: AP
Pemberontakan Komunis Malaysia
Lima tahun sebelum peristiwa G30S, Malaysia telah mendahului lewat perang antara Malayan National Liberation Army yang didukung Partai Komunis dan tentara persemakmuran pimpinan Inggris. Konflik serupa terjadi di Kongo, India, Bolivia dan Kolombia.
Foto: Public Domain
Primadona Perang Dingin
Indonesia adalah medan perang lain antara Amerika Serikat dan Uni Sovyet. Mulai dekade 50an, Presiden Soekarno menjadi primadona politik yang diperebutkan oleh Presiden AS John F. Kennedy dan penguasa Uni Sovyet, Nikita Khrushchev. Saat itu Indonesia sudah menjadi salah satu kekuatan terbesar di Asia Tenggara dan mulai diperhitungkan di dunia.
Foto: Central Press/Hulton Archive/Getty Images
Petualangan di Timur
Soekarno yang mulai menua justru merasa Indonesia cukup kuat untuk menanggalkan asas netralitas dan menghidupkan poros Moskow-Beijing-Jakarta. Memasuki dekade 1960an, Uni Sovyet tercatat sebagai pemberi bantuan terbesar ke Indonesia, melebihi negara lain. Petualangan politik itu kemudian ternyata berujung fatal buat Indonesia
Foto: picture-alliance/Everett Collection
Manuver Sukarno
Hubungan Indonesia dan barat remuk setelah Amerika Serikat membantu pemberontakan PRRI/Permesta tahun 1958. Sebagai balasan Sukarno memerintahkan agresi militer terhadap Malaysia buat menentang pembentukan negara persemakmuran oleh Inggris. Soekarno saat itu beralasan dirinya menentang neo kolonialisme. Realitanya ia menyokong pemberontakan kelompok Komunis Malaysia di Serawak.
Foto: gemeinfrei
Harapan di Tangan Tentara
AS pun mulai berupaya menggembosi Partai Komunis Indonesia. Mereka mengkhawatirkan Soekarno yang mulai tua akan mewariskan tahta kepada PKI. Kendati dimusuhi Jakarta, dinas rahasia barat tetap menjalin kontak dengan TNI yang dianggap satu-satunya harapan memberangus komunisme di Indonesia. Hingga peristiwa 65, AS telah melatih setidaknya 4000 perwira TNI.
Bantuan dari Jerman
Tahun 1971 mingguan Jerman Der Spiegel melaporkan pada 1965 dinas rahasia BND bekerjasama dengan CIA memerangi PKI di Indonesia. BND antara lain membantu TNI dengan memasok senjata api, alat komunikasi dan uang senilai 300.000 DM atau sekitar 700 ribu Euro.
Foto: Imago
Pujian Gehlen buat Suharto
Tahun 1965 BND memiliki seorang agen rahasia, eks perwira NAZI, Rudolf Oebsger-Röder yang menyamar sebagai wartawan di Jakarta. Reinhard Gehlen (gambar), Presiden BND, menulis dalam memoarnya bahwa keberhasilan Suharto "menumpas PKI patut dihargai setinggi tingginya." Gehlen mengaku kehilangan "dua teman dekat" yang ikut dibunuh pada peristiwa G30S, salah satunya Brigjen Donald Isaac Pandjaitan
Foto: picture-alliance/dpa
Propaganda Kiriman Barat
National Security Archive di AS mencatat dinas rahasia Inggris, MI6, yang beroperasi dari Singapura, menggandeng dinas rahasia Australia buat merancang propaganda hitam terhadap PKI, etnis Cina dan Sukarno. MI6 bahkan memanipulasi pemberitaan media asing seperti BBC. Propaganda yang banyak berkaca pada pemberontakan komunis Malaysia itu lalu diadopsi berbagai media Indonesia yang dikuasai TNI
Foto: Getty Images/C. Goldstein
Daftar Maut Amerika
Tidak banyak kejelasan mengenai keterlibatan langsung dinas rahasia asing terhadap pembantaian simpatisan PKI. Yang jelas sejarah mencatat bagaimana Kedutaan Besar Amerika Serikat menyerahkan daftar berisikan 5000 nama jajaran pimpinan PKI kepada TNI. Dokumen tersebut, kata Robert J. Martens, atase politik di kedubes AS, "adalah bantuan besar buat TNI."
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
Darah Disambut Pesta
Di hari-hari pembantaian itu dunia merayakan kehancuran PKI di Indonesia. PM Australia Harold Holt (ki.) berkomentar "dengan dibunuhnya 500 ribu sampai 1 juta simpatisan Komunis, aman untuk berasumsi bahwa reorientasi (di Indonesia) sedang berlangsung." Ironisnya Uni Sovyet cuma bereaksi dingin dengan menyebut pembantaian tersebut sebagai "insiden yang tragis."
Foto: Yoichi Robert Okamoto
12 foto1 | 12
Indonesia harus mulai berpikir untuk melakukan rekonsiliasi secara formal antara para korban (dan keluarganya), para pelaku (dan keluarganya), dan juga melibatkan orang-orang yang tidak terlibat, misalnya generasi yang tidak mengalami peristiwa 1965-1966, agar peristiwa itu jadi pelajaran untuk tidak diulang lagi.
Indonesia jauh tertinggal dengan Afrika Selatan, misalnya, yang melakukan rekonsiliasi tak lama setelah sistem apartheid dihapuskan: pengadilan digelar, korban dan para pelaku diminta datang dan sama-sama membuat pengakuan, setelah itu saling memaafkan dan memulai hidup baru tanpa beban berat sejarah yang kelam yang hanya disimpan di dalam hati.
Rekonsiliasi telah terjadi
Secara informal, rekonsiliasi telah terjadi di tengah sebagian masyarakat Indonesia. Namun itu belum cukup, karena rekonsiliasi informal hanya berguna bagi korban dan pelaku saja, tanpa ada kesaksian dari pihak yang tidak terlibat, dan terutama tidak ada kesaksian negara. Di satu sisi, mungkin itu bagus, karena setidaknya perdamaian telah terjadi antara pelaku dan korban. Tetapi secara kebangsaan, hal itu belum cukup. Karena seperti saya tegaskan di atas, generasi muda dan orang yang tidak terlibat tidak bisa mengambil pelajaran dari rekonsiliasi informal itu.
G30SPKI: Dusta di Ujung Nyawa Pahlawan Revolusi
Adegan penyiksaan di film G30SPKI terhadap pahlawan revolusi bertentangan dengan otopsi yang diperintahkan Soeharto sendiri. Tapi demi kampanye anti komunis, bagian tersebut dihilangkan. Inilah hasil otopsi tim forensik
Foto: Davidelit
Kabar Burung di Halaman Muka
Adalah dua harian milik ABRI, Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha yang pertamakali melayangkan tudingan "penyiksaan barabarik" terhadap para jendral korban kudeta Partai Komunis Indonesia, termasuk bahwa mata korban "ditjungkil" dan "kemaluannya dipotong." Suharto sendiri dikutip membenarkan adanya "indikasi penyiksaan" di tubuh korban. Padahal hasil otopsi berkata lain.
Otopsi Dr. Kertopati
Selama delapan jam tim forensik yang dipimpin Dr. Roebiono Kertopati dan Dr. Sutomo Tjokronegoro bekerja hingga dini hari buat mengungkap penyebab kematian ketujuh jendral pahlawan revolusi. Hasil otopsi yang dilakukan atas perintah Suharto sendiri itu kemudian ditemukan lagi oleh sejahrawan Cornell University, Amerika Serikat, Ben Anderson.
Foto: Getty Images/Three Lions
Jendral Ahmad Yani
Jendral Ahmad Yani dikabarkan tewas di kediaman pribadinya setelah diberondong peluru oleh pasukan Tjakrabirawa pimpinan Lettu Doel Arief. Hasil otopsi hanya membenarkan separuh klaim tersebut. Tim forensik cuma menemukan delapan luka tembakan dari arah depan dan dua tembakan dari arah belakang. Yani diyakini meninggal dunia seketika sebelum jenazahnya diangkut oleh Tjakrabirawa.
Foto: Davidelit
Brigade Jendral D.I. Panjaitan
Hal serupa terjadi dengan Brigade Jendral Donald Isaac Panjaitan. Hasil pemeriksaan menyebut dia mendapat tiga tembakan di bagian kepala dan sebuah luka kecil di lengan. Tidak ada bukti penyiksaan pada tubuh seperti yang ditudingkan oleh mabes ABRI kala itu.
Foto: Davidelit
Mayor Jendral M.T. Haryono
Adapun laporan kematian Letnan Jendral Mas Tirtodarmo Haryono masih menimbulkan teka-teki karena tercatat tidak memiliki luka tembakan. Dokter hanya menemukan luka tusukan di bagian perut yang diduga disebabkan oleh bayonet. Luka serupa yang ditengarai tidak fatal juga ditemukan pada punggung dan pergelangan tangan korban yang diduga muncul ketika jenazah dilemparkan ke Lubang Buaya.
Foto: Davidelit
Mayor Jendral Siswondo Parman
S. Parman menderita lima luka tembakan, termasuk dua di kepala yang menyebabkan kematiannya. Tim forensik juga menemukan luka atau retakan pada tengkorak, rahang dan bagian bawah kaki kiri yang disebabkan oleh trauma. Tidak ada yang bisa memastikan penyebab trauma tersebut. Ben Anderson menulis pukulan popor senjata atau benturan pada lantai dan dinding sumur bisa menjadi penyebabnya.
Foto: Davidelit
Letnan Jendral Soeprapto
Letjen Soeprapto meninggal dunia akibat sebelas luka tembakan di berbagai bagian tubuh. Serupa S. Parman, dia juga menderita keretakan tulang di bagian tengkorak dan tiga luka sayatan yang diduga disebabkan oleh bayonet. Keretakan pada tulang korban diyakini sebagai akibat benturan dengan benda tumpul seperti popor senapan atau batu.
Foto: Davidelit
Brigade Jendral Sutoyo Siswomiharjo
Brigjend Sutoyo adalah sosok yang paling ramai dikaitkan sebagai korban penyiksaan PKI. Di dalam film G30SPKI anggota Gerwani ditampilkan menyungkil salah satu matanya. Namun hasil otopsi berkata lain. Sutoyo menderita tiga luka tembakan, termasuk satu luka fatal di kepala, dan trauma di bagian lengan kanan.
Foto: Davidelit
Kapten Czi. Pierre Tandean
Serupa yang lain, Pierre Tandean meninggal dunia akibat empat tembakan oleh pasukan Tjakrabirawa. Dia juga menderita luka dalam di bagian kening dan lengan kiri, serta "tiga luka terbuka akibat trauma di kepala." Tidak seorangpun dari tim dokter forensik bisa memastikan indikasi penyiksaan seperti yang ditudingkan Suharto kala itu.
Foto: Davidelit
9 foto1 | 9
Selain itu, Indonesia sebagai negara tampaknya tidak memandang penting rekonsiliasi formal itu—atau mungkin terlalu takut. Akibat langsungnya adalah pembodohan, karena sejarah ditarik-tarik menjadi kepentingan politis. Sejarah terus didominasi oleh kepentingan institusi-institusi negara, misalnya TNI.
Contohnya, saya pernah menjadi editor di sebuah koran lokal di Jawa Barat. Suatu hari saya menerbitkan tulisan seorang penulis yang memaparkan sastra kaum kiri Indonesia sebelum tahun 1965. Tulisan itu rupanya membuat gerah TNI dan saya didatangi dua intelijen tentara ke kantor redaksi saya. Mereka menyatakan keberatan dengan tulisan itu. Saya ingat sekali mereka mengatakan kepada saya, "Tulisan yang Anda terbitkan itu adalah tulisan yang tabu!”
Itu contoh bagaimana negara dan institusi pertahanan masih alergi dan ketakutan dengan pengungkapan kebenaran. Dan itu adalah salah satu hasil dari tidak pernah adanya rekonsiliasi formal. Sejarah masih digenggam pihak yang menang.
Apakah Indonesia akan terus bersikap diam seperti ini dengan munculnya dokumen-dokumen itu? Kita periksa jawabannya di masa mendatang.
Penulis:
Zaky Yamani
Jurnalis dan novelis. Laporannya tentang Sungai Citarum terbit di dalam buku kumpulan reportasenya Komedi Sepahit Kopi (2010) dan di majalah National Geographic Indonesia edisi April 2014
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis
Suara Bisu Perempuan Korban Tragedi 65
Jutaan penduduk menua dengan trauma 65 di pundaknya. Sebagian pernah disiksa dan kehilangan anggota keluarga. Hingga kini mereka menderita dalam diam. Tanpa suara. Tanpa keadilan.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Uang saya hanya cukup untuk menyambung nyawa"
Sumilah berusia 14 tahun ketika ia ditangkap tahun 1965. Tuduhannya: Dia adalah anggota dari gerakan perempuan "Gerwani". Aparat menghajarnya sampai pingsan. Mereka kemudian menyekap Sumilah di kamp Plantungan. Di sana baru diketahui bahwa ia korban salah tangkap. Di masa tua, Sumilah hidup di Yogyakarta dengan uang pas-pasan.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Mereka memukuli ayahku hingga hampir mati"
Ayah Kina diduga merupakan simpatisan Komunis. Ia ditangkap dan tak boleh bekerja. "Itu sebabnya saya mengambil peran sebagai pengganti ayah," kata dia. Kina berpakaian seperti anak laki-laki, bekerja di ladang an mengumpulkan kayu bakar. Masyarakat mengecapnya sebagai "anak komunis". Oleh karena itu, ia dan saudara-saudaranya kehilangan hak atas tanah ayah mereka .
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Masih tersimpan luka di hati saya"
Suami Lasinem ditangkap tahun 1969, disiksa & dikirim ke Pulau Buru. "Suamiku diangkut oleh kawannya sendiri, yang merupakan tentara. Dia dipukuli, punggungnya diinjak-injak sampai luka di sekujur tubuh," papar Lasinem. Perempuan ini ditinggalkan sendirian dengan anak-anaknya. Tahun 1972, mereka menyusul sang kepala keluarga ke Buru. Trauma ketakutan melekat di diri Lasinem hingga saat ini.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Meski dipukuli bertubi-tubipun saya tidak menangis"
Sri adalah seniman dan penyanyi yang tergabung dalam organisasi yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia. Pada tahun 1965 ia ditangkap, disiksa, dan dipenjara. "Depan kamar tidur kami penuh tahi," kenangnya. "Kotoran itu baunya tak tertahankan." Ketika dia dibebaskan pada tahun 1970, rumahnya sudah dirampas keluarga lain. Sri menjadi tunawisma. Di masa tua, ia tinggal bersama keponakannya.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Aku harus meninggalkan bayi perempuanku"
Berkali-kali Yohana ditangkap, ditahan, diinterogasi. Ketika ditangkap ke-2 kalinya, ia baru saja melahirkan. Ia dipisahkan dari bayinya masih menyusu. Dua tahun kemudian baru ia bertemu anak perempuannya lagi. "Pengalaman kekerasan itu menghantuiku terus," paparnya. Namun, sepanjang hayatnya, ia tak pernah menceritakan apa yang menimpanya saat itu, bahkan pada keluarganya sekalipun.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Mungkin takkan pernah lupa"
Ketika Juriah beumur 7 tahun, ayah diasingkan ke Pulau Buru tahun 1966. Saat menginjak usia 18 tahun, Juriah dipaksa ikut pernikahan massal. Dia harus berjanji tidak pernah meninggalkan Buru. Meskipun penuh penderitaan, ia tetap di sana: "Jika kita datang ke tempat-tempat tertentu, kita akan berbicara tentang masa lalu dan terasa seolah-olah kita tertusuk pisau."
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Orang-orang belum tahu kebenarannya"
"Begitu banyak hilang pada tahun 1965, tanpa pengadilan atau bukti-bukti keterlibatan dengan kasus 65," kata Migelina. Seluruh keluarganya dipenjara pada tahun 1965 - ia kehilangan orang tuanya dan kakaknya. Meski tragedi sudah berlalu berakhir, tetapi ia tetap mendoakan. Migelina percaya bahwa Tuhan memberinya kehidupan lebih panjang, untuk bisa mengetahui apa yang terjadi dengan keluarganya.