1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Ekonomi

Dolar AS Rp 15.000, Tertinggi di Era Jokowi

2 Oktober 2018

Nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat kembali melemah dan menyentuh rekor terendah dalam sejarah. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pergerakan Rupiah kali ini banyak dipengaruhi kondisi global

Indonesien Jakarta - Rupiah Münzen
Foto: picture-alliance/dpa/B. Indahono

Hari ini bisa jadi sejarah tersendiri bagi pasar keuangan tanah air setelah Dolar Amerika Serikat (AS) tembus Rp 15.000. 

Berdasarkan data perdagangan Reuters, Selasa (2/10/2018), dolar AS siang ini berada di Rp 15.001. Posisi ini menjadi yang tertinggi sepanjang pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). 

Pada 20 Oktober 2014 atau bertepatan saat Jokowi dilantik sebagai Presiden RI, dolar AS berada di Rp 12.030. Posisi tersebut terpantau lebih tinggi dari sebelumnya. Pada 21 Agustus 2013, saat itu dolar AS ditukar dengan Rp 11.288.

Baca Juga: Dollar Mengamuk? Bijaklah dalam Konsumsi Budaya Pop

Sempat menyentuh Rp 14.710, penguatan dolar AS sempat mereda di 20 Oktober 2015 yakni di 13.645. Dolar AS kembali menyentuh level Rp 14.000an lagi pada 14 Desember 2015 yakni di 14.077.

Pada 20 Oktober 2017, dolar AS parkir di 13.500 sebelum akhirnya mereda di 25 Januari 2018 yang tercatat di Rp 13.288.

Tren pelemahan terus berlanjut hingga pada 5 September dolar AS menyentuh Rp 14.999. Tinggal sedikit lagi dolar AS menyentuh Rp 15.000.

Sejak saat itu dolar AS bergerak pada rentang yang tak terlalu jauh dari Rp 13.900-13.800. Bahkan dolar AS tak pernah lagi menyentuh posisi di bawah Rp 14.800 hingga akhirnya hari ini posisi Rp 15.000 berhasil ditembus.

Sebelumnya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan nilai tukar dolar AS yang hampir menyentuh Rp 15.000 sendiri banyak dipengaruhi kondisi global. Mulai dari kenaikan suku bunga acuan AS, kebijakan moneter The Fed, hingga pengaruh perang dagang AS.

Baca Juga: Rizal Ramli: Anjloknya Rupiah ke Level 15 Ribu Baru Fase Awal

Akibat berbagai kebijakan dari AS tersebut membuat peredaran mata uang dolar AS jadi terbatas. Hal ini yang terjadi di Indonesia dan menyebabkan pasokan dolar AS di dalam negeri menjadi berkurang.

Terlebih, tingkat ekspor Indonesia saat ini masih lebih rendah dibandingkan impor, atau defisit. Karenanya, permintaan terhadap barang dan jasa impor justru semakin meningkat dan membuat dolar AS menjadi lebih mahal.

"Demand lebih banyak impor barang dan jasa, maka harga dolar AS menjadi mahal. Hukum supply-demand," ujarnya beberapa waktu lalu.

Sumber: Detik News