1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikAmerika Serikat

Trump Resmi Dilantik, 'America First' untuk Kedua Kalinya

21 Januari 2025

Sah! Donald Trump dari Partai Republik kembali menjadi presiden Amerika Serikat. DW melihat kembali ke masa jabatan pertamanya untuk memberikan gambaran tentang apa yang mungkin akan terjadi empat tahun ke depan.

Donald Trump resmi dilantik sebagai presidien ke-47 AS
Donald Trump resmi dilantik sebagai presidien ke-47 ASFoto: Saul Loeb/CNP/ABACA/picture alliance

Donald J. Trump telah dilantik sebagai presiden ke-47 Amerika Serikat (AS). Akan seperti apa masa jabatan keduanya ini berjalan masih belum bisa diprediksi. Namun, melihat kembali ke masa jabatan pertamanya pada tahun 2017 hingga 2021, dapat memberikan kita sedikit wawasan tentang apa yang akan terjadi.

Kasus hukum dan pemakzulan

Pada tanggal 6 Januari 2021, sekelompok pendukung Trump menyerbu Gedung Kongres AS di Washington, DC, untuk menghentikan sertifikasi resmi kemenangan rival Trump di Pemilu 2020, Joe Biden. Serbuan itu diduga dipicu oleh pidato Trump di hadapan ribuan pendukungnya yang menegaskan kembali klaim palsunya terkait kecurangan pemilu. "Jika Anda tidak berjuang sekuat tenaga, Anda tidak akan memiliki negara lagi,” katanya saat itu.

Akibatnya, pada 13 Januari 2021, seminggu sebelum akhir masa jabatan pertamanya, DPR AS mencoba memakzulkan Trump atas tuduhan menghasut pemberontakan. Sepuluh perwakilan dari Partai Republik memberikan suara setuju pada saat itu, suara pro-pemakzulan terbanyak dalam sejarah dari partai seorang presiden. Namun, Senat AS membebaskannya di bulan berikutnya. Kasus ini menandai pertama kalinya seorang presiden AS dimakzulkan lebih dari satu kali. Proses pemakzulan pertama Trump terjadi pada 2019.

Pada tahun 2023, Trump kembali didakwa atas empat tuduhan terkait penolakannya menerima hasil pemilu 2020. Kasus ini sampai ke Mahkamah Agung AS yang memutuskan bahwa seorang presiden memiliki kekebalan hukum dari penuntutan atas tindakan resminya. Jaksa kemudian mendakwa kembali Trump dengan tuduhan yang sedikit disesuaikan. Namun, setelah kemenangan Trump pada pemilu 2024, kasus tersebut dibatalkan karena presiden yang sedang menjabat tidak dapat dituntut.

Trump juga didakwa dan dihukum atas 34 tuduhan pemalsuan catatan bisnis terkait pembayaran uang tutup mulut kepada aktris film dewasa, Storm Daniels, di mana Trump berkukuh tidak bersalah. Dalam kasus ini, ia menerima pembebasan tanpa syarat, sepuluh hari sebelum pelantikannya, yang berarti ia tidak akan menjalani hukuman, sebuah keputusan yang diambil berdasarkan kebijaksanaan pengadilan.

Dalam kasus lain, Trump harus membayar ganti rugi jutaan dolar kepada mantan jurnalis E. Jean Carroll setelah juri memutuskan bahwa ia bersalah melakukan pelecehan seksual pada akhir tahun 1990-an. Trump mengajukan banding atas keputusan tersebut, tetapi kalah pada Desember 2024.

Fokus pada jargon ‘America first'

Sebagian besar pemilih Trump tampaknya sangat peduli dengan janjinya "mengutamakan Amerika.”

Selama masa jabatan pertamanya, Trump banyak mengkritik NATO. Ia juga menarik diri dari organisasi internasional seperti Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan meninggalkan Perjanjian Iklim Paris, meski dibatalkan di bawah kepemimpinan Biden.

Dan benar saja, setelah resmi dilantik untuk masa jabatannya yang kedua, Trump langsung memerintahkan penarikan AS dari WHO dan Perjanjian Iklim Paris, sebuah perjanjian internasional yang mengikat secara hukum tentang perubahan iklim.

Trump mengritik WHO karena dinilai gagal bertindak secara independen dari "pengaruh politik yang tidak pantas dari negara-negara anggota WHO” dan karena meminta "pendanaan yang sangat memberatkan” dari AS dibanding negara-negara seperti Cina.

"WHO menipu kita, semua orang menipu Amerika Serikat. Ini tidak akan terjadi lagi,” kata Trump saat menandatangani perintah eksekutif tersebut.

AS adalah pendukung keuangan terbesar WHO, menyumbang sekitar 18% dari pendanaannya.

Sementara itu, keputusa penarikan diri dari Perjanjian Iklim Paris menandai penolakan Trump terhadap upaya global untuk memerangi perubahan iklim seiring dengan meningkatnya bencana cuaca di seluruh dunia.

Menurut aturan perjanjian, untuk keluar dari perjanjian akan memakan waktu sekitar satu tahun setelah AS mengirimkan pemberitahuan resmi kepada PBB.

Dalam pernyataan sebelumnya, Trump mengatakan bahwa AS, produsen minyak dan gas terbesar di dunia, akan memperluas pengeborannya.

“Sekarang kita akan mengebor sumur-sumur baru,” katanya. 

‘Berita palsu' dan kebijakan imigrasi garis keras

Selama masa jabatannya yang pertama, Trump memiliki hubungan yang tidak harmonis dengan pers. Ia juga memiliki rejam jejak yang penuh dengan klaim-klaim yang salah dan menyesatkan.

Trump sering menepis fakta-fakta yang tidak disukainya sebagai "berita palsu”, dan berupaya mempengaruhi pendukungnya bahwa media kritis menyebarkan kebohongan untuk menodai reputasinya.

Trump juga menerapkan kebijakan imigrasi garis keras dan berulang kali membuat pernyataan bernada rasis. Menjelang pemilihan presiden 2016 misalnya, Trump menyebut imigran Meksiko sebagai "pemerkosa” dan "penjahat.” Ia kemudian berjanji membangun tembok di sepanjang perbatasan AS-Meksiko. Tembok sepanjang 732 kilometer dari total 3.145 kilometer telah dibangun hingga akhir masa jabatan pertama Trump, dengan biaya sekitar 16 miliar dolar AS. Padahal, Trump sebelumnya berjanji bahwa Meksiko lah yang harus menanggung biaya pembangunannya, tetapi hal itu tidak pernah terlaksana.

Pada masa jabatan keduanya, Trump diperkirakan akan melakukan deportasi besar-besaran terhadap imigran yang tidak berdokumen. Meskipun klaim kampanyenya untuk mendeportasi 1 juta orang per tahun tidak realistis berdasarkan biaya dan logistik, jumlah deportasi kemungkinan akan meningkat tajam di bawah kepemimpinan Trump. Imigrasi legal juga diperkirakan akan menjadi lebih sulit.

Diadaptasi dari artikel DW bahasa Inggris

 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait