1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

"Dosa Indonesia pada Papua adalah rasisme"

19 Agustus 2019

Tindakan rasis pada mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang memicu amarah warga dan memperkuat narasi kemerdekaan di Papua. Sejumlah penduduk Manokwari bahkan dilaporkan meneriakkan yel-yel untuk mengusir warga pendatang

Indonesien Timika - Dorfbewohner vor indonesischen Rebellen in Sicherheit gebracht
Foto: picture-alliance/AP/dpa/A. Vembrianto

Ribuan warga di Papua berdemonstrasi memrotes persekusi dan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Malang dan Surabaya. Aksi protes yang sempat diwarnai aksi pembakaran terhadap DPRD Papua Barat di Manokwari tersebut dengan cepat menjelma menjadi tuntutan kemerdekaan.

"Jadi kalau kemarin-kemarin cuma aksi peringatan, kali ini mereka benar-benar marah," kata Kuasa Hukum Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Veronica Koman. "Polisi menonton ketika ormas-ormas melakukan serangan rasialis kepada mahasiswa Papua. Pembiaran oleh polisi ini mengakibatkan meledaknya konflik horizontal yang selama ini berupa api dalam sekam."

Aksi protes antara lain dipicu oleh aksi pengepungan terhadap asrama mahasiswa Papua di Surabaya oleh sejumlah ormas beratribut FPI dan Pemuda Pancasila, ditambah aparat keamanan akhir pekan silam. Seperti yang dilaporkan Tirto.id, para pelaku, termasuk anggota TNI, mengucapkan umpatan bernada rasialis, semisal "anjing! babi! monyet! keluar lu kalau berani! hadapi kami di depan!"

Pekan lalu polisi juga menangkap ratusan mahasiswa Papua dan kelompok solidaritas saat hendak melakukan aksi demonstrasi damai terkait New York Agreement di sejumlah kota seperti Ternate, Ambon, Malang, Surabaya, dan Jayapura. Tindakan rasialis yang dialami mahasiswa di kota-kota tersebut dianggap menyulut amarah warga di Papua.

"Mereka sekarang menggunakan monyet sebagai simbol perlawanan. Sampai warga Yapen di pelosok juga turun aksi. Ini sudah menjadi tipping point dan sudah tidak ada lagi alasan bagi Jakarta untuk tidak bertindak," kata Koman saat dihubungi Deutsche Welle.

Namun bukannya menggali akar rasisme di dinas kepolisian, Polri malah berniat membatasi akses informasi dengan menggeruduk sejumlah akun media sosial yang dinilai menyebarkan "hoaks" terkait insiden di Surabaya. Selama ini aparat keamanan merupakan satu-satunya sumber informasi di Papua.

Polda Jawa Timur sendiri membantah ada anggotanya yang bersikap rasis terhadap mahasiswa Papua. Namun tindak rasisme bukan pula kali pertama dituduhkan pada aparat keamanan. Awal tahun ini seorang polisi kedapatan menganiaya seorang tersangka di Papua, antara lain dengan menggunakan ular.

"Dosa Indonesia ke Papua itu adalah rasisme. Dan ini sudah diidentifikasi sebagai salah satu akar konflik. Jadi sudah saatnya Jakarta dan Papua duduk bersama secara sejajar", kata Koman lagi.

Menurutnya saat ini Indonesia tidak lagi memiliki banyak pilihan terkait nasib Papua. Insiden rasialis di Surabaya dan Malang dianggap melukai martabat bangsa Papua dan sebabnya memperkuat narasi separatisme yang kini ikut disuarakan dalam aksi demonstrasi.

"Tuntutan mereka kemerdekaan. Tidak ada yang lain. Benar. Hanya merdeka. 'Karena kami monyet maka biarkan kami tentukan nasib sendiri' begitu yang saya lihat dari hasil pantauan saya," katanya. Dia bahkan mengkhawatirkan, amarah warga bisa menjelma menjadi konflik horizontal yang lebih besar lagi.

"Di Manokwari sudah ada yel-yel 'usir-usir pendatang sekarang juga,' jadi seperti dendam gitu."

rzn/hp