Dr. Sameer Murtaza: Homoseksualitas Pemberian Tuhan
17 Mei 2019
Cendikiawan Islam Dr. Sameer Murtaza meyakini orientasi seks merupakan pemberian Tuhan, sehingga tidak bisa diubah. Ia mempertanyakan apakah kaum homoseksual yang menjalankan syariat Islam tidak lagi muslim?
Iklan
Isu homoseksualitas selama ini menjadi hal tabu bagi kaum muslim. Mayoritas ulama menolak orientasi seksual sesama jenis, namun sebagian kecil mulai membuka pintu bagi kaum minoritas tersebut. Salah seorang di antaranya adalah Dr. Mohammad Sameer Murtaza, seorang cendikiawan muslim asal Jerman.
Menurutnya Al-Quran tidak melarang homoseksualitas secara eksplisit dan meyakini orientasi seksual sesama jenis merupakan bawaan dari lahir, bukan gaya hidup yang dikembangkan setelah usia dewasa.
"Apa yang kita lakukan terhadap seorang homoseksual muslim yang menjalankan sholat, berpuasa, menunaikan haji, membayar zakat dan meyakini Allah dan Muhammad sebagai rasul-Nya? Apakah lantas mereka bukan muslim lagi?"
Simak kutipan wawancaranya:
DW: Anda banyak meriset tentang isu homoseksualitas di dalam Islam. Apa yang Anda temukan?
Dr. Mohammad Sameer Murtaza: Menurut tafsir kuno, Islam dan homoseksualitas tidak bisa dipadukan. Tapi kalau kita mengacu pada pemahaman modern mengenai apa itu homoseksualitas dan menggunakan metode tafsir yang baru, maka kita bisa menemukan bahwa kisah nabi Luth bukan tentang homoseksualitas melainkan biseksualitas, karena menyangkut kaum pria yang sudah beristeri.
Selain membahas hubungan seks sesama jenis di luar nikah yakni bahwa mereka menjarah rombongan peziarah dan memerkosa, kisah nabi Luth menitikberatkan pada kekerasan seksual yang dikecam oleh Islam dan Allah.
Homoseksualitas dipandang sebagai dosa di dalam Islam. Bagaimana pandangan Anda terhadap sikap tersebut?
Kaum muslim Arab menggunakan kata "Lawat" (لواط) buat homoseksualitas. Padahal Lawat bukan berarti homoseksualitas, melainkan aktivitas sodomi. Istilah homoseksual sendiri baru muncul pada 1868. Artinya Islam memang melarang aktivitas homoseksual, yakni hubungan seks sesama jenis, tapi Islam tidak mengecam identitas gender seorang manusia sebagai homoseksual. Saya yakin kita harus menafsirkan ulang ayat-ayat Al-Quran dan Hadith dan merfleksikan ke diri sendiri, apakah benar melaknat seorang homoseksual, karena orientasi seksual sendiri, entah itu homoseksual atau heteroseksual, bukan pilihan, melainkan bawaan lahir. Mereka diciptakan Tuhan seperti itu. Jika Allah adil dan menciptakan manusia seperti itu, maka kita harus menerima dan mentolerir mereka. Soal ini harus lebih sering dibahas di komunitas Muslim.
Kisah Seorang Imam Gay di Paris
Ludovic-Mohamed Zahed telah mengabdikan hidupnya untuk memperjuangkan hak kaum homoseksualitas dalam Islam. Perjuangan yang berat dan berisiko. Simak kisahnya.
Foto: Getty Images/AP Photo/C.Paris
Butuh satu dekade yakinkan keluarga
Zahed: Butuh waktu 10 tahun untuk meyakinkan keluarganya yang imigran Tunisia bahwa dia, walaupun seorang homoseksual, tak layak dihina dan dipukuli seperti anjing. Melainkan seorang pria gay bermartabat dan sekaligus seorang Muslim yang taat.
Foto: Getty Images/AP Photo/C.Paris
Mendirikan masjid inklusif
Pendiri Homosexual Muslims of France ini mendirikan "Masjid Inklusif "di Paris pada tahun 2012. Zahed mengatakan bahwa masyarakat Muslim secara historis lebih toleran terhadap homoseksualitas ketimbang budaya Kristen. (foto ilustrasi)
Foto: picture-alliance/dpa
Hidup dalam ancaman
Ancaman yang dihadapinya tidak sedikit. Di Perancis, Zahed kerap meneriman pesan-pesan di Facebook yang menudingnya "menodai Islam" dan seharusnya "terbakar di neraka".
Foto: picture alliance/dpa
Menikahi pasangan
Pada tahun 2011, Zahed menikahi pasangannya. Ibunya, menghadiri pernikahan mereka. Ibunya mengatakan: 'Kamu bisa memiliki suami jika menginginkannya. Saya menerimamu kamu apa adanya." (foto ilustrasi)
Foto: picture-alliance/dpa
Merasa bisa menjadi keduanya
Saat diundang ke Berlin, Zahed berusaha menunjukkan bahwa homoseksualitas dan Islam, kompatibel: "Saya juga berjuang dengan dua identitas ini. Saya terbelah antara agama dan perliaku seksualitas saya,". Tapi kemudian, kata Zahed, dia menyadari bahwa Islam memegang pesan toleransi dan perdamaian - dan bahwa dia bisa menjadi keduanya: gay dan sekaligus Muslim.
Foto: DW/A. Ammar
Melawan intoleransi
Sejak saat itu, Zahed memutuskan mengabdikan hidupnya untuk meyakinkan orang lain, agar ikut melawan interpretasi Islam yang berpikiran tertutup dan tidak toleran yang dia sebut "fasis". Ed: Naomi Conrad (ap/as)
Foto: picture-alliance/dpa/R.Schederin
6 foto1 | 6
Sebagai cendikiawan Muslim, apakah Anda berpendapat bahwa seorang pria atau perempuan berhak melakukan hubungan seksual sesama jenis?
Kalau ada manusia yang homoseksual dan tidak bisa mengubah orientasi seksualnya, entah itu homoseksual atau heteroseksual. Lantas apa yang bisa harapkan pada mereka? Apakah mereka lantas harus menjalani Selibat (gaya hidup tanpa menikah sebagaimana tradisi Katholik)? Kita tahu betul Islam melarang Selibat.
Kalau kita berbicara tentang homoseksualitas, kita berpegang pada tulisan dari abad pertengahan tentang umat nabi Luth. Tapi ketika kisah nabi Luth bukan tentang homoseksualitas, tetapi tentang biseksualitas dan kekerasan seksual, maka kita sebagai muslim harus membahas bagaimana kita memperlakukan seorang homoseksual yang menunaikan sholat, berpuasa, membayar zakat, melakukan haji, meyakini hari kiamat, menyembah Allah dan mengamini Muhammad sebagai Rasul-Nya. Apakah dia lantas bukan lagi muslim? Ini harus dibicarakan.
Apa yang sebenarnya tertulis di dalam al-Quran mengenai homoseksualitas?
Lika-Liku Seorang Gadis Spanyol Menjadi Transpria
Seorang perempuan Spanyol bertekad mengubah kelaminnya menjadi laki-laki. Perjalanan Gabriel Diaz yang penuh pengorbanan dan rasa sakit diabadikan oleh fotografer Reuters, Susana Vera.
Foto: Reuters/Susana Vera
Pria di Tubuh Wanita
Gabriel Diaz de Tudanca terlahir seorang perempuan. Tapi sejak kecil dia mengidentifikasikan diri sebagai laki-laki. "Ketika saya berusia tiga tahun, saya mengatakan kepada ibu saya bahwa jika saya besar, saya akan menjadi seorang laki-laki bernama Oscar," kisahnya.
Foto: Reuters/Susana Vera
Dilahirkan Kembali di Meja Operasi
Dengan dukungan teman dan keluarga, Gabriel menjalani operasi kelamin dan terapi hormon. Dia lalu mengubah nama dan mengurus pergantian surat identitas. Singkat kata, perempuan berusia 15 tahun ini dilahirkan kembali sebagai seorang pria. Perjalanan Gabriel diabadikan oleh fotografer Reuters, Susana Vera, selama tiga tahun.
Foto: Reuters/Susana Vera
Diskriminasi Transgender
Spanyol mewajibkan setiap orang menjalani pemeriksaan mental sebagai syarat perubahan dokumen identitas pribadi. Pasalnya transgender hingga kini masih dianggap penyakit mental di banyak negara Eropa, termasuk Spanyol. "Saya tidak merasa terhina didiagnosa mengidap penyakit mental," kata Gabriel. "Tapi saya marah karena itu dijadikan syarat untuk mengubah jenis kelamin di dokumen pribadi."
Foto: Reuters/Susana Vera
Pengakuan oleh PBB
Badan Kesehatan Dunia (WHO) Juni 2018 silam sudah menginstruksikan agar transgender tidak lagi diklasifikasikan sebagai gangguan mental. Sebaliknya WHO kini menganggapnya sebagai "ketidaksesuaian gender" yang berarti perbedaan antara jenis kelamin dan perilaku gender yang dialami individu secara konsisten. Tampak dalam gambar Gabriel sedang menunggu suntikan hormon testosteron.
Foto: Reuters/Susana Vera
Lompatan Besar Menuju Kebebasan
Gabriel memulai terapi hormon untuk memperkuat karakter maskulin, yakni untuk memperberat suara dan mengubah pola distribusi lemak menjadi serupa pria. Dua tahun sebelumnya dia menjalani operasi pengangkatan payudara. "Ini perubahan besar dalam hidup saya," kata dia ihwal kehilangan payudara. "Operasi itu adalah sebuah pembebasan."
Foto: Reuters/Susana Vera
Hidup di Tengah Prasangka
Meski diterima sebagai pria di lingkup sosialnya, sebagian masih menolak mengakui perubahan gender pada Gabriel. Seorang teman lama bahkan mengatakan dia tidak menganggapnya sebagai pria lantaran tidak memiliki alat kelamin laki-laki. Meski demikian, Gabriel kini telah memiliki seorang kekasih perempuan.
Foto: Reuters/Susana Vera
Melawan Persepsi Miring dan Kebencian
Tidak heran jika Gabriel kini mengabdikan hidupnya untuk membantu pemerintah kota menyebar kampanye buat melawan delik kebencian terhadap kaum LGBT. Dia antara lain membiarkan dirinya dijadikan sampul poster kampanye yang disebar di stasiun-stasiun kereta di ibukota Spanyol, Madrid. "Kebencian dan intoleransi yang mereka tunjukkan disebabkan oleh ketidaktahuan tentang kaum trans," imbuhnya.
Foto: Reuters/Susana Vera
7 foto1 | 7
Di dalam Al-Quran sendiri tidak ada hukuman terhadap homoseksual. Para ulama berpegang pada Hadith rasul yang dirawikan oleh Ibn Maja. Tapi Hadith ini tergolong lemah dan jika kita membaca Muwaṭṭa Imam Malik (kumpulan hadith Malik ibn Anas), tidak tercantum hadith nabi Muhammad yang menganjurkan hukuman bagi homoseksual, melainkan fatwa Ibn Shihab al-Zuhri yang mengatakan seorang homoseksual harus dirajam. Tapi ucapannya itu hanyalah pandangan seorang ahli Fiqh. Artinya di masa awal Islam tidak ada hukuman, tapi ulama lalu mengembangkan metode hukuman yang kemudian dijalankan. Pada awalnya Madzhab Hanafi pun tidak mengenal hukuman mati bagi pelaku homoseksualitas. Artinya kita harus berpikir kritis tentang apakah benar menghukum mati seorang homoseksual. Karena jika kita melakukan kesalahan tafsir dan hukuman mati tidak bisa diputarbalikkan, maka kita harus mempertanggungjawabkan tindakan kita di hadapan Allah pada hari penghisaban.
Apa yang harus dilakukan umat Muslim agar bisa mencari solusi atas kebuntuan ini?
Masalah besar di dunia muslim saat ini adalah minimnya pendidikan dan bahwa pandangan kita tentang homoseksualitas hanya merujuk pada apa yang kita tonton di televisi. Biasanya kita tidak mengenal seorang homoseksual secara pribadi. Dari televisi kita mendapat pandangan bahwa homoseksual adalah manusia lemah yang tidak bermoral, tapi saya mengenal banyak homoseksual muslim yang bersikap sopan dan berkepribadian kuat serupa sorang heteroseksual muslim. Ini mungkin bisa menolong kita mengakui bahwa kaum homoseksual berbeda dengan apa yang ditampilkan di televisi, melainkan juga serupa seperti muslim pada umumnya.
Wawancara dilakukan oleh Naser Ahmadi
(ed: rzn/ap)
Kehidupan Waria di Kampung Bandan
Kampung Bandan di Jakarta Utara akan disulap menjadi stasiun megah. Di kampung ini menetap para waria yang hidupnya tergantung pada area itu. Banyak dari mereka mengonsumsi obat anti letih. Simak bagaimana kesehariannya.
Foto: DW/M. Rijkers
Membebaskan diri dari kekangan sosial
Sore hari Kezia sudah selesai merias wajah dan menata rambutnya. Sabtu adalah malam panjang buat waria seperti Kezia. Kezia sudah siap mengamen sebagai pekerjaan utamanya. Lahir sebagai Reza, Kezia memilih menjadi waria dan tinggal di Kampung Bandan, kawasan padat penduduk miskin meski ayahnya tergolong mampu dan sudah membelikan rumah untuk anak laki-lakinya di daerah Kemayoran, Jakarta Pusat.
Foto: DW/M. Rijkers
Berjalan jauh dengan hak tinggi
Gaun, tas dan sepatu hak tinggi merupakan andalan Darno yang mengubah namanya menjadi Vera, dalam meraup rupiah. Dari jam 19 hingga 2 pagi, Vera menelan sirup obat batuk merek tertentu sebanyak 30 bungkus per hari agar kuat berjalan jauh, mengamen. Pilihan lain.,obat penenang atau pereda sakit yang dibeli dari apotek secara diam-diam. Pemakaian obat secara berlebihan bisa berakibat fatal.
Foto: DW/M. Rijkers
Ruang hidup di kamar sempit
Di kamar kontrakan berukuran 1,5 x 2,5 meter seharga 400 ribu rupiah sebulan ini, Ella dan Dede tinggal bersama. Pasangan ini sudah hidup bersama selama tujuh tahun. Dede bekerja menyewakan alat mengamen untuk para waria dengan ongkos lima puluh ribu rupiah seminggu.
Foto: DW/M. Rijkers
Komitmen pada kesetiaan
Ella bekerja mengamen tanpa kencan dengan pria lain karena ia sudah berkomitmen setia pada Dede. Sama seperti Vera, Ella mengaku memerlukan obat-obatan agar tidak letih berjalan kaki.
Foto: DW/M. Rijkers
Terbiasa hidup dengan obat anti letih
Kosmetik termasuk kebutuhan utama para waria. Alas bedak, bedak dan umumnya setiap waria bisa dandan sendiri. Namun ada kalanya para waria saling bantu merias wajah teman. Seperti yang lainnya, merekapun mengkonsumsi obat anti letih.
Foto: DW/M. Rijkers
Siap mencari nafkah
Butuh waktu minimal dua jam untuk merias wajah, mengubah raut muka pria menjadi perempuan. Selain rias wajah, rambut palsu atau wig menjadi pelengkap andalan para waria.
Foto: DW/M. Rijkers
Operasi payudara di Singapura
Christine operasi payudara di Singapura pada tahun 2015 silam. Butuh biaya 12 juta rupiah untuk menambah silikon padat seberat 100 cc. Christine mengaku bekerja sebagai PSK di Taman Lawang. Sama seperti Vera dan Ella, Christine mengaku mengonsumsi obat-obatan agar kuat berdiri dan tidak lekas lelah.
Foto: DW/M. Rijkers
Ketika mereka sakit...
Emak tinggal di kamar berdinding tripleks di lantai atas sebuah kamar kontrakan di Kampung Bandan. Sewa kamar sempit ini 250 ribu rupiah sebulan. Hari itu Emak sedang sakit di bagian kanan perut dan rongga dadanya sehingga ia tidak mengamen.
Foto: DW/M. Rijkers
Layanan kesehatan gratis belum diperoleh
“Saya baru mau periksa dokter nanti kalau pulang ke Cikarang,” tutur Emak sendu. Layanan kesehatan gratis bagi warga belum bisa diakses oleh kelompok marjinal ini.
Foto: DW/M. Rijkers
Aktif ikuti kegiatan rohani
Dian waria tertua di Kampung Bandan. Usianya sudah 67 tahun. Ia menjadi waria ketika berusia 19 tahun. Karena sudah tua, Dian cuma mengamen 2 kali seminggu. Waria kerap dinilai tak peduli soal keimanan. Namun Dian, yang baru memeluk agama Kristen, mengaku cukup relijius. Dian aktif mengikuti kegiatan rohani serta datang beribadah setiap Minggu di gereja. Saat beribadah ia memakai pakaian pria.
Foto: DW/M. Rijkers
Akan disulap menjadi stasiun
Terletak di kawasan Mangga Dua, Jakarta Utara, Kampung Bandan dikenal sebagai kampung waria. Saat ini ada sekitar 27 waria yang tinggal di sini, area padat penduduk di pinggir rel kereta api. Biaya sewa kamar bervariasi mulai dari 200 ribu hingga 400 ribu rupiah sebulan.
Foto: DW/M. Rijkers
Tantangan dari luar
Beberapa kalangan warga Kampung Bandan tidak menolak kehadiran para waria. Tantangan sebagai waria justru datang dari kelompok ormas keagamaan yang kerap menyerang waria jika bertemu di kendaraan umum atau di jalanan. Jika kampung ini berubah wajah menjadi stasiun modern, bagaimana nasib mereka nanti?(Monique Rijkers/ap/vlz)