Dua Jurnalis Timor Leste Digugat PM de Araujo ke Pengadilan
6 Oktober 2016
Dua wartawan Timor Leste akan diadili dalam kasus pidana pencemaran nama baik yang diajukan oleh Perdana Menteri Rui Maria de Araujo. Organisasi jurnalis dan hak asasi mengecam langkah itu.
Iklan
Raimundos Oki dan mantan atasannya Laurenco Vicente Martins dituduh melakukan pencemaran nama baik dan menghadapi ancaman sanksi tiga tahun penjara jika terbukti bersalah. Mereka akan mulai disidangkan hari Jumat (07/10) di Dili, Timor Leste.
Kelompok-kelompok hak asasi dan organisasi jurnalis mengecam langkah itu dan prihatin terhadap situasi kebebasan pers di negara anggota termuda PBB itu.
Raimundus Oki dan Laurenco menerbitkan tulisan di harian Timor Post 10 November 2015 tentang keterlibatan Perdana Menteri Rui Maria de Araujo dalam tender pemerintah untuk layanan teknologi informasi tahun 2014. Ketika itu, dia menjabat sebagai penasihat menteri keuangan Timor Leste.
Dalam laporan itu disebutkan, de Araujo sudah merekomendasikan perusahaan tertentu untuk memenangkan kontrak sebelum tawaran resmi dibuka. Tapi berita itu salah mengidentifikasi perusahaan yang memenangkan kontrak.
Harian Timor Post kemudian pada 17 November 2015 meminta maaf atas kesalahan itu dan menerbitkan berita bantahan de Araujo sesuai hak jawabnya di halaman depan. Editor Laurenco Vicente Martins mengundurkan diri dari jabatannya.
Raimundos Oki telah membuat laporan klarifikasi yang terbit 18 November 2015. Tapi Rui Maria de Araujo, yang sekarang menjadi Perdana Menteri, tetap bersikeras mengajukan kedua jurnalis ke pengadilan.
"Berita saya membuat dia marah, dan dia menyeret saya ke pengadilan," kata Raimundos Oki.
Santina da Costa, editor Timor Post saat ini mengecam langkah itu dan menyatakan, wartawan tidak boleh dikenakan tuntutan pidana berkaitan dengan pekerjaan mereka.
"Sebagai warga negara, kita akan tunduk pada hukum," kata dia. "Tapi pemerintah tidak harus mendakwa wartawan di bawah hukum pidana."
Organisasi internasional Committee to Protect Journalists, Freedom House dan Internasional Federation of Journalists (IFJ) mendesak Perdana Menteri Timor Leste agar menarik gugatannya.
Dalam surat bersama yang dikirim 19 Juli lalu kepada PM de Araujo, ketiga organisasi yang memperjuangkan kebebasan pers itu menyebut kasus ini sebagai "serangan terhadap kebebasan pers dan hak atas informasi" di Timor Leste". Selanjutnya mereka menulis "Tuntutan pidana terhadap wartawan tidak dapat diterima. Ini adalah hal mendasar."
Federasi Jurnalis Internasional (IFJ) hari Senin (03/10) kembali mendesak Perdana Menteri Timor-Leste untuk menghentikan tuduhan pencemaran nama baik terhadap Raimundos Oki dan Laurenco Vicente Martins.
Sekretaris Jenderal IFJ Anthony Bellanger mengatakan: "Kenyataan bahwa di Timor-Leste hukum pidana memungkinkan penyidikan dan penuntutan jurnalis untuk ketidakakuratan atau laporan yang dianggap tidak adil, tidak bisa diterima di setiap negara yang demokratis.
"Bahkan lebih mengecewakan lagi untuk dicatat bahwa Timor-Leste, yang lama berjuang demi demokrasi, memiliki aturan hukum semacam ini. Demokrasi Timor-Leste seharusnya cukup kuat untuk memungkinkan pers yang bebas dan kuat," kata dia. IFJ menggalang kampanye di internet dengan tagar #freetimorjournalists.
Wartawan dan Kebebasan Pers
Sebuah studi mengungkap, situasi yang dihadapi wartawan masih buruk. Berikut negara-negara yang dianggap berbahaya buat awak pers.
Foto: AFP/Getty Images/P. Baz
"Setengah Bebas" di Indonesia
Di Asia Tenggara, cuma Filipina dan Indonesia saja yang mencatat perkembangan positif dan mendapat status "setengah bebas" dalam kebebasan pers. Namun begitu Indonesia tetap mendapat sorotan lantaran besarnya pengaruh politik terhadap media, serangan dan ancaman terhadap aktivis dan jurnalis di daerah, serta persekusi terhadap minoritas yang dilakukan oleh awak media sendiri.
Foto: picture-alliance/ dpa
Kebebasan Semu di Turki dan Ukraina
Pemberitaan berimbang, keamanan buat wartawan dan minimnya pengaruh negara atas media: Menurut Freedom House, tahun 2013 silam cuma satu dari enam manusia di dunia yang dapat hidup dalam situasi semacam itu. Angka tersebut adalah yang terendah sejak 1986. Di antara negara yang dianggap "tidak bebas" antara lain Turki dan Ukraina.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Serangan Terhadap Kuli Tinta
Turki mencatat serangkain serangan terhadap wartawan. Gökhan Biçici (Gambar) misalnya ditangkap saat protes di lapangan Gezi. Menurut Komiter Perlindungan Jurnalis (CPJ), awal Desember lalu Turki memenjarakan 40 wartawan - jumlah tertinggi di seluruh dunia. Ancaman terbesar buat kebebasan pers adalah pengambil-alihan media-media nasional oleh perusahaan swasta yang dekat dengan pemerintah.
Foto: AFP/Getty Images
Celaka Mengintai buat Suara Kritis
Serangan terhadap jurnalis juga terjadi di Ukraina, terutama selama aksi protes di lapangan Maidan dan okupasi militan pro Rusia di Krimea. Salah satu korban adalah Tetiana Chornovol. Jurnalis perempuan yang kerap memberitakan gaya hidup mewah bekas Presiden Viktor Yanukovich itu dipukuli ketika sedang berkendara di jalan raya. Ia meyakini, Yanukovich adalah dalang di balik serangan tersebut.
Foto: Genya Savilov/AFP/Getty Images
"Berhentilah Berbohong!"
Situasi kritis juga dijumpai di Cina dan Rusia. Kedua pemerintah berupaya mempengaruhi pemberitaan media dan meracik undang-undang buat memberangus suara kritis di dunia maya. Rusia misalnya membredel kantor berita RIA Novosti dan menjadikannya media pemerintah. Sebagian kecil penduduk Rusia pun turun ke jalan, mengusung spanduk bertuliskan, "Berhentilah Berbohong!"
Foto: picture-alliance/dpa
Mata-mata dari Washington
Buat Amerika Serikat, mereka adalah negara dengan kebebasan pers. Namun kebijakan informasi Washington belakangan mulai menuai kecaman. Selain merahasiakan informasi resmi dengan alasan keamanan nasional, pemerintah AS juga kerap memaksa jurnalis membeberkan nara sumber, tulis sebuah studi. Selain itu dinas rahasia dalam negeri AS juga kedapatan menguping pembicaraan telepon seorang jurnalis.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Terseret Kembali ke Era Mubarak
Setelah kejatuhan Presiden Mursi yang dianggap sebagai musuh kebebasan pers, situasi di Mesir pasca kudeta militer 2013 lalu terus memanas. Belasan jurnalis ditangkap, lima meninggal dunia "di tangan militer," tulis Freedom House. Media-media yang kebanyakan tunduk pada rejim militer Kairo membuat pemberitaan berimbang menjadi barang langka di Mesir.
Foto: AFP/Getty Images
Situasi di Mali Membaik
Mali mencatat perkembangan positif. Setelah pemilu kepresidenan dan operasi militer yang sukses menghalau pemberontak Islamis dari sebagian besar wilayah negara, banyak media yang tadinya dibredel kembali beroperasi. Kendati begitu perkembangan baru ini diwarnai oleh pembunuhan dua jurnalis asal Perancis, November 2913 silam.
Foto: AFP/Getty Images
Tren Positif di Kirgistan dan Nepal
Beberapa negara lain yang mengalami perbaikan dalam kebebasan pers adalah Kirgistan, di mana 2013 lalu tercatat lebih sedikit serangan terhadap jurnalis. Nepal yang juga berhasil mengurangi pengaruh politik terhadap media, tetap mencatat serangan dan ancaman terhadap awak pers. Loncatan terbesar dialami oleh Israel yang kini mendapat predikat "bebas" oleh Freedom House.
Foto: AFP/Getty Images
Terburuk di Asia Tengah
Freedom House menggelar studi di 197 negara. Setelah melalui proses penilaian, lembaga bentukan bekas ibu negara AS Eleanor Roosevelt itu memberikan status "bebas", "setengah bebas" dan "tidak bebas" buat masing-masing negara. Peringkat paling bawah didiami oleh Turkmenistan, Uzbekistan dan Belarusia. Sementara peringkat terbaik dimiliki oleh Belanda, Norwegia dan Swedia.