Dua Pria Iran Jalan Kaki Berhari-hari untuk Mencapai Jerman
Kaukab Shairani
13 Agustus 2024
Omid dan Milad menempuh perjalanan panjang dengan berjalan kaki serta menumpang kapal, pesawat, hingga bus untuk menuju ke Jerman. Pelarian mereka adalah imbas aksi protes massal Iran pada 2022.
Iklan
Aksi protes massal warga menentang pemerintah Iran pada 2022 lalu, yang dipicu oleh kematian Jina Mahsa Amini perempuan etnis Kurdi berusia 22 tahun, memicu peningkatan signifikan jumlah warga Iran yang hengkang ke luar negeri meninggalkan negara itu.
Amini meninggal dalam tahanan polisi, setelah ditangkap atas tuduhan tidak mengenakan jilbab dengan seharusnya. Rezim Teokrasi Islam di Iran menanggapi aksi protes besar-besaran selama berbulan-bulan itu dengan penumpasan berdarah secara brutal.
Bukan kali pertama Iran dan Arab Saudi bersitegang. Sepanjang sejarahnya, hubungan kedua negara acap mengalami pasang surut menyusul konflik politik atau agama. Inilah sejarah modern permusuhan dua ideologi dalam Islam
Foto: DW Montage
Damai berbayang kecurigaan
Hubungan Iran dan Arab Saudi baru tumbuh sejak kekuasaan Syah Reza Pahlevi dan Raja Khalid. Kedua negara sebelumnya sering direcoki rasa saling curiga, antara lain karena tindakan Riyadh menutup tempat-tempat ziarah kaum Syiah di Mekkah dan Madinah. Perseteruan yang awalnya berbasis agama itu berubah menjadi politis seiring dengan eskalasi konflik di Timur Tengah dan Revolusi Islam 1979.
Foto: picture alliance/AP Images
Pendekatan usai Revolusi Islam
Raja Khalid sempat melayangkan ucapan selamat kepada Ayatollah Khomeini atas keberhasilan Revolusi Islam 1979. Tapi hubungan kedua negara memburuk menyusul perang Iran-Irak dan kisruh Haji 1987. Puncaknya, Riyadh memutuskan hubungan pada 1987, ketika Khomeini mengecam penguasa Saudi sebagai "Wahabi yang tidak berperikemanusiaan, ibarat belati yang menusuk jantung kaum Muslim dari belakang."
Foto: Getty Images/Afp
Keberpihakan dalam Perang Iran-Irak 1980
Saat berkobar perang Iran-Irak, Arab Saudi sejak dini menyatakan dukungan terhadap rejim Saddam Hussein di Baghdad. Riyadh memberikan dana sumbangan sebesar 25 milyar US Dollar dan mendesak negara-negara Teluk lain untuk ikut mengisi pundi perang buat Irak. Demi menanggung biaya perang, Arab Saudi menggenjot produksi minyak yang kemudian mengakibatkan runtuhnya harga minyak di pasar dunia.
Foto: picture-alliance/dpa
Kisruh Haji 1987
Mengikuti ajakan Ayatollah Khomeini, jemaah Iran setiap tahun berdemonstrasi di Mekkah dan Madinah menentang Israel. Tradisi sejak 1981 itu tidak pernah diperkarakan, kecuali pada 1987, ketika polisi memblokade jalan menuju Masjid al-Haram. Akibat bentrokan, 402 jemaah Iran tewas dan 649 luka-luka. Setelah kedutaannya di Teheran diserbu massa, Riyadh memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran.
Foto: farhangnews
Kontroversi program nuklir Iran
Arab Saudi sejak awal menolak program nuklir Teheran. Sikap itu tidak berubah bahkan setelah tercapainya Perjanjian Nuklir di Vienna tahun 2015. Riyadh menilai kesepakatan tersebut "sangat berbahaya." Desakan kepada Iran untuk bekerja sama dengan pengawas nuklir PBB juga disampaikan Saudi pada awal 2023.
Foto: Irna
Pemberontakan Houthi di Yaman, 2004
Hubungan Iran dan Arab Saudi kembali menegang setelah kelompok Syiah Zaidiyah di Yaman mengobarkan pemberontakan. Riyadh menuding Teheran mengompori perang bersaudara dan mencampuri urusan dalam negeri Yaman dengan memasok senjata. Iran sebaliknya menuding Arab Saudi menghkhianati perannya sebagai mediator konflik dengan membombardir minoritas Houthi di utara Yaman.
Foto: picture alliance/Y. Arhab
Perang proksi di Suriah, 2011
Dukungan Iran atas rejim Bashar Assad di Suriah sejak lama dianggap duri dalam daging oleh Arab Saudi. Sejak 2011, Riyadh aktif memasok senjata buat oposisi Sunni di Suriah. Kerajaan di Riyadh juga menjadi yang pertama kali mengecam Assad seputar "tindakan represif pemerintahannya terhadap demonstrasi anti pemerintah," ujar Raja Abdullah saat itu.
Foto: picture-alliance/AP/Vadim Ghirda
Tragedi Mina 2015
Bencana memayungi ibadah Haji 2015 ketika lebih dari 400 jemaah Iran meninggal dunia di terowongan Mina akibat panik massa. Iran menuding pemerintah Arab Saudi ikut bertanggungjawab. Riyadh sebaliknya menyelipkan isu bahwa tragedi itu disebabkan jemaah haji Iran yang tak mau diatur. Kisruh memuncak saat pangeran Arab Saudi, Khalid bin Abdullah, mendesak agar Riyadh melarang masuk jemaah haji Iran.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Eksekusi Mati Al-Nimr 2016
Sehari setelah pergantian tahun Arab Saudi mengeksekusi mati 46 terpidana, antara lain Syeikh Nimr al-Nimr, seorang ulama yang aktif membela hak-hak minoritas Syiah yang kerap mengalami represi dan diskriminasi di Arab Saudi. Al-Nimr didakwa terlibat dalam terorisme. Sebagai reaksi Pemimpin Spiritual Iran, Ayatollah Ali Khamenei melayangkan ancaman, bahwa Saudi akan mendapat "pembalasan tuhan."
Foto: picture alliance/dpa/Y. Arhab
Drama di Lebanon
Pada November 2017 Perdana Menteri Lebanon Saad Hariri mengumumkan pengunduran diri dari Riyadh, Arab Saudi, dan menyalahkan Iran terkait kebuntuan politik di Beirut. Langkah itu diyakini bagian dari manuver Arab Saudi untuk memprovokasi perang antara Iran dan Hizbullah dengan Israel. Saudi dan Iran berebut pengaruh di Lebanon pasca penarikan mundur pasukan Suriah 2005 silam.
Foto: picture-alliance/dpa/AP/Lebanese Official Government/D. Nohra
Narasi damai di awal 2023
Menyusul mediasi Cina, pemerintah Arab Saudi sepakat memulihkan hubungan dengan Ira pada Maret 2023. Kesepakatan tersebut disusul pembukaan kembali relasi dengan Suriah dan perundingan damai dengan pemberontak Houthi di Yaman. Sebelumnya, negara-negara Teluk juga sepakat mengakhiri perpecahan dengan Katar, sekutu dekat Iran di Teluk Persia.
Foto: Iran's Foreign Ministry/WANA/REUTERS
11 foto1 | 11
Penindasan di Iran
Milad, yang meminta untuk tidak menyebutkan nama belakangnya, merupakan seorang pengkritik rezim di Iran
Pria berusia 35 tahun itu telah berpartisipasi dalam protes anti-pemerintah sejak 2008 dan menghadapi berbagai penindasan yang cukup parah.
Milad menuduh pasukan keamanan Iran menembak matanya saat protes besar-besaran pada 2022, dan mengakibatkan hilangnya penglihatan di satu matanya. Dia juga disiksa saat berada dalam tahanan, tetapi kemudian dibebaskan setelah menandatangani perjanjian untuk menghentikan protesnya.
Omid, yang juga tidak ingin mengungkapkan nama belakangnya, menyebutkan dia memiliki pengalaman yang serupa.
Pria berusia 28 tahun ini adalah mantan petugas polisi Iran. Kepada DW dia mengatakan, dirinya dipecat pada 2017 lalu, setelah menolak untuk ambil bagian dalam aksi penindasan oleh pasukan keamanan Iran, yang didukung oleh pasukan paramiliter sukarela Basij yang loyal kepada para Mullah di Teheran, dan sering digunakan untuk menumpas aksi protes anti-pemerintah.
"Saya memainkan peran penting, dengan tidak ikut serta dalam penindasan terhadap rakyat saya," kata Omid.
Melarikan diri dari Teheran
Omid dan Milad sama-sama meninggalkan ibukota Iran, Teheran pada Maret 2023. Keduanya mula-mula menempuh perjalanan menggunakan pesawat terbang, dari Teheran ke Istanbul.
Omid memutuskan untuk melarikan diri, setelah diserang dan ditangkap dua kali. "Saya melarikan diri dengan bantuan ayah saya, yang juga seorang tentara," katanya. "Saat kedua kalinya saya ditangkap, teman saya memberi tahu ayah saya, yang kini sudah pensiun. Dia menggunakan pengaruhnya untuk membebaskan saya. Setelah itu, saya meninggalkan negara itu."
Sesampainya di Turki, dua pria itu melanjukan perjalanan ke Yunani. "Perjalanan dari Turki ke Yunani ditempuh selama empat hari empat malam dengan berjalan kaki. Kami menghabiskan sepuluh menit di atas kapal dan berjalan kaki hingga mencapai titik peristirahatan," ungkap Milad dalam sebuah panggilan telepon dari kota Mainz, Jerman, tempat tinggalnya saat ini.
Setelah sampai di Yunani, Milad melanjutkan pelariannya dengan naik bus. "Dari titik ini, saya naik bus dengan satu orang dari Afganistan, yang memberikan kami uang dan tempat tinggal selama satu malam selama perjalanan."
Omid menceritakan bagaimana dia bertahan hidup tanpa makanan selama tiga hari di Yunani. "Saya bertahan hidup hanya dengan minum air yang ditampung di dedaunan dan rawa-rawa. Itu sangat sulit," tuturnya. Dia juga menambahkan, "Telapak kaki saya terluka. Sepanjang perjalanan saya hanya berpikir bisa hidup bebas setelah perjalanan ini, dan itu membuat saya terus bertahan."
"Totalnya, kami melintasi 10 atau 11 perbatasan," kata Milad, yang berbicara atas dirinya dan mewakili Omid, dan kerapkanli bertemu aparat kepolisian di hampir setiap perbatasan, yang disebutkan cukup merepotkan mereka.
Bagi Milad, pos pemeriksaan yang paling sulit adalah di Serbia. "Polisi menangkap saya lebih dari enam kali di sana."
"Saat saya menceritakannya, terdengar mudah, dan kita bisa bahas detail cerita ini dengan cepat... Tapi sebenarnya, saat itu tidak mudah. Kami tidur di dalam kantong sampah, itu adalah satu-satunya 'selimut' yang saya miliki. Saat itu musim hujan, dan saya tidak ingin basah. Itu adalah masa yang sangat, sangat sulit," kenang Milad.
Pengungsi Global: Melarikan Diri dari Bahaya
PBB melaporkan ada 82,4 juta pengungsi di seluruh dunia yang melarikan diri dari perang, penindasan, bencana alam hingga dampak perubahan iklim. Anak-anak pengungsi yang paling menderita.
Foto: KM Asad/dpa/picture alliance
Diselamatkan dari laut
Seorang bayi mungil diselamatkan seorang penyelam polisi Spanyol ketika nyaris mati tenggelam. Maroko pada Mei 2021, untuk sementara melonggarkan pengawasan di perbatasan dengan Ceuta. Ribuan orang mencoba memasuki kawasan enklave Spanyol itu dengan berenang di sepanjang pantai Afrika Utara. Foto ini dipandang sebagai representasi ikonik dari krisis migrasi di Ceuta.
Foto: Guardia Civil/AP Photo/picture alliance
Tidak ada prospek
Laut Mediterania adalah salah satu rute migrasi paling berbahaya di dunia. Banyak pengungsi Afrika yang mencoba dan gagal menyeberang ke Eropa, sebagian terdampar di Libia. Mereka terus berjuang untuk bertahan hidup dan seringkali harus bekerja dalam kondisi yang menyedihkan. Para pemuda di Tripoli ini contohnya, banyak dari mereka masih di bawah umur, menunggu dan beharap pekerjaan serabutan.
Foto: MAHMUD TURKIA/AFP via Getty Images
Hidup dalam sebuah koper
Sekitar 40% pengungsi adalah anak-anak. Beberapa tahun silam, 1,1 juta warga minoritas Muslim Rohingya melarikan diri dari kekerasan militer Myanmar ke Bangladesh Kamp pengungsi Cox's Bazar salah satu yang terbesar di dunia. LSM SOS Children's Villages peringatkan kekerasan, narkoba dan perdagangan manusia adalah masalah yang berkembang di sana, seperti halnya pekerja anak dan pernikahan dini.
Foto: DANISH SIDDIQUI/REUTERS
Krisis terbaru
Perang saudara di wilayah Tigray di Etiopia yang pecah baru-baru ini, telah memicu pergerakan pengungsi besar lainnya. Lebih dari 90% populasi Tigray saat ini bergantung pada bantuan kemanusiaan. Sekitar 1,6 juta orang melarikan diri ke Sudan, 720 ribu di antaranya adalah anak-anak. Mereka terjebak di wilayah transit, menghadapi masa depan yang tidak pasti
Foto: BAZ RATNER/REUTERS
Ke mana pengungsi harus pergi?
Pulau-pulau di Yunani jadi target pengungsi dari Suriah dan Afganistan, yang secara berkala terus berdatangan dari Turki. Banyak pengungsi ditampung di kamp Moria, pulau Lesbos, sampai kamp tersebut terbakar September lalu. Setelah itu, keluarga ini datang ke Athena. Uni Eropa telah berusaha selama bertahun-tahun untuk menyetujui strategi komunal dan kebijakan pengungsi, tetapi tidak berhasil.
Foto: picture-alliance/dpa/Y. Karahalis
Eksistensi yang keras
Tidak ada sekolah untuk anak-anak pengungsi Afganistan yang tinggal di kamp pengungsi Pakistan. Kamp tersebut telah ada sejak intervensi Soviet di Afganistan pada tahun 1979. Kondisi kehidupan di sana buruk. Kamp tersebut kekurangan air minum dan akomodasi yang layak.
Foto: Muhammed Semih Ugurlu/AA/picture alliance
Dukungan penting dari organisasi nirlaba
Banyak keluarga di Venezuela yang tidak melihat ada masa depan di negaranya sendiri, mengungsi ke negara tetangga, Kolombia. Di sana mereka mendapat dukungan dari Palang Merah yang memberikan bantuan medis dan kemanusiaan. Organisasi ini juga mendirikan kamp transit di sebuah sekolah di kota perbatasan Arauquita.
Foto: Luisa Gonzalez/REUTERS
Belajar untuk berintegrasi
Banyak pengungsi berharap masa depan yang lebih baik bagi anak-anak mereka di Jerman. Di Lernfreunde Haus-Karlsruhe, anak-anak pengungsi dipersiapkan untuk masuk ke sistem sekolah Jerman. Namun, selama pandemi COVID-19, mereka kehilangan bantuan untuk mengintegrasi diri mereka ke dalam masyarakat baru itu. (kfp/as)
Foto: Uli Deck/dpa/picture alliance
8 foto1 | 8
"Kami hanya membawa ransel, beberapa cemilan kacang, dan dua botol air. Itu pun tidak boleh terlalu berat, atau nantinya kami tidak bisa berjalan kaki."
Sementara itu, pos pemeriksaan terberat bagi Omid adalah di Kroasia. Polisi di sana mengancam Omid, dengan mengatakan, "Kami akan mengirim Anda kembali ke Iran."
Iklan
Sampai ke Jerman dan ajukan permohonan suaka
Mulai dari Serbia dan seterusnya, Omid bergabung dengan kelompok, di mana Milad juga anggotanya. "Kami berjalan menuju Jerman bersama-sama," katanya, dengan rasa lelah yang begitu dalam, saat mengingat perjalanan yang sulit itu.
Di akhir perjalanan berbahaya itu, Omid dan Milad akhirnya tiba di Jerman.
Omid mencatat, tidak seperti di pos pemeriksaan perbatasan lainnya, polisi Jerman menerima mereka dengan baik. "Perlakuan di sini benar-benar manusiawi dan baik," katanya.
Milad pun senada dengan Omid dan menambahkan: "Saya merasa sangat aman di negara ini."
Seperti kebanyakan pengungsi lainnya, mereka juga mengajukan permohonan suaka dan kini menjalani kehidupan normal di Jerman.
Omid berharap pemerintah Jerman akan terus mendukung warga Iran yang terpaksa harus mengungsi. "Mereka terpaksa meninggalkan rumah, tanah air, keluarga, dan harta benda hanya untuk menyelamatkan diri," katanya.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Presiden Iran yang reformis, mampukah buat perubahan?
Situasi sosial dan politik di Iran semakin memburuk, sejak gelombang aksi protes menyusul kematian Jina Mahsa Amini. Banyak pengunjuk rasa, termasuk para remaja, yang mengalami penganiayaan, dihukum penjara yang cukup lama, dan bahkan dieksekusi hukuman mati.
Pelanggaran berat hak-hak perempuan dan HAM dari para pemimpin agama di negara itu, telah mendorong banyak warganya memilih untuk melarikan diri, meski dengan risiko yang tinggi.
Namun, dengan terpilihnya seorang presiden yang dianggap reformis, Masoud Pezeshkian, muncul spekulasi tentang bagaimana keadaan di negara ini bisa berubah.
Selama kampanye, pria berusia 69 tahun itu bertekad untuk membangun kepercayaan antara "pemerintahan yang moderat" dan penduduk Iran, tetapi tidak menjanjikan perubahan yang radikal.
Selain itu, dalam sistem politik Republik Islam, presiden bukanlah kepala negara melainkan hanya kepala pemerintahan yang dipilih melalui pemilihan umum.
Sebagian besar kekuasaan berada di tangan Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei.
Ighan Shahidi, seorang peneliti Iran di Universitas Cambridge, kepada DW pada bulan lalu mengatakan, dia tidak mengharapkan adanya perbaikan di Iran dalam tema hak asasi manusia, terutama hak-hak bagi perempuan dan kelompok agama minoritas yang teraniaya seperti Bahai, meski Iran di bawah kepresidenan Pezeshkian.
"Yang jelas, ada arahan dan peraturan yang dikeluarkan oleh organisasi dan lembaga tinggi pemerintah Iran, seperti Dewan Tertinggi Revolusi Kebudayaan, yang menyebabkan banyaknya pelanggaran hak-hak rakyat Iran," katanya.
Massa Pelayat Iringi Prosesi Pemakaman Jenderal Iran Qassem Soleimani
Ribuan orang berkumpul pada Senin (06/01) untuk mengikuti prosesi pemakaman Jenderal Qassem Soleimani di Teheran. Pemimpin Iran bersumpah "membalas dendam dengan keras" terhadap AS.
Foto: AFP/A. Kenare
Massa ingin menyentuh peti jenazah
Sebagai belasungkawa dan ucapan perpisahan, massa di Teheran bergantian ingin ikut menyentuh peti jenazah jenderal yang terbunuh dalam serangan drone AS di Baghdad, Irak. Jenazah Jenderal Qassem Soleimani diterbangkan ke Teheran, Senin (06/01). Massa meneriakkan kata-kata "Matilah Amerika!" dan "Balas Dendam!"
Foto: AFP/Office of Iran's Supreme Leader Ayatollah Ali Khamenei
Ayatollah menangis
Pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei menangis ketika memimpin doa di depan peti jenazah. Khameini menyerukan "balas dendam berat" terhadap AS. Pengganti Soleimani yang menjadi pemimpin Quds, Esmail Qaani (kanan) juga menunjukkan emosi pada hari itu.
Foto: picture-alliance/AP Photo/Iran Press TV
Pemakaman terbesar sejak 1989
TV pemerintah Iran mengatakan jumlah pelayat mencapai lebih dari satu juta orang, tetapi banyak yang memperkirakan bahwa jumlah sebenarnya kurang dari itu. Terlepas dari perdebatan itu, pemakaman ini adalah yang terbesar di Iran sejak pemakaman pendiri Republik Islam, Ayatollah Ruhollah Khomeini, tahun 1989.
Foto: AFP
Pemimpin yang populer
Soleimani adalah pemimpin militer yang cukup populer. Kematiannya ditangisi oleh banyak orang termasuk juga di kalangan militer Iran. Seorang jenderal Quds yang tidak disebutkan namanya terlihat tersungkur dan menangisi peti matinya.
Foto: AFP/Office of Iran's Supreme Leader Ayatollah Ali Khamenei
Putri Soleimani: "hari gelap" bagi AS
Anak perempuan Qassem Soleimani, Zeinab, berbicara dalam prosesi pemakaman. Dia mengatakan "hari-hari gelap" akan datang untuk AS. "Trump gila, jangan berpikir bahwa semuanya sudah berakhir dengan kemartiran ayah saya," katanya.
Foto: AFP/Office of Iran's Supreme Leader Ayatollah Ali Khamenei
"Kita semua adalam Soleimani"
Soleimani adalah pahlawan nasional bagi banyak orang di Iran, bahkan bagi mereka yang menyatakan sebagai bukan pendukung para pemimpin ulama Iran. Kematian Soleimani telah menyatukan warga Iran dari seluruh spektrum agama dan politik.
Foto: Reuters/WANA/N. Tabatabaee
"Pahlawan" militer
Kerumunan massa yang membawa bendera Iran berkumpul di depan gambar besar Soleimani ketika ia dianugerahi Ordo Zolfaghar, kehormatan militer tertinggi di Iran. Soleimani telah dinyatakan sebagai "pahlawan" militer. Jalan-jalan di Teheran banyak yang ditutup karena dipenuhi pelayat. (ae/hp)
Foto: AFP/A. Kenare
7 foto1 | 7
"Presiden tampaknya tidak memiliki wewenang maupun kemampuan untuk mencapai perubahan ataupun perbaikan dalam kasus-kasus seperti itu,” tambahnya.
Merasa aman di Jerman
"Selama rezim Iran secara terus-menerus menindas hak-hak mendasar rakyat, warga Iran yang teraniaya akan kerap memilih untuk melakukan perjalanan berbahaya demi melarikan diri dari negara itu," kata para aktivis.
Bagi yang telah sukses melarikan diri, perjalanan ini memiliki risiko yang cukup tinggi, seperti halnya yang dialami oleh Milad dan Omid, dua dari ratusan orang yang hengkang meninggalkan Iran dalam beberapa tahun terakhir.
Keduanya juga menekankan, dampak dari penutupan pusat-pusat Islam oleh pemerintah Jerman, terutama yang terkait dengan pemerintah Iran, telah menambah rasa aman bagi mereka.
"Apalagi, kini pemerintah Jerman telah menutup pusat-pusat Islam yang berurusan dengan Iran, permintaan saya, dan permintaan seluruh rakyat Iran, adalah untuk memasukkan Sepah ke dalam daftar kelompok teroris," kata Omid, merujuk pada Pasukan Garda Revolusi Islam Iran, yang bertugas membela rezim di negara itu.