1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Dua Pria Iran Jalan Kaki Berhari-hari untuk Mencapai Jerman

Kaukab Shairani
13 Agustus 2024

Omid dan Milad menempuh perjalanan panjang dengan berjalan kaki serta menumpang kapal, pesawat, hingga bus untuk menuju ke Jerman. Pelarian mereka adalah imbas aksi protes massal Iran pada 2022.

Dua warga Iran mendokumentasikan pelarian mereka ke Jerman
Protes anti-pemerintah di Iran pada 2022 menyebabkan sejumlah warga Iran melarikan diri dari negaranyaFoto: Privat/DW

Aksi protes massal warga menentang pemerintah Iran pada 2022 lalu, yang dipicu oleh kematian Jina Mahsa Amini perempuan etnis Kurdi berusia 22 tahun, memicu peningkatan signifikan jumlah warga Iran yang hengkang ke luar negeri meninggalkan negara itu.

Amini meninggal dalam tahanan polisi, setelah ditangkap atas tuduhan tidak mengenakan jilbab dengan seharusnya. Rezim Teokrasi Islam di Iran menanggapi aksi protes besar-besaran selama berbulan-bulan itu dengan penumpasan berdarah secara brutal.

Pasukan keamanan Iran membunuh lebih dari 500 orang dan menahan lebih dari 20.000 warganya, ungkap kelompok hak asasi manusia (HAM). Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengutuk tindakan 'kejahatan' Iran terhadap para pengunjuk rasa dan menyebutnya sebagai "kejahatan terhadap kemanusiaan."

Penindasan di Iran

Milad, yang meminta untuk tidak menyebutkan nama belakangnya, merupakan seorang pengkritik rezim di Iran 

Pria berusia 35 tahun itu telah berpartisipasi dalam protes anti-pemerintah sejak 2008 dan  menghadapi berbagai penindasan yang cukup parah.

Milad menuduh pasukan keamanan Iran menembak matanya saat protes besar-besaran pada 2022, dan mengakibatkan hilangnya penglihatan di satu matanya. Dia juga disiksa saat berada dalam tahanan, tetapi kemudian dibebaskan setelah menandatangani perjanjian untuk menghentikan protesnya.

Omid, yang juga tidak ingin mengungkapkan nama belakangnya, menyebutkan dia memiliki pengalaman yang serupa.

Pria berusia 28 tahun ini adalah mantan petugas polisi Iran. Kepada DW dia mengatakan, dirinya dipecat pada 2017 lalu, setelah menolak untuk ambil bagian dalam aksi penindasan oleh pasukan keamanan Iran, yang didukung oleh pasukan paramiliter sukarela Basij yang loyal kepada para Mullah di Teheran, dan sering digunakan untuk menumpas aksi protes anti-pemerintah.

"Saya memainkan peran penting, dengan tidak ikut serta dalam penindasan terhadap rakyat saya," kata Omid.

Omid (kanan) dan Milad (kiri) bersama-sama menempuh perjanalan panjang untuk sampai ke JermanFoto: Privat/DW

Melarikan diri dari Teheran 

Omid dan Milad sama-sama meninggalkan ibukota Iran, Teheran pada Maret 2023. Keduanya mula-mula menempuh perjalanan menggunakan pesawat terbang, dari Teheran ke Istanbul.

Omid memutuskan untuk melarikan diri, setelah diserang dan ditangkap dua kali. "Saya melarikan diri dengan bantuan ayah saya, yang juga seorang tentara," katanya. "Saat kedua kalinya saya ditangkap, teman saya memberi tahu ayah saya, yang kini sudah pensiun. Dia menggunakan pengaruhnya untuk membebaskan saya. Setelah itu, saya meninggalkan negara itu."

Sesampainya di Turki, dua pria itu melanjukan perjalanan ke Yunani. "Perjalanan dari Turki ke Yunani ditempuh selama empat hari empat malam dengan berjalan kaki. Kami menghabiskan sepuluh menit di atas kapal dan berjalan kaki hingga mencapai titik peristirahatan," ungkap Milad dalam sebuah panggilan telepon dari kota Mainz, Jerman, tempat tinggalnya saat ini.

Setelah sampai di Yunani, Milad melanjutkan pelariannya dengan naik bus. "Dari titik ini, saya naik bus dengan satu orang dari Afganistan, yang memberikan kami uang dan tempat tinggal selama satu malam selama perjalanan."

Omid menceritakan bagaimana dia bertahan hidup tanpa makanan selama tiga hari di Yunani. "Saya bertahan hidup hanya dengan minum air yang ditampung di dedaunan dan rawa-rawa. Itu sangat sulit," tuturnya. Dia juga menambahkan, "Telapak kaki saya terluka. Sepanjang perjalanan saya hanya berpikir bisa hidup bebas setelah perjalanan ini, dan itu membuat saya terus bertahan."

"Totalnya, kami melintasi 10 atau 11 perbatasan," kata Milad, yang berbicara atas dirinya dan mewakili Omid, dan kerapkanli bertemu aparat kepolisian di hampir setiap perbatasan, yang disebutkan cukup merepotkan mereka.

Bagi Milad, pos pemeriksaan yang paling sulit adalah di Serbia. "Polisi menangkap saya lebih dari enam kali di sana."

"Saat saya menceritakannya, terdengar mudah, dan kita bisa bahas detail cerita ini dengan cepat... Tapi sebenarnya, saat itu tidak mudah. Kami tidur di dalam kantong sampah, itu adalah satu-satunya 'selimut' yang saya miliki. Saat itu musim hujan, dan saya tidak ingin basah. Itu adalah masa yang sangat, sangat sulit," kenang Milad.

"Kami hanya membawa ransel, beberapa cemilan kacang, dan dua botol air. Itu pun tidak boleh terlalu berat, atau nantinya kami tidak bisa berjalan kaki."

Sementara itu, pos pemeriksaan terberat bagi Omid adalah di Kroasia. Polisi di sana mengancam Omid, dengan mengatakan, "Kami akan mengirim Anda kembali ke Iran."

Sampai ke Jerman dan ajukan permohonan suaka

Mulai dari Serbia dan seterusnya, Omid bergabung dengan kelompok, di mana Milad juga anggotanya. "Kami berjalan menuju Jerman bersama-sama," katanya, dengan rasa lelah yang begitu dalam, saat mengingat perjalanan yang sulit itu.

Di akhir perjalanan berbahaya itu, Omid dan Milad akhirnya tiba di Jerman.

Omid mencatat, tidak seperti di pos pemeriksaan perbatasan lainnya, polisi Jerman menerima mereka dengan baik. "Perlakuan di sini benar-benar manusiawi dan baik," katanya.

Milad pun senada dengan Omid dan menambahkan: "Saya merasa sangat aman di negara ini."

Seperti kebanyakan pengungsi lainnya, mereka juga mengajukan permohonan suaka dan kini menjalani kehidupan normal di Jerman.

Omid berharap pemerintah Jerman akan terus mendukung warga Iran yang terpaksa harus mengungsi. "Mereka terpaksa meninggalkan rumah, tanah air, keluarga, dan harta benda hanya untuk menyelamatkan diri," katanya.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Presiden Iran yang reformis, mampukah buat perubahan?

Situasi sosial dan politik di Iran semakin memburuk, sejak gelombang aksi protes menyusul kematian Jina Mahsa Amini. Banyak pengunjuk rasa, termasuk para remaja, yang mengalami penganiayaan,  dihukum penjara yang cukup lama, dan bahkan dieksekusi hukuman mati.

Pelanggaran berat hak-hak perempuan dan HAM dari para pemimpin agama di negara itu, telah mendorong banyak warganya memilih untuk melarikan diri, meski dengan risiko yang tinggi. 

Namun, dengan terpilihnya seorang presiden yang dianggap reformis, Masoud Pezeshkian, muncul spekulasi tentang bagaimana keadaan di negara ini bisa berubah.

Selama kampanye, pria berusia 69 tahun itu bertekad untuk membangun kepercayaan antara "pemerintahan yang moderat" dan penduduk Iran, tetapi tidak menjanjikan perubahan yang radikal.

Selain itu, dalam sistem politik Republik Islam, presiden bukanlah kepala negara melainkan hanya kepala pemerintahan yang dipilih melalui pemilihan umum.

Sebagian besar kekuasaan berada di tangan Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei. 

Ighan Shahidi, seorang peneliti Iran di Universitas Cambridge, kepada DW pada bulan lalu mengatakan, dia tidak mengharapkan adanya perbaikan di Iran dalam tema hak asasi manusia, terutama hak-hak bagi perempuan dan kelompok agama minoritas yang teraniaya seperti Bahai, meski Iran di bawah kepresidenan Pezeshkian.

"Yang jelas, ada arahan dan peraturan yang dikeluarkan oleh organisasi dan lembaga tinggi pemerintah Iran, seperti Dewan Tertinggi Revolusi Kebudayaan, yang menyebabkan banyaknya pelanggaran hak-hak rakyat Iran," katanya.

"Presiden tampaknya tidak memiliki wewenang maupun kemampuan untuk mencapai perubahan ataupun perbaikan dalam kasus-kasus seperti itu,” tambahnya.

Merasa aman di Jerman

"Selama rezim Iran secara terus-menerus menindas hak-hak mendasar rakyat, warga Iran yang teraniaya akan kerap memilih untuk melakukan perjalanan berbahaya demi melarikan diri dari negara itu," kata para aktivis.

Bagi yang telah sukses melarikan diri, perjalanan ini memiliki risiko yang cukup tinggi, seperti halnya yang dialami oleh Milad dan Omid, dua dari ratusan orang yang hengkang meninggalkan Iran dalam beberapa tahun terakhir.

Keduanya juga menekankan, dampak dari penutupan pusat-pusat Islam oleh pemerintah Jerman, terutama yang terkait dengan pemerintah Iran, telah menambah rasa aman bagi mereka.

"Apalagi, kini pemerintah Jerman telah menutup pusat-pusat Islam yang berurusan dengan Iran, permintaan saya, dan permintaan seluruh rakyat Iran, adalah untuk memasukkan Sepah ke dalam daftar kelompok teroris," kata Omid, merujuk pada Pasukan Garda Revolusi Islam Iran, yang bertugas membela rezim di negara itu. 

(kp/as)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait