1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikMyanmar

Dua Tahun Kudeta Myanmar, AS dan Sekutu Beri Sanksi Tambahan

1 Februari 2023

AS, Kanada, Inggris, dan Australia menjatuhkan sanksi terhadap komisi pemilu, perusahaan energi, dan pertambangan di Myanmar. Sementara junta militer mengatakan akan mengadakan pemilu tahun ini.

Seorang tentara berjaga di Yangon
Junta merencanakan pemilu pada Agustus 2023Foto: NurPhoto/picture alliance

Menandai peringatan dua tahun kudeta militer Myanmar pada Rabu (01/02), Amerika Serikat (AS) dan sekutunya mengumumkan sanksi lebih lanjut terhadap negara tersebut.

AS bersama dengan Kanada, Inggris, dan Australia pada hari Selasa (31/01) memberlakukan sanksi terhadap Komisi Pemilihan Persatuan, perusahaan pertambangan, pejabat energi dan lainnya, sesuai pernyataan Departemen Keuangan AS.

Pernyataan itu merupakan yang pertama kalinya AS menargetkan pejabat perusahaan minyak dan gas Myanmar (MOGE), direktur pelaksana, dan wakil direktur pelaksana. Perusahaan energi tersebut adalah satu-satunya badan usaha milik negara penghasil pendapatan terbesar di Myanmar.

Sementara itu, Kanada menargetkan enam pejabat dan melarang ekspor, penjualan, pasokan, atau pengiriman bahan bakar penerbangan. Australia juga menargetkan anggota junta dan perusahaan yang dikelola militer.

Inggris pun memberi sanksi dengan menunjuk dua perusahaan dan dua orang yang membantu memasok angkatan udara Myanmar yang digunakan untuk melakukan kampanye pengeboman.

Sanksi tersebut dijatuhkan ketika militer Myanmar telah melakukan pemboman udara dan serangan lain terhadap pasukan pro-demokrasi.

PBB peringatkan pemilu terencana kemungkinan "palsu"

Pada hari yang sama, penyelidik khusus independen PBB di Myanmar memperingatkan bahwa junta militer berencana untuk mencari legitimasi dengan mengatur pemilu "palsu" tahun ini.

"Anda tidak dapat memiliki pemilihan yang bebas dan adil ketika oposisi ditangkap, ditahan, disiksa, dan dieksekusi, jurnalis dilarang melakukan pekerjaannya, dan mengkritik militer adalah kejahatan," kata Tom Andrews di PBB.

Junta Myanmar pada bulan lalu menguraikan rencana untuk mengadakan pemilihan umum akhir tahun ini. Untuk melakukan itu, mereka seharusnya mencabut keadaan darurat nasional enam bulan sebelumnya.

Pengamat secara luas memperkirakan militer akan mengumumkan persiapan pemungutan suara pada pekan ini, dengan keadaan darurat akan berakhir pada hari Rabu (01/02).

Namun, pada hari Selasa (31/01) Dewan Keamanan dan Pertahanan Nasional yang ditunjuk oleh junta mengatakan keadaan negara itu "belum kembali normal".

Aturan bagi peserta pemilu

Junta baru-baru ini memperkenalkan peraturan baru bagi partai-partai peserta pemilu, yang mencakup peningkatan besar dalam keanggotaan mereka, sebuah langkah yang dapat mengesampingkan lawan-lawan militer.

Aturan tersebut mendukung Partai Persatuan Solidaritas dan Pembangunan, yang dikalahkan oleh Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pada pemilu 2015 dan 2020.

NLD dan negara-negara Barat mengecam pemilihan tersebut, dan mengatakan mereka tidak akan mengakui hasilnya.

John Sifton, Direktur Advokasi Asia untuk Human Rights Watch, mengatakan kepada Reuters bahwa AS masih belum menandingi sanksi yang lebih kuat yang diberlakukan oleh Uni Eropa.

"Akibatnya, langkah-langkah yang diambil sejauh ini belum cukup membebani junta untuk memaksanya mengubah perilakunya," katanya.

Para jenderal tertinggi Myanmar memimpin kudeta pada Februari 2021. Sejak saat itu negara tersebut mengalami ketidakstabilan, dengan memberlakukan tindakan keras terhadap perbedaan pendapat.

Menurut Asosiasi Bantuan Independen untuk Tahanan Politik, sebuah kelompok pengawas yang melacak pembunuhan dan penangkapan di Myanmar, 2.940 warga sipil telah tewas dan 17.572 telah ditangkap oleh pihak berwenang sejak militer mengambil alih.

ha/pkp (AFP, AP, Reuters)

 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait