1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Dua Wajah Indonesia Soal Komunis

Monique Rijkers
Monique Rijkers
30 September 2020

Di dalam negeri, urusan komunis adalah soal sensitif yang ditangani dengan sangat serius, bahkan cenderung berlebihan. Di luar negeri, Indonesia menjalin hubungan dengan negara komunis tanpa kecemasan.

Foto: Fotolia/Savenko Tatyana

Meski Partai Komunis Indonesia (PKI) sudah dibubarkan Soeharto pada tahun 1966, hingga kini lima puluh empat tahun kemudian, ternyata masih banyak ada saja orang Indonesia yang percaya paham komunis masih ada dan patut dicemaskan karena masih ampuh menarik pengikut. Jangankan di Indonesia, di dunia saja komunisme sebagai pemikiran pembebasan masyarakat tanpa kelas terbukti gagal. Bapak Komunis Dunia Karl Marx gagal melawan kapitalisme. Karl Marx dan keluarganya hidup dalam kemiskinan, sakit-sakitan bahkan beberapa anaknya meninggal dunia. Tentu di Indonesia, tidak ada yang mau bernasib seperti Karl Marx. 

Buku “The Politics Book” terbitan tahun 2013 mencatat warisan pemikiran Karl Marx yang utama adalah “Kapitalisme akan berakhir melalui Revolusi Komunis.” Alih-alih kapitalisme yang berakhir, komunisme justru gagal. Masyarakat tanpa kelas yang ideal tidak dapat mensejahterakan Uni Soviet dan negara Blok Timur. Komunisme bukan solusi perekonomian sebab tak mampu menahan gaya hidup konsumtif dan godaan hedonis sebagian besar kelompok masyarakat, di berbagai negara termasuk Indonesia.

Siklus isu komunis

Adalah Front Pembela Islam (FPI) yang mendadak menuding pelaku penusukan Syekh Ali Jaber sebagai komunis. Juru bicara FPI Munarman menyatakan tindakan penyerangan kerap dilakukan kaum komunis untuk menumpas ustad dan ulama. Pernyataan yang muncul di saat kasus penyerangan tersebut masih diselidiki polisi. Di Sragen, Jawa Tengah Aliansi Masyarakat Anti-Komunis berunjuk rasa di depan kantor pemerintah kabupaten pada 17 September 2020 lantaran Lembar Kerja Siswa (LKS) untuk murid SMP berisi materi soal ekasila yang dinilai mengarah pada ajaran komunisme. Pengunjuk rasa menuntut guru pembuat soal diusut. Ekasila merujuk pada gotong royong yang menjadi ide Presiden Soekarno. Ekasila sempat menjadi topik hangat saat dimasukkan dalam RUU Haluan Ideologi Pancasila. 

Penulis: Monique Rijkers Foto: Monique Rijkers

Seakan menjadi agenda rutin nasional, siklus isu komunis muncul saban September. Bulan September menjadi bulan keramat sejak peristiwa berdarah Gerakan 30 September 1965. Siklus isu komunis juga kerap hadir saat pemilihan umum. Mantan Presiden Megawati Soekarnoputri masih menjadi sasaran cap komunis sehingga Ketua Umum PDI-P itu mengeluhkan tudingan komunis yang diarahkan kepada dirinya, Soekarno dan Presiden Joko Widodo saat berpidato pada peringatan Hari Ulang Tahun PDI-P Agustus silam. Ibarat kaset rusak, isu komunis selalu diulang-ulang meski sudah dibantah berkali-kali dan menyasar orang itu-itu juga. 

Paranoid hantu komunisme

Pernyataan FPI dan kasus di Sragen seakan menggambarkan kondisi masyarakat Indonesia yang masih paranoid pada hantu komunisme. Ibarat hantu yang diyakini banyak orang ada, meski belum pernah dilihat sendiri, komunisme dipercaya masih ada dan Partai Komunis Indonesia bisa bangkit lagi. Akibatnya soal untuk anak SMP pun bisa dianggap berpotensi menyebarkan komunisme hanya karena istilah. Kenyataannya Indonesia makin hari makin Islami sehingga komunisme yang tidak berbau agama tentu sulit mendapat tempat di Indonesia yang religius. Sebaliknya paham khilafah yang tidak sesuai hukum di Indonesia justru lebih mudah menggaet pengikut dibandingkan komunisme yang kuno. Kecemasan publik pada penyebaran isu komunisme terakhir kali muncul saat sejumlah organisasi dan komunitas menolak RUU Haluan Ideologi Pancasila karena tidak tercantumnya “TAP MPRS tentang pembubaran PKI dan larangan ajaran komunisme dan marxisme” dalam draf RUU tersebut. 

Meski pendukung komunis tidak tampak batang hidungnya, ormas seperti FPI bisa membangun narasi komunis siap menyerang ulama. Narasi seperti inilah yang berbahaya karena menimbulkan kecurigaan, ketakutan serta menjadikan komunis sebagai kambing hitam suatu peristiwa pidana tanpa bukti. Melawan pemikiran komunisme tentu bukan dengan membangun prasangka. Ketakutan yang terus dipelihara tanpa ada upaya pelurusan sejarah rentan dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang berpotensi memecah belah bangsa kita. Hasil survei Wahid Foundation tahun 2017 menunjukkan komunis paling dibenci nomor dua oleh Muslim di Indonesia. Tahun 2018, komunis naik menjadi nomor satu paling dibenci meski Wahid Foundation tak pernah merinci alasan kebencian tersebut.

Tak heran ada yang memanfaatkan ketakutan dan/atau kebencian pada komunisme dengan info-info yang tak terverifikasi, hoaks dan misinformasi yang harus diklarifikasi atau dibantah oleh media massa. Mirip dengan cerita hantu yang tersebar dari mulut ke mulut, label komunis membumbui berbagai berita bohong yang marak dibagikan lewat media sosial. 

Ideologi usang komunis

Ketakutan pada komunisme sungguh tak perlu sebab faktanya, komunisme sudah menjadi ideologi usang. Partai Komunis pertama yang lahir di Uni Soviet tahun 1917 dan berhasil menyihir banyak negara ikut-ikutan berorientasi komunisme toh akhirnya runtuh juga. Bukan hanya Uni Soviet yang kolaps pada tahun 1991, Blok Timur yang berhaluan komunisme pun bubar. Negara Blok Timur seperti Jerman Timur, Albania, Polandia, Rumania, Hungaria, Republik Ceko dan Bulgaria kini menjadi anggota Uni Eropa, bersama negara Blok Barat yang kapitalis. 

Negara dengan ideologi komunisme masa kini hanya tersisa Republik Rakyat Tiongkok, Korea Utara, Kuba, Vietnam dan Laos. Tiongkok dengan Partai Komunis Cina yang super power sangat kapitalis. Tidak seperti Uni Soviet dahulu yang menutup diri dari perekonomian global, Tiongkok justru sangat ekspansif dan tidak malu-malu ingin mendominasi seluruh sektor ekonomi. Tidak ada negara komunis yang tidak melirik investor asing, Korea Utara yang rakyatnya kurang makan, sangat royal untuk membangun nuklir pun berminat pada potensi investasi yang ditawarkan Amerika Serikat jika Korea Utara menghentikan program nuklirnya. 

Komunisme sebagai ideologi kenyataannya tidak diterapkan oleh negara-negara komunis sehingga Indonesia menjalin hubungan dengan semua negara komunis tersebut sesuai dengan kebijakan politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif, tanpa kuatir terkontaminasi ideologi komunisme. Bukan hanya hubungan bilateral, pemimpin bangsa atau pemimpin partai politik di Indonesia pun bebas dan bisa menjalin hubungan dengan Partai Komunis yang berkuasa di suatu negara. Sebagai contoh ketika Sekjen Partai Komunis Vietnam Nguyen Phu Trong datang berkunjung menemui Presiden Joko Widodo pada tahun 2017 silam. Atau ketika Kepala Biro Hubungan Internasional dan Luar Negeri Partai Komunis Tiongkok, Mulia Song Tao, bertemu Presiden Joko Widodo pada tahun 2016. Tahun 2015 Wakil Presiden Partai Komunis Tiongkok bertemu dengan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh di Jakarta. 

Hal ini menunjukkan Indonesia tidak alergi dengan ideologi komunis walau Indonesia melarang ajaran komunisme dan pendirian partai komunis. Di dalam negeri, pemerintah memang galak dalam urusan komunis. Pemerintah, misalnya beberapa kali melarang penerbitan, peredaran buku atau diskusi buku tentang komunisme, marxisme atau kisah G30S. Tetapi di luar Indonesia, pemerintah Indonesia bisa bekerja sama dan berhubungan dengan semua negara termasuk negara komunis. Justru jika mau dibandingkan, Indonesia enggan menjalin hubungan diplomatik dengan Israel, negara bukan komunis yang dianggap sebagai batu sandungan mewujudkan Palestina merdeka (meski faktanya Palestina sudah mendeklarasikan kemerdekaan pada 15 November 1988 dan Dubes Indonesia untuk PBB Nana Sutresna sudah mengakui Kemerdekaan Palestina bersama 139 negara anggota PBB lainnya). 

Komunis adalah masa lalu

Peristiwa ’65 sudah berlalu lima puluh lima tahun, sudah menjadi masa lalu. Keluwesan pemerintah saat bergaul dengan negara-negara komunis di dunia internasional seharusnya bisa diimplementasikan di dalam negeri dengan keluwesan yang sama. Seperti pintu negeri kita yang terbuka lebar untuk menjalin hubungan dengan negara komunis, idealnya pemerintah juga membuka ruang selebar-lebarnya untuk dialog, pengungkapan, pelurusan dan rekonsiliasi dengan sesama anak bangsa yang lahir dari keturunan anggota atau simpatisan PKI di masa lalu, antara korban dan pelaku Peristiwa ’65. 

Sama seperti Indonesia yang bisa bekerja sama dengan negara komunis, tentu pemerintah bisa bekerja sama dengan sesama anak bangsa dalam upaya literasi soal komunisme dan pengungkapan fakta sejarah Peristiwa ’65. Dengan demikian harapannya isu komunisme bukan hal sensitif dan tabu untuk dibicarakan oleh publik dalam ranah ilmiah, forum intelektual atau bahkan dalam kelompok buruh dan petani.

Publik yang terliterasi dengan baik tidak lagi melihat komunisme sebagai ancaman karena sudah lemah tak berdaya dalam pengaruh dan gagal sebagai ideologi. Gagasan  Revolusi Komunis Karl Marx diredam dengan Revolusi Literasi. Sama seperti pemerintah yang kebal dari pengaruh komunis meski berhubungan dengan negara komunis, masyarakat pun akan terbangun imunitasnya jika diberi nutrisi edukasi komunisme yang tepat sasaran. Sebaliknya, jika terpapar benih permusuhan komunis terus-menerus akibatnya rawan konflik horizontal di masyarakat. (ap/vlz)

@monique_rijkers adalah wartawan independen, IVLP Alumni, pendiri Hadassah of Indonesia, inisiator Tolerance Film Festival dan inisiator #IAMBRAVEINDONESIA.
 
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis
 
*Bagi komentar Anda dalam kolom di bawah ini.